Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Cara Melacak Ujaran Kebencian di Media Sosial

Irendra Radjawali membuat perangkat yang bisa melacak ujaran kebencian di dunia maya. Untuk membantu penelitiannya.

7 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Irendra Radjawali membuat perangkat yang bisa melacak ujaran kebencian di dunia maya.

  • Perangkat itu memiliki logika dasar yang sama dengan ChatGPT, yakni mengumpulkan, memecah-mecah, dan mengkategorisasi data.

  • Ia bermimpi membantu masyarakat mendeteksi informasi keliru dan hoaks.

TAK berniat menyaingi OpenAI, perusahaan riset dan pengembangan kecerdasan buatan yang mengembangkan ChatGPT, Irendra Radjawali menciptakan perangkat yang bisa melacak ujaran kebencian yang berseliweran di dunia maya. Pendiri Kudu Data Digital ini mengatakan perangkat tersebut membantunya dalam penelitian. “Terlalu sombong kalau saya bilang membuat (perangkat) seperti ChatGPT. Tapi memang pendekatannya serupa,” ucap Irendra di kedai kopi di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Rabu, 3 Mei lalu.

Menurut Irendra, cara kerja program komputer kecerdasan buatan (AI) yang belum bernama dan dibuat pada 2016 itu memiliki beberapa tahap. Pertama, mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dari media daring dan media sosial. Kemudian perangkat itu akan membuat algoritma pengkategorian kata berdasarkan jenis: kata benda, kata sifat, dan kata kerja. Selanjutnya, perangkat mencari kata kerja yang bernuansa kemarahan, seperti “pukul”, “hajar”, dan “bantai”.

Selanjutnya, Irendra akan meminta perangkat itu menemukan hubungan antara kata kerja bernuansa kemarahan itu dan kasus korupsi. Ia cukup meminta perangkat itu mencari berita di media daring atau media sosial yang mengandung kata kunci “korupsi”. Menurut temuan perangkat itu, kata “bantai” yang paling sering muncul. “Berarti pada saat kata ‘korupsi’ itu saya cari malam ini, suasana pembicaraan di dunia maya itu adalah kemarahan, karena ada kata ‘bantai’,” tutur pria yang lahir pada 8 September 1974 tersebut.

“Untuk (mengukur) sentimen tetap oleh manusia, tidak bisa oleh tools,” ujarnya. Penelitian serupa, Irendra menambahkan, kerap ia kerjakan dalam merespons isu lingkungan, seperti perubahan iklim di Indonesia. Sebab, dia berujar, banyak informasi yang salah dan hoaks dalam isu tersebut. Dengan pola kerja yang sama dalam isu lingkungan, perangkat itu menemukan frasa yang paling sering muncul adalah “pemanasan global”, sementara “deforestasi” di urutan paling buncit.

Berikutnya, dia melanjutkan, frasa yang paling sering muncul adalah “perdagangan karbon”. Maka dapat disimpulkan wacana perubahan iklim masih didominasi orang-orang yang, menurut dia, berkepentingan dalam aspek ekonomi. “Hal itu saya pakai untuk (memberi tahu) kawan-kawan pegiat perubahan iklim,” kata doktor lulusan ekologi politik Universität Bremen, Jerman, ini.

Irendra mengatakan pendekatan yang dipakai dalam membuat perangkatnya sama seperti ChatGPT. "Logic dasarnya sama, yakni kumpulin data, dipecah-pecah, dikategorisasi," ucapnya. Pembuatan perangkat itu dimulai dengan membuat pengolahan bahasa alami (NLP) dan model bahasa besar (LLM). NLP adalah kecerdasan buatan yang mengumpulkan bahasa serta mengurutkan teks. Adapun LLM adalah cabang AI yang berfungsi menangkap semua teks di Internet.

Persamaan perangkat buatan Irendra, yang juga pendiri Akademi Drone, dengan ChatGPT hanya ada pada metode, yakni LLM dan NLP. Sedangkan perbedaannya ada dua. Pertama, Irendra menjelaskan, ChatGPT mengumpulkan berbagai data dari seluruh dunia untuk diprogramkan ke dalam AI. Sedangkan perangkat buatannya masih terbatas. “Buatan saya terbatas. Saya kan masih manual, saya kumpulin tulisan, bikin database sendiri,” tutur pembuat Drone Desa melalui Swandiri Institute itu.

Kedua, Irendra mengaku membuat perangkat ini sekadar untuk kebutuhan riset dan reservasi, berbeda dengan ChatGPT yang disediakan dengan sistem bayar bagi pengguna. Dengan perangkat tersebut, ia terbantu ketika hendak menyusun berbagai sumber data dengan cepat. “Kenapa saya membuat kayak (ChatGPT) gitu, karena waktu itu mimpi saya adalah membantu masyarakat mendeteksi mana informasi yang keliru dan hoaks,” ucap pemenang Wismilak Diplomat Success Challenge 2015 atas pesawat nirawak ciptaannya tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit di edisi cetak di bawah judul "Melacak Jejak Ujaran Kebencian"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus