Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang polisi berpangkat brigadir satu diduga mengelola tambang emas beromzet puluhan miliar rupiah di Bulungan, Kalimantan Utara.
Ada tumpang-tindih izin konsesi.
Didominasi penambang dari wilayah lain.
SUARA puluhan mesin penyemprot air meraung di tambang emas Desa Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Di dekatnya terpacak mesin conveyor pembawa material lumpur dan pasir. Di ujung mesin, para penambang tradisional mendulang butiran emas menggunakan lempengan besi berbentuk wajan.
Mereka terlihat tak waswas. Padahal Kepolisian Daerah Kalimantan Utara baru saja mencokok komplotan penambang emas ilegal di desa itu. “Penangkapan oknum polisi yang membekingi para penambang, kemarin, tidak ada pengaruhnya,” ujar Kepala Camat Sekatak Ahmad Safri, Jumat, 14 Mei lalu.
Penangkapan dilakukan pada Sabtu, 30 April lalu. Tim reserse Polda Kalimantan Utara meringkus lima penambang ilegal yang berencana melarikan diri lewat Bandar Udara Juwata, Tarakan. Kelimanya adalah Hasbudi selaku operator penambangan ilegal, MI selaku koordinator, HS alias Eca sebagai mandor, M alias Maco penjaga bak, serta BU dan I yang bertugas sebagai sopir truk sewaan.
Baca: Di Balik Sengkarut Tambang Emas Sangihe
Turut disita 3 buah ekskavator, 2 truk, dan 4 drum sianida—zat pengekstrak emas. Hasbudi adalah anggota Direktorat Kepolisian Air Polda Kalimantan Utara berpangkat brigadir satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim khusus Polda Kalimantan Utara berhasil mengamankan sejumlah speedboat milik oknum Polri Briptu Hasbudi di Satuan Polair Polres Bulungan. ANTARA/HO - Polres Bulungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan ini mendapat sorotan banyak pihak karena Briptu Hasbudi dikenal sebagai pemuda 27 tahun yang kaya dan aktif di berbagai organisasi. Polda Kalimantan Utara berniat menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menelusuri harta Hasbudi.
Aktivitas penambangan ilegal di Desa Sekatak berlangsung lebih dari lima tahun. Selain penduduk setempat, para pendatang ikut menambang. Menurut Ahmad Safri, sekitar 60 persen merupakan pendatang dari Pulau Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Mereka datang secara berkelompok dan menghuni wilayah itu dengan bekal seadanya.
Tempat tinggal mereka hanya tikar beratap terpal berwarna hijau atau biru. Kebutuhan harian dipasok dari Kabupaten Bulungan yang hanya berjarak sekitar setengah jam perjalanan darat menggunakan kendaraan bermotor.
Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Utara Inspektur Jenderal Daniel Adityajaya mengatakan operasi penangkapan berawal dari informasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat rapat dengar pendapat dengan Kepolisian RI. Polda lantas membentuk tim gabungan Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Kepolisian Resor Tarakan, dan Kepolisian Resor Bulungan. “Kami memiliki bukti permulaan yang cukup menahan para tersangka. Ada upaya menghilangkan barang bukti,” ujar Daniel saat konferensi pers melalui akun Instagram @polda-kaltara, Senin, 1 Mei lalu.
Penambangan tersebut berstatus ilegal lantaran berada di wilayah konsesi perusahaan tambang emas PT Banyu Telaga Mas (BTM). Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan PT Banyu mengantongi izin usaha pertambangan seluas 4.381 hektare di Desa Sekatak.
Izin diterbitkan pada 2018 dan berlaku hingga 2033. “Para penambang itu menjalankan aktivitas ilegal karena tidak memiliki surat perintah kerja ataupun kerja sama operasi dengan PT BTM,” kata Inspektur Jenderal Daniel. Belakangan polisi juga menyita 11 speed boat milik Hasbudi dari sejumlah tempat.
Polisi sudah memanggil manajemen PT BTM sebagai saksi pada Jumat, 13 Mei lalu. Ditemui selepas pemeriksaan, Direktur Utama PT BTM H. Karlan dan Manajer Teknik H. Hidayat membenarkan penambangan tersebut berada di wilayah konsesi mereka.
Sebagian kawasan penambangan lain mengokupasi lahan milik perusahaan sawit PT Bulungan Surya Mas Pratama (BSMP) dan PT Pipit Mutiara Indah. Manajemen menduga penambangan emas itu ilegal. “Kami tidak pernah memberikan izin kepada siapa pun,” ujar H. Hidayat.
Penasihat hukum Briptu Hasbudi, Syafruddin, menyatakan kliennya bakal bersikap kooperatif selama proses hukum. Ia meminta polisi bertindak prosedural saat pemeriksaan. Begitupun dengan penyitaan sejumlah barang bukti.
Menurut dia, tak semua barang bukti yang disita polisi milik kliennya. Ia pun membantah tudingan yang menyebut kepemilikan aset kliennya terindikasi sebagai tindak pidana pencucian uang. “Polisi punya hak menyita, tapi berkewajiban membuktikan kepemilikan barang bukti itu. Benar-tidaknya kita lihat di persidangan. Jadi kita lihat saja nanti,” tuturnya.
Wilayah tambang ilegal di Desa Sekatak meluas sejak dieksplorasi pada 2018. Citra satelit pada 2019 memperlihatkan mereka juga mengokupasi lahan sawit milik PT seluas hampir satu lapangan basket.
Puluhan pohon sawit siap panen terlihat hangus terbakar di sekitarnya. Para penambang menghuni lokasi itu menggunakan sekitar tiga puluh tenda. Kondisinya makin buruk di citra satelit pada 2022. Wilayah jarahan para penambang ilegal kini setara BSMP dengan luas sepuluh stadion sepak bola. Permukaan tanah di wilayah itu bopeng berisi air.
Direktur Utama PT BSMP Rudy mengatakan sudah berulang kali melaporkan aktivitas penambangan ilegal kepada polisi dan pemerintah daerah. Ia juga bersurat ke Istana Negara.
Ia mengaku tak berdaya menghadapi ulah para penambang ilegal yang merusak kebun sawit miliknya yang dirintis pada 2005. PT BSMP memilih cara persuasif untuk menghindari konflik horizontal dengan masyarakat. Jumlah penambang makin banyak. “Kalau sudah besar seperti sekarang, mereka kan makin sulit dihentikan,” ucap Rudy.
Briptu Hasbudi (kiri), pemilik tambang emas ilegal saat ditangkap Polda Kaltara, 9 Mei 2022. Foto: Polda Kaltara
Rudy mengeluhkan penambangan ilegal mengganggu bisnisnya dan mengancam keselamatan jiwa. Pada 2020, misalnya, lima penambang tewas saat bekerja. Mereka terjebak dalam kubangan sedalam 25 meter akibat terendam air hujan. “Sudah ada puluhan orang yang tewas di sana,” tuturnya.
Kepala Seksi Pemetaan Wilayah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Utara Abdul Hadi mengatakan pemerintah provinsi tak lagi berwenang membina dan mengawasi penambangan sejak kewenangan mengeluarkan izin diambil alih pemerintah pusat. Sejak mengantongi izin operasi produksi, menurut dia, eksploitasi emas bisa dilakukan PT Banyu Telaga Mas ataupun pihak ketiga yang menjalin kerja sama operasi sejauh mematuhi peraturan.
Abdul Hadi mengaku tak mengetahui berapa besar deposit emas di wilayah Sekatak. “Setahu kami belum ada survei soal itu,” katanya.
Seseorang yang mengetahui aktivitas penambangan ilegal di Desa Sekatak mengungkapkan setidaknya ada ratusan kelompok penambang yang beroperasi di wilayah itu. Setiap kelompok dikoordinasi para mandor dengan pemodal yang berbeda.
Mereka juga mempekerjakan warga negara asing dengan spesialisasi khusus. Hasil tambang emas lalu ditampung sejumlah perusahaan dengan harga Rp 500 ribu per gram. Potensi bisnisnya cukup menggiurkan. “Dalam satu bulan, satu kelompok penambang bisa menghasilkan Rp 1-1,5 miliar,” ujarnya.
FAIZ ZAKI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo