Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas Minimalis mendorong anggotanya melakukan decluttering barang pribadi
Sejumlah tokoh menjadi inspirasi gaya hidup minimalis seperti Marie Kondo, Fumio Sasaki dan The Minimalist
Barang-barang hasil declutering ada yang dijual, dihibahkan atau disumbangkan
TREN hidup minimalis sedang tren di banyak kalangan, seperti Sarah Safira. Lemari pakaian tiga pintu berbahan kayu perempuan 24 tahun itu terlihat lega. Hanya ada sekitar 30 hanger yang nampak menopang kemeja, outer, dan gaun. Pada sisi lain lemari, beberapa potong kaus serta celana berbahan kain dan denim terlipat menumpuk sekitar tujuh-delapan lapis. Jumlah sepatu berbagai model seperti wedges, bot, dan sneakers yang tersimpan juga kurang dari 10 pasang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lemari berukuran 170 x 55 x 200 sentimeter Sarah Safira sempat terisi ratusan pakaian dan sepatu. Hingga akhir 2018, tiga daun pintu lemarinya itu bahkan tak bisa menutup rapat karena menyimpan lebih dari 300 potong pakaian dan 100 pasang sepatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mengikuti kampanye dan edukasi Lyfe With Less—gerakan yang mengajak masyarakat hanya memiliki barang secukupnya atau sesuai dengan kebutuhan dan kegunaan—di media sosial, Sarah mulai mengikis barang-barang pribadinya. Bersama Minimalist Community Indonesia, warga Cimahi, Jawa Barat, ini kemudian mulai melakukan decluttering atau merapikan tempat tinggal dengan menyisihkan barang-barang yang sudah tak digunakan.
“Sudah saya sumbangkan ke warga sekitar rumah. Beberapa lainnya disalurkan melalui acara donasi di organisasi-organisasi sosial,” kata Sarah saat mengobrol secara daring dengan Fransisco Rosarians dari Tempo pada Kamis, 12 Mei lalu.
Pendiri kelas Berbenah Sadis, Rika Subana, 46 tahun. (TEMPO/ ANWAR SISWADI)
Ketertarikan akan gaya hidup minimalis berawal dari kesadarannya tentang dampak sampah plastik dan tekstil bagi kerusakan alam. Hal ini juga yang memicu lulusan Ilmu Manajemen Pemasaran Politeknik Negeri Bandung ini menyusun skripsi bertema eco friendly marketing, awal 2018. Saat itu, dia juga mulai mempelajari sejumlah metode hidup sederhana dari blog dan media sosial, beberapa di antaranya Konmari dan The Minimalist.
Konmari adalah metode beberes tempat tinggal dengan melakukan kategorisasi pada tiap barang dan peralatan rumah tangga. Teknik ini digagas dan dipopulerkan seorang artis dan konsultan tata ruang asal Jepang, Marie Kondo, pada 2014. Adapun The Minimalist adalah gerakan yang diusung dua penulis Amerika Serikat, Joshua Millburn dan Ryan Nicodemus. Meski berbeda, dua gerakan ini sama-sama mendorong pengikutnya melakukan decluttering dan selektif saat membeli barang.
Sebelumnya, menurut Sarah, dia bisa menghabiskan sekitar 25 persen gaji bulanan untuk sekadar membeli sepasang sepatu. Alasannya pun hanya tertarik secara visual dan mengikuti tren terbaru. Kecenderungan ini makin subur seiring dengan perkembangan platform digital atau marketplace yang mempermudah proses belanja.
“Sekarang, dengan metode capsule wardrobe, saya hanya menggunakan 10-15 pakaian dan aksesori lalu mix and match untuk berbagai keperluan dan acara,” ujarnya.
Sebagian koleksi Nunun Nurhayati hasil berbenah rumah yang dihibahkan ke orang lain. (Dok.Pribadi)
Cynthia Suci Lestari, pendiri Lyfe With Less, juga sempat terjebak dalam perilaku konsumtif saat mulai bekerja dan mendapat gaji. Berdalih self reward dan kebutuhan penampilan, dia pernah mengikuti dan membeli nyaris semua produk kecantikan terbaru. Padahal mayoritas kosmetik dan produk perawatan kulit tersebut belum tentu cocok dan hanya akan dicoba satu kali. Demikian pula untuk koleksi baju, tas, dan sepatunya.
Warga Pejaten, Jakarta Selatan, ini mulai menghentikan kecenderungan tersebut setelah keluarganya mengalami permasalahan finansial pada akhir 2017. Ibu rumah tangga berusia 28 tahun ini kemudian mulai memilah dan menjual barang-barang pribadinya melalui platform daring. Hasilnya, 80 persen dari pakaian, sepatu, tas, dan kosmetik miliknya ternyata berstatus tak akan lagi digunakan.
“Saat itu belum tahu kalau yang saya lakukan adalah decluttering. Hasil penjualannya sangat lumayan untuk kondisi finansial saat itu,” ucapnya.
Cynthia kemudian mulai membagikan kisah ini melalui blog dan akun media sosial pribadinya. Komunitas Lyfe With Less akhirnya terbentuk berkat dorongan sejumlah pembaca dan rekannya pada akhir 2019. Jumlah anggota komunitas ini pun terus bertambah hingga mereka harus memindahkan percakapan dan diskusi dari Instagram ke grup Telegram. Saat ini, jumlah pesertanya sudah menembus 6.000 orang dari berbagai daerah.
Komunitas ini memiliki grup pada aplikasi Telegram bernama Saling Silang. Grup sengaja dibuat untuk menjadi wadah atau sarana komunikasi anggota komunitas yang ingin memberikan secara gratis atau menjual barang-barang hasil decluttering. Kegiatan saling silang ini berlangsung setiap Sabtu dan Ahad di bawah pengawasan pengurus. Barang yang boleh ditawarkan antara lain pakaian, buku, aksesori, alat elektronik, dan perabotan sederhana.
Komunitas Sedekah Baju Yogyakarta bersama mahasiswa KKN UIN Sunan Kalijaga bekerja sama untuk menyalurkan pakaian layak kepada mereka yang membutuhkan. (foto: https://www.instagram.com/sedekahbaju.yk)
Tren hidup minimalis tak hanya digandrungi anak muda. Di Bandung, seorang ibu rumah tangga, Rika Subana, 46 tahun, telah membangun komunitas Konmari Indonesia pada 2017. Seperti Cynthia, komunitas ini berawal saat dia membagikan pengalaman menerapkan metode Konmari kepada sejumlah rekannya di Facebook.
Dia berkisah kondisi rumahnya di Jalan Kopo, Bandung, sangat berantakan. Kala itu teras rumah menjadi gudang mendadak yang menyimpan peralatan usaha katering, seperti panci, wajan, wadah makanan, dan loyang berbagai ukuran. Di lokasi yang sama, dia juga menumpuk sejumlah kardus berisi baking soda, perlengkapan masak, dan buku pelajaran anak.
Penampakan serupa juga nyaris bisa ditemui pada beberapa ruangan di rumah tersebut. Rika mengatakan keluarganya memang memiliki kebiasaan menyimpan banyak barang pribadi dan perlengkapan rumah tangga. Dia mulai berupaya membenahi tumpukan barang di rumahnya setelah membaca buku Marie Kondo yang berjudul The Life Changing, Magic of Tidying Up.
Pada awalnya, Rika lebih dulu menjual barang-barang koleksi pribadinya, seperti pakaian, buku, tas, sepatu, dan kompor. Semua barang tersebut dipasarkan dengan patokan harga maksimal 20 persen dari nilai barang. Beberes pertama ini berhasil mengumpulkan dana hingga Rp 2,5 juta. Dia kemudian melanjutkan penyisihan tersebut pada barang pribadi milik suami dan peralatan rumah tangga.
“Sempat mendapat protes dari suami. Butuh empat tahun untuk memberikan pemahaman kepada keluarga,” tutur Rika kepada Anwar Siswadi dari Tempo, Selasa, 10 Mei lalu.
Kisah ini mendapat tanggapan positif dari para pengguna Facebook. Pada dua tahun pertama, Rika menggelar pelatihan gratis hingga 30 angkatan tentang metode berbenah Konmari. Jumlah anggota grup tertutup atau privat ini kemudian makin berkembang hingga menembus 7,8 ribu akun.
Rika kemudian membuat kelas daring bernama Berbenah Sangat Disiplin yang disingkat Berbenah Sadis, 13 Juli 2019. Bersama 12 rekannya, mereka menyusun empat kurikulum atau tingkat kelas yang masing-masing berdurasi 7-21 hari. Kelas dasar berisi pelatihan memilah dan menata barang di rumah. Tingkat intermediate adalah kelas untuk membenahi penggunaan uang dan waktu. Adapun kelas advance berfokus pada penataan hati serta kelas ultimate berfokus pada pikiran.
Anggota komunitas Sedekah Baju Yogyakarta memberikan pakaian layak pakai kepada masyarakat yang membutuhkan. (foto: https://www.instagram.com/sedekahbaju.yk)
Selain Konmari, peyusunan materi setiap tingkatan tersebut mengadaptasi metode Fumio Sasaki yang terangkum dalam bukunya yang berjudul Goodbye, Things. Buku ini berisi panduan untuk merelakan benda-benda sentimental yang kerap tetap disimpan walau kurang berguna bagi pemilik. Setiap peserta kelas harus membayar Rp 209 ribu untuk mengikuti satu kelas yang disampaikan melalui aplikasi Zoom dan grup WhatsApp.
Hingga kini, Konmari Indonesia setidaknya sudah menggelar pelatihan kelas dasar pada 27 angkatan yang masing-masing berisi 40-100 orang. Peserta kelas ini berusia 16-65 tahun yang didominasi kelompok ibu rumah tangga. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Uni Emirat Arab, serta Mesir.
Beberapa peserta memberikan testimoni tentang dampak kelas berbenah pada kehidupan harian. Mereka mengklaim bisa mendapatkan rasa nyaman setelah tempat tinggalnya menjadi lebih rapi dan teratur. Selain menjernihkan pikiran, kondisi ini turut menekan pengeluaran bulanan. Mereka tak lagi mengeluarkan uang untuk nongkrong atau berbelanja hanya karena suntuk di rumah yang berantakan dan sesak.
Ibu rumah tangga asal Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Nunun Nurhayati, juga berkisah tentang ruangan dan tempat penyimpanan di kediamannya yang makin lapang. Setelah mengikuti kelas Konmari Indonesia, dia dan keluarganya bersepakat menghibahkan sejumlah barang elektronik besar, seperti komputer, organ, dan gitar, yang tak pernah digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Dia juga ikhlas melepas koleksi wadah plastik edisi terbatas dan tas-tas bermerek dari luar negeri.
Keluarganya juga mulai terbiasa berhemat dalam kegiatan belanja. Mereka mempertimbangkan dengan cermat ketika hendak membeli pakaian atau peralatan rumah tangga. Hal ini bertujuan menghindari barang-barang tersebut harus dihibahkan atau dijual kemudian hari karena minim fungsi. “Saya pernah bisa berhemat Rp 4 juta per bulan untuk ditabung,” ujar Nunun.
Hal sama juga dirasakan dosen Teknik Logistik Universitas Pertamina, Iwan Sukarno, yang berhasil mengurangi 30 persen pengeluarannya dengan menjalani decluttering. Dia bersama istri dan anak tunggalnya menghibahkan tiga koper berisi pakaian dan tiga kontainer mainan anak ke orang lain. Keluarga ini juga mulai memperketat keputusan membeli barang. Bahkan kini mereka memiliki anggaran dan daftar menu makanan harian.
“Sebelumnya, uang digunakan dulu, sisanya baru ditabung. Sekarang dibalik,” kata lulusan Toyohashi University of Technology, Jepang, itu.
Sejumlah organisasi juga berdiri untuk membantu masyarakat yang ingin menyisihkan pakaian dan barangnya kepada orang yang membutuhkan. Salah satunya komunitas Sedekah Baju Yogyakarta atau Sebaya yang diinisiasi alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Azka Yahdiyani Putri, awal 2017.
Organisasi ini lahir berawal dari keprihatinan terhadap menumpuknya sampah pakaian dan tekstil di sejumlah tempat pembuangan akhir. Padahal masih banyak warga Yogyakarta yang menggunakan pakaian tak layak pakai, seperti pemulung, pengamen, dan warga miskin di sejumlah perkampungan.
Berdasarkan data YouGov Research—platform digital berisi riset terbuka tentang sejumlah isu harian—Azka mengatakan 66 persen masyarakat usia dewasa tercatat pernah membuang pakaian dalam kurun satu tahun terakhir. Sekitar 29 persen di antaranya bahkan membuang pakaian yang baru dipakai satu kali.
Hingga akhir 2019, Sebaya mencatat telah menjadi wadah bagi 5.250 donatur untuk menyalurkan pakaian bagi 9.500 orang yang membutuhkan. Kegiatan ini sempat terhenti karena pandemi Covid-19 yang mulai merebak pada Maret 2020. Selama masa aktif, Sebaya setidaknya selalu menerima tiga-empat kardus yang masing-masing berisi sekitar 10 helai pakaian dari tiap donatur. “Kalau rata-rata, kegiatan ini berhasil memperpanjang usia pemakaian sekitar 20,8 ton pakaian,” tutur Azka kepada Shinta Maharani dari Tempo.
Sejak pertengahan 2019, komunitas ini juga menyisihkan beberapa pakaian bermerek dari kardus sumbangan untuk dijual kembali pada acara pasar murah. Dalam enam bulan, kegiatan tersebut dapat menghasilkan pendapatan hingga Rp 55 juta yang kemudian didonasikan untuk anak yatim-piatu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo