Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mengunjungi tanah Melayu tak lengkap rasanya tanpa mencicipi aneka boga yang kaya cita rasa. Racikan bumbu dengan beragam rempah menjadi sensasi yang menggoyang lidah. Banyak masakan yang diracik dengan bumbu atau rempah yang hampir sama, tetapi hasil masakannya memiliki cita rasa yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) 2024 beberapa waktu lalu, Tempo berkesempatan mencicipi sejumlah hidangan dari Aceh, Malaka, Pulau Penyengat, dan Tanjungpinang yang kaya akan rempah. Boga menjadi satu artefak persilangan budaya, jejak masa lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Di titik singgah pertama dari keberangkatan di Dumai, rombongan tiba di Sabang pada 23 Juni 2024. Banyak yang langsung berpikir sasaran pertama adalah mi Aceh dan kopi yang terkenal itu.
Proses memarinasi daging masakan kuah beulangong dari Aceh. TEMPO/Dian Yuliastuti
Hidangan Kuah Beulangong
Belum sempat mencicipi mi Aceh dan kopinya, rombongan mendapatkan suguhan yang berbeda dari rangkaian acara yang sudah disiapkan. Salah satu acaranya adalah mengikuti proses memasak kuah beulangong, masakan yang kaya rempah. Kuah Beulangoh, salah satu kuliner yang ikonik yang paling dibanggakan masyarakat Aceh adalah masakan berbahan daging, nangka muda, dan pisang dalam balutan rempah yang pekat. Itulah kuah beulangong. Yang menjadi Istimewa dari masakan ini adalah bumbu dari ragam rempah yang membuat rasanya menjadi legit, gurih, kaya cita rasa.
Boga yang kaya rempah kuliner Aceh, menurut Miftah Roma dari Balai Pengembangan Kebudayaan (BPK) I, merupakan jejak masa lalu.
“Kuliner itu salah satu artefak budaya dan jejak jalur rempah yang masih bisa dinikmati,” ujarnya.
Saat tiba, kami menjumpai Azhar dan Ibnu yang dibantu beberapa laki-laki pada siang itu, di samping aula milik Lanal Sabang Pondok Basyarah, tengah menyiapkan masakan ini. Sebuah belanga yang berdiameter hampir satu meter, seperti belanga untuk dodol Betawi, telah disiapkan. Di sebelahnya, di belanga yang lain, terlihat potongan nangka muda dan pisang kepok juga sedang dimasak dengan air.
Saat rombongan tiba, daging yang sudah dipotong siap dimarinasi dengan paket bumbu giling dan bumbu iris. Azhar menjelaskan, garam tak sekaligus dimasukkan ke dalam daging yang dimarinasi tadi, tapi dimasukkan secara bertahap. Baru setelahnya kelapa sangrai dimasukkan dan diberi air untuk mengempukkan daging. Setelah daging empuk, nangka dan pisang dimasukkan dan ditambahkan garam dan daun kari.
Masakan ini sering kali disajikan saat hari besar Idulfitri dan Iduladha, pesta perkawinan, peringatan, atau selamatan orang meninggal atau tasyakuran.
Dimasak oleh Kelompok Laki-laki
Memasak kuah beulangong biasanya dilakukan para laki-laki di kampung-kampung. Mereka mempelajari cara memasak dari tetua atau senior mereka.
“Kalau ada acara, ada panitia memasak, biasanya kami ditunjuk atau dipanggil,” ujarnya kepada Tempo.
Mereka berasal dari Desa Bada, Kecamatan Inginjaya, Kabupaten Aceh Besar. Begitu mendapatkan pesanan atau diminta untuk memasak kuah beulangong, mereka segera ke pasar Lambaro untuk berbelanja.
“Tinggal pesan atau bilang ke pedagang langganan kami, misalnya untuk daging 20 kilogram, mereka akan menyiapkan aneka bumbu mentahnya,” ujar Azhar.
Mereka berbelanja daging khusus untuk masakan tersebut, yakni daging sapi kualitas nomor dua, di bagian paha. Mereka juga menyertakan tetelan dan tulang rusuk. Sejumlah bumbu, rempah menjadi pelezat daging tersebut. Selain daging juga disiapkan nangka muda dan pisang kepok yang masih belum terlalu matang.
Baru setelahnya mereka akan mengolahnya. Untuk memasaknya, disiapkan belanga yang cukup besar. Diameternya hampir satu meter.
Azhar dan Ibnu menyebutkan sejumlah bumbu dapur dan rempah-rempah yang cukup kompit seperti bawang merah, bawang putih, cabe rawit, cabe besar, bubuk cabe (cabe kreng), jahe, kunyit, lengkuas, kaskas, garam, asam jawa, anak ganja (biji ganja), ketumbar, kelapa giling, lada hitam. Bumbu-bumbu itu akan diiris dan digiling.
Kuah beulangong ini disajikan bersama-sama beberapa jenis lauk lain dalam tradisi Idang Meulapeh. Tradisi ini biasanya ditemui pada upacara pernikahan di Aceh untuk menjamu keluarga besan atau untuk tamu undangan di acara Maulid Nabi dan acara adat lainnya. Hidangan ini bercita rasa tinggi dan tidak akan disantap oleh tamu biasa.
Idang Meulapeh disajikan untuk tamu khusus sebagai bentuk penghormatan dari tuan rumah. Menunya istimewa, seperti masakan daging, gulai Aceh, gulai masak puitih, dendeng, acar, beberapa sayur, dan sambal.
Hidangan dimasukkan dan ditata berlapis dalam wadah yang terdiri dari talam, dalung dan tudung saji (sangee), tempat yang dilapis dengan kain merah dan kuning berhias ornamen warna emas.
Asam Pedas khas Malaka
Dari Aceh, rombongan singgah ke titik berikutnya di Malaka, Malaysia. Salah satu boga yang cukup terkenal adalah asam pedas Malaka. Masakan ini berkuah pekat dengan cita rasa rempah yang kuat. Seperti kari rasanya. Kuahnya berwarna kuning kemerahan.
Dari beberapa situs disebutkan, asam pedas Malaka ini merupakan kuliner khas Melayu yang lahir dari perpaduan Melayu, Cina, India dan Belanda. Biasanya makanan ini disajikan untuk acara Istimewa seperti pernikahan, kenduri, dan penyambutan tamu.
Asam pedas umumnya menggunakan bahan utama ikan, tapi bisa juga diganti dengan ayam. Bahan utama dimasak dengan bumbu rempah seperti biji jintan, jintan manis, serai, bawang merah, bawang putih, lada hitam, cabai kering, belimbing wuluh, dan limau kasturi, lalu ditambahkan beberapa sayuran seperti tomat dan terong di dalamnya.
Kuah beulangong disajikan dalam tradisi Idang Meulapeh di Aceh saat Muhibah Budaya Jalur Rempah, Juni 2024 (Yudhi Herwibowo)
Eksplorasi Kuliner Pulau Penyengat
Setelah berkunjung ke Malaka, tibalah rombongan di titik singgah terakhir di Tanjung Uban. Eksplorasi tradisi budaya dilaksanakan di Pulau Penyengat dan Tanjungpinang. Pulau Penyengat merupakan tempat penting dalam sejarah kerajaan-kerajaan Melayu, Riau Lingga. Di tempat ini bersemayam para tokoh sejarah Melayu dan raja-raja.
Di pulau ini, rombongan dijamu dengan tradisi Makan Berhidang, sebuah tradisi untuk mengekalkan hubungan silaturahmi antar-anggota yang berhidang. Hidangan disajikan untuk berempat, duduk saling berhadapan.
Makanan diolah dari bahan yang banyak rempah, berlemak, dan agak mewah. seperti nasi minyak, kurma ayam/daging, pacri nanas, dalca, acar berempah, kari ikan/ayam/daging.
Tak lupa hidangan ditemani air dohot yang terasa unik dan menyegarkan. Minuman ini diolah sedemikian rupa dari campuran bahan kismis, buah dohot, dan kelengkeng kering. Konon, air dohot ini adalah minuman khas keluarga kerajaan.
Menurut Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, Raja Suzana Fitri, nasi minyak dibuat dari beras basmati, minyak samin, bawang putih, jahe, susu, dan jeruk. Rasanya gurih, tapi tidak membuat enek. Di atasnya dberikan potongan daging sapi, kismis dan bawang goreng.
Lauk yang lain menggunakan bumbu yang hampir sama, yakni cabai, bawang, jintan, cengkih, kayu manis, buah pala, kapulaga, bunga lawang, kemiri, lada hitam, biji sawi dan santan kelapa.
“Ya, ada variasi sedikit. Seperti masak kurma daging memakai cabai rawit, sedangkan pacri nanas pakai caba kering,” ujarnya kepada Tempo.
Menurut dia, memasak itu seperti seni lainnya. Bagaimana memadukan rempah-rempah yang hampir sama menjadi cita rasa yang berbeda.