Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tak ada tetangga yang mendengar bunyi adu tembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan Bhayangkara Dua Richard Eliezer.
Polisi sempat melarang keluarga melihat jenazah Brigadir Yosua.
Brigadir Yosua sempat menjadi orang kepercayaan Ferdy Sambo.
RUMAH Samuel Hutabarat dan Rosti Simanjuntak di Kampung Bahar, Kecamatan Sungai Bahar, Muarojambi, Jambi, mendadak riuh pada Sabtu malam, 9 Juli lalu. Meski pasangan suami-istri itu masih dalam perjalanan dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara, menuju Sungai Bahar, rumah mereka dipenuhi keluarga dan personel Markas Besar Kepolisian RI yang membawa peti mati berisi jenazah Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang populer sebagai Brigadir Yosua.
Sehari sebelumnya, Jumat, 8 Juli lalu, Yosua, 27 tahun, meninggal di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Jenazah anak Samuel dan Rosti itu diterbangkan menggunakan pesawat dari Jakarta menuju Jambi pada Sabtu pagi. Pihak keluarga meminta polisi menyerahkan langsung peti jenazah itu kepada orang tua Yosua.
Pada Sabtu tengah malam, Samuel dan Rosti akhirnya tiba. Tangis keluarga pun pecah. Dalam acara serah-terima jenazah, para polisi menolak membuka peti. Rosti makin histeris sambil meminta agar peti dibuka. “‘Buka, buka, buka,’ kata kakakku,” ujar Rohani Simanjuntak, adik Rosti, pada Senin, 11 Juli lalu. Setelah terjadi percakapan antara pihak keluarga Yosua dan polisi, akhirnya disepakati peti jenazah hanya dibuka setengah badan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karo Provost Div Propam Mabes Polri Brigjen Benny Ali bersama adik bungsu Nofriansyah Yosua Hutabarat, Mahareza Hutabarat di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta/Istimewa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, dua kancing atas pakaian Brigadir Yosua terbuka. Rohani dan keluarga melihat dada jenazah. “Di bagian mata sebelah kanan kayak ada luka sayatan, seperti kena benda tajam, agak lebam sedikit. Di hidungnya ada luka juga bekas jahitan, bibirnya juga. Giginya sudah tidak rapi lagi, seperti kena pukulan,” kata Rohani.
Mereka tak bisa melihat lebih jauh. Polisi tak mengizinkan keluarga berlama-lama melihat jenazah. Akhirnya para polisi yang mengantar peti meninggalkan Sungai Bahar. Jenazah Brigadir Yosua disemayamkan di rumah orang tuanya.
Pada Ahad pagi, 10 Juli lalu, keluarga mulai berdatangan ke rumah duka. Sekitar pukul 10.00 WIB, keluarga kaget melihat darah segar yang mengucur dari jari kelingking kiri Yosua.
Penasaran, keluarga akhirnya memutuskan membuka baju yang dikenakan jenazah. “Kami tengok, rupanya tangan sebelah kiri ini ada luka. Dua jarinya patah. Di tangan sebelah kiri juga ada bekas tembakan. Di dadanya ada dua bekas tembakan, sama di leher satu. Jadi kami temukan empat bekas tembakan,” ucap Rohani.
Jenazah Brigadir Yosua dimakamkan pada Ahad itu juga. Rohani merasa menyesal tak membuka semua pakaian jenazah sebelum dikubur. “Entah ada luka di bagian kakinya yang lain, kami tidak tahu. Kami tidak buka celananya, cuma kaus kaki,” ucapnya.
Di kaki sebelah kanan ada luka benda tajam, bukan bekas tembakan. Kondisi jenazah Brigadir Yosua membuat keluarga makin bingung. “Kematiannya itu dibilang karena tembakan. Tapi kami curiga, kok, tembakan ada luka-luka,” tutur Rohani.
Pada Senin siang, 11 Juli lalu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan awalnya mengatakan Brigadir Yosua meninggal karena baku tembak di rumah dinas Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Pelakunya, rekannya sesama ajudan bernama Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu.
Insiden baku tembak bermula saat Brigadir Yosua masuk ke rumah dinas Ferdy Sambo. Saat itu, Richard Eliezer menegur Yosua. “Brigadir J mengacungkan senjata, kemudian menembak Bharada E dan dibalas tembakan ke arah Brigadir J,” tutur Ahmad Ramadhan.
Lima jam kemudian, pernyataan Ahmad Ramadhan berubah. Kali ini, dia mengatakan Brigadir Yosua sempat masuk ke kamar Kadiv Propam lalu menodongkan senjata api dan melakukan kekerasan seksual kepada istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. Pada saat itu, Ferdy Sambo tak berada di rumah karena tengah menjalani tes reaksi berantai polimerase (PCR).
Putri berteriak, lalu Yosua panik dan keluar dari kamar. Mendengar teriakan Putri, kata Ramadhan, Bharada Richard Eliezer segera mengecek dari lantai dua dan bertanya kepada Yosua yang berada di lantai satu. “Bharada E bertanya ke Brigadir J, ‘ada apa, Bang,’ tapi dibalas tembakan,” ucap Ramadhan.
Richard Eliezer membalas tembakan yang mengakibatkan Yosua tewas dengan tujuh luka tembak. Richard Eliezer selamat dan tidak mengalami luka sedikit pun. “(Bharada Eliezer) tidak ada, kan posisi dia lebih tinggi dan dia posisinya dalam keadaan yang terlindung,” ucap Ramadhan.
Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto mengklaim Bharada Eliezer sebagai penembak nomor satu di Resimen Pelopor Korps Brigade Mobil. “Dia anggota tim penembak kelas satu di Resimen Pelopor,” ujar Budhi.
Dari penelusuran Tempo, Bharada Eliezer, 24 tahun, merupakan jebolan Pusat Pendidikan Brimob Watukosek, Pasuruan, Jawa Timur. Dia lulus pada 2019 atau Tamtama 46.
Tapi yang memiliki spesialisasi sebagai penembak jitu justru Brigadir Yosua. Lulusan Sekolah Polisi Negara Kepolisian Daerah Jambi 2012 itu pernah bertugas sebagai sniper di daerah konflik, seperti Papua dan Muko Muko, Bengkulu. Namun, menurut polisi, dalam adu tembak dengan Bharada Eliezer, semua tembakan Yosua meleset.
Pernyataan polisi yang berubah dan kronologi yang tak berurutan menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Salah satu kejanggalan adalah bekas luka di tubuh Yosua. Polisi mengatakan bekas goresan di tubuh Yosua dan kedua jari yang patah disebabkan pantulan peluru. Pihak keluarga Yosua tak menerima hasil autopsi ataupun visum saat serah-terima jenazah.
Keganjilan lain muncul karena semua kamera pengawas (CCTV) di rumah Ferdy Sambo mati. Sehari setelah penembakan, polisi juga mengangkut dekoder kamera pengawas di pos satuan pengamanan kompleks tanpa melapor kepada ketua rukun tetangga, Seno Sukarto. “CCTV alatnya yang di pos diambil polisi pada Sabtu,” kata Seno, yang pensiunan Badan Intelijen Negara berpangkat mayor jenderal.
Brigadir Yosua menembakkan pistol HS-9 miliknya sebanyak tujuh kali. Bharada Richard Eliezer melepaskan tembakan dari Glock 17 miliknya sebanyak lima kali. Namun tak ada satu pun tetangga yang mendengar hujan peluru dari rumah Ferdy Sambo pada Jumat sore itu, termasuk Seno Sukarto.
Salah satu misteri lain yang muncul adalah hilangnya tiga telepon seluler milik Yosua. Padahal, pada Jumat siang, Yosua masih berkomunikasi dengan keluarganya melalui WhatsApp.
Bibi Yosua, Rohani Simanjuntak, mengatakan keponakannya masih berkirim pesan dengan ibunya, Rosti, pada pukul 16.00. Saat itu, Yosua mengabarkan sedang dalam perjalanan pulang dari Magelang, Jawa Tengah, bersama keluarga Ferdy Sambo. Yosua dan keluarga Ferdy Sambo beserta ajudan lain menghadiri upacara peringatan Hari Bhayangkara di Akademi Kepolisian Semarang pada Selasa, 5 Juli lalu.
Rombongan keluarga singgah menggunakan mobil ke Magelang sebelum balik ke Jakarta. Ferdy bersama seorang ajudan tak ikut karena langsung pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.
Putri Candrawathi, istri Ferdy, hendak menengok anak ketiga mereka yang tengah menuntut ilmu di Sekolah Menengah Atas Taruna Nusantara. “Perjalanan diperkirakan tujuh jam. Ketika chat pukul 16.00 itu Yosua bilang sebentar lagi sampai,” ujar Rohani.
Ketika Rosti menghubungi Yosua pada pukul 16.30 WIB, kata Rohani, teleponnya sudah tidak aktif. Ihwal keberadaan tiga telepon seluler Yosua dan kejanggalan lain, Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto enggan menjelaskan. “Kami masih bekerja,” katanya.
Kepada Tempo, seorang kolega Ferdy Sambo membenarkan Kadiv Propam bersama keluarga dan ajudan berkunjung ke Semarang berlanjut ke Magelang. Ferdy Sambo lebih dulu pulang ke Jakarta untuk menghadiri sidang etik Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno pada Jumat siang.
Selain itu, Ferdy tengah menyiapkan acara perayaan 22 tahun pernikahannya dengan Putri yang jatuh pada Kamis, 7 Juli lalu. Mereka berencana merayakan acara tersebut pada Ahad, 10 Juli lalu.
Orang dekat Ferdy Sambo tersebut mengatakan, meski Brigadir Yosua bertugas sebagai sopir Putri, keduanya mengendarai mobil yang terpisah saat menuju Jakarta. Putri memilih menumpang mobil yang dikendarai pegawainya yang bernama Kuat. Yosua bersama Bharada Richard Eliezer mengendarai mobil yang disopiri Ricky. “Ibu tidak mau semobil dengan Yosua,” ucapnya.
Pihak keluarga merasa gerak-gerik Yosua berubah selama dua bulan terakhir. “Dia, karena sering salah, akhirnya Bapak nyuruh dia di rumah saja dan jadi sopir Ibu. Istilahnya di-grounded,” ujar orang dekat Ferdy tersebut.
Padahal Ferdy sendiri yang memilih Yosua menjadi ajudan pada 2019. Sebelum “turun jabatan” menjadi sopir, Yosua bertugas mengelola uang kebutuhan rumah tangga Ferdy. Hubungan Yosua dengan keluarga Ferdy makin erat karena sama-sama beragama Kristen.
Ferdy Sambo diklaim tak berada di rumah saat penembakan terjadi. Menjelang Jumat sore, Ferdy pulang dari Kompleks Mabes Polri menuju rumah pribadinya yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Ia juga tengah bersiap melakukan tes PCR sebagai syarat mengikuti olahraga badminton bersama mantan Kepala Polri, Idham Azis.
Ferdy tiba di rumah dinasnya saat Yosua sudah tertelungkup bersimbah darah. Ia meminta para ajudannya tenang. Ia menelepon Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Ridwan Soplanit yang tinggal di rumah sebelah agar segera datang. Ridwan juga dikabarkan tak mendengar bunyi tembakan dari rumah Ferdy.
Inspektur Jenderal Ferdy Sambo/polri.go.id
Rombongan Polres Metro Jakarta Selatan, Divisi Propam, dan personel Badan Reserse Kriminal Polri turut mendatangi rumah Ferdy pada Jumat sore. Orang dekat Ferdy Sambo tersebut mengatakan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Muhammad Fadil Imran sudah mengetahui penembakan itu pada Jumat malam. Ia juga mengklaim polisi membutuhkan waktu untuk mengolah tempat kejadian sehingga baru Senin siang, 11 Juli lalu, mengungkap penembakan itu ke publik.
Namun kejanggalan penembakan telanjur menyebar. Presiden Joko Widodo; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md.; hingga Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Wuryanto meminta polisi menuntaskan kasus baku tembak polisi ini karena munculnya sejumlah kejanggalan.
Merespons hal ini, Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus yang dipimpin Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono. Mereka juga menggandeng Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk mengawal penyidikan.
Sigit berharap tim bisa mengungkap peristiwa secara terang benderang, juga menangkis isu-isu di masyarakat. Ia meminta penanganan kasus ini mengedepankan penyelidikan berbasis ilmiah. “Walau ditangani Polres Jakarta Selatan, tetap mendapatkan asistensi Polda dan Bareskrim,” ujarnya.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan Polri telah berkomitmen membagi berbagai data kepada lembaganya. “Kami membentuk tim terpisah dari kepolisian,” ujar Beka. Menurut dia, Komnas HAM akan mengedepankan prinsip imparsial dalam mengusut tuntas kematian Brigadir Yosua.
RAMOND EPU (JAMBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo