Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penambangan nikel terjadi di hampir seluruh Sulawesi.
Penambangan ilegal masif karena lemahnya penegakan hukum serta tata kelola yang kacau.
Perlu sistem legalitas nikel serta pemberian izin penambangan rakyat.
TIGA hari menjelang tutup tahun 2022, puluhan polisi dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara datang ke Blok Mandiodo. Namun area seluas 16 ribu hektare itu sudah sunyi. Polisi tak menemukan para penambang nikel ilegal yang hendak mereka cokok. “Sudah tak ada aktivitas lagi,” kata Kepala Subdirektorat IV Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara Komisaris Ronald Arron Maramis, Jumat, 3 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari bukit yang menjadi pusat nikel Sulawesi Tenggara di Konawe Utara itu polisi menyita 300 ton nikel yang siap diangkut ke pelabuhan. Juga empat alat berat yang ditinggal para penambang. Polisi mensinyalir aktivitas pertambangan di blok ini ilegal karena PT Aneka Tambang Tbk atau Antam, pemilik konsesi blok ini, belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IPPKH adalah izin terakhir sebuah perusahaan bisa menambang sumber daya alam di kawasan hutan. Dari analisis citra satelit Tempo dan Greenpeace Indonesia, area penambangan Blok Mandiodo sebagian besar berada di hutan lindung dan hutan produksi terbatas serta masuk area Peta Indikatif Penghentian Izin Baru sejak 2020. Menurut polisi, aktivitas pertambangan nikel berlangsung sejak 2019.
Menurut Ronald, setidaknya ada lima penggerebekan penambangan nikel ilegal Blok Mandiodo sejak 2022, sejak Antam resmi memiliki blok ini. Antam menggugat puluhan perusahaan yang juga mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) blok ini pada 2011. Tiga tahun persidangan berjalan, hakim memenangkan gugatan PT Antam. Masalahnya, penambangan nikel ilegal terus terjadi.
Dari semua razia penambang ilegal Blok Mandiodo, polisi menetapkan tiga tersangka serta menyita 19 unit alat berat dan lebih dari delapan tumpukan ore nikel. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, penambang ilegal terancam bui lima tahun dan denda Rp 100 miliar.
Selama 2019-2022, luas penambangan nikel ilegal di Blok Mandiodo mencapai hampir 1.000 hektare. Pada 2022 saja, penambangan nikel ilegal di blok ini seluas 228,58 hektare. Padahal izin penambangan Antam tahun lalu hanya 42 hektare. Antam tak mengeruk sendiri. Badan usaha milik negara ini menjalin kerja sama operasi dengan PT Lawu Agung Mining dan perusahaan daerah Sulawesi Tenggara (lihat wawancara dengan pemilik PT Lawu Windu Aji Sutanto di tautan ini).
Manajemen Antam pun meminta polisi menindak perusahaan-perusahaan pemegang IUP lama yang sudah tak berhak lagi atas lahan area konsesi tersebut. “Antam mau berinvestasi jangan sampai diganggu,” ucap Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Pipit Rismanto.
Para penambang mengaku aktivitas ilegal mereka terlindungi oleh aparatur penegak hukum. Mereka mengaku bisa mulus menjual nikel hingga ke smelter karena membayar “biaya koordinasi” kepada aparat sebesar US$ 16 per ton nikel yang mereka jual. Salah satu nama polisi yang disebut para penambang adalah Brigadir Jenderal Pipit Rismanto.
Pipit punya penjelasan lain. Menurut dia, ketika Antam meminta polisi menindak penambang ilegal, ia menyarankan BUMN itu melibatkan warga desa di lingkar tambang untuk bekerja menambang nikel. Syaratnya, penduduk punya izin usaha pertambangan serta dokumen legal lain. Antam menyetujui usul Pipit ini. “Jadi saya ini beking masyarakat, bukan beking penambang ilegal,” katanya.
Sebetulnya, Pipit menjelaskan, penambangan nikel ilegal bukan terjadi sekarang saja, tapi sejak 2014. Perusahaan-perusahaan yang kalah di pengadilan oleh Antam terus menambang meski tak memiliki rencana kerja anggaran biaya dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral serta tidak memberikan jaminan reklamasi pascatambang.
Pipit mengancam akan menyeret para penambang ilegal itu jika mereka tak menyelesaikan kewajiban, dari jaminan reklamasi, pajak bumi bangunan, sampai kerusakan lingkungan akibat penambangan. “Tapi kami tawarkan restorative justice dulu,” tutur Pipit, menyebut “jalan damai” penindakan hukum yang menjadi pedoman kepolisian sejak dipimpin Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Pemilik PT Karya Murni Sejati 27, salah satu perusahaan penambang nikel Blok Mandiodo, Audy K. Siddieq, mengatakan tawaran itu sudah dibicarakan manajemen Antam dengan sebelas perusahaan pemegang izin blok ini. Hanya, dia menerangkan, perjanjian tak secara detail menyebut kewajiban-kewajiban pembayaran. “Kami sudah membayar jaminan reklamasi dan pajak bumi dan bangunan,” ucapnya.
Sengkarut penambangan nikel ilegal di Sulawesi berakar pada regulasi. Sebagai komoditas sumber daya alam baru bahan baku baterai, nikel diincar oleh banyak negara. Dalam sebuah diskusi tata kelola nikel pada Selasa, 24 Januari lalu, yang diadakan Transparency International Indonesia, terungkap bahwa celah korupsi pertambangan nikel terjadi sejak sebelum pemerintah memberikan izin penambangan.
Ahli hukum pertambangan Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, mengatakan tata kelola penambangan nikel makin kacau karena lemahnya penegakan hukum. Ketiadaan sistem yang bisa mendeteksi asal-usul legalitas nikel sebelum dijual ke smelter makin menyuburkan praktik penambangan nikel tanpa izin di Sulawesi, seperti temuan investigasi Tempo.
Keberpihakan pemerintah pada korporasi besar juga menjadi problem. Di beberapa daerah kaya nikel, kata Redi, pemerintah mendahulukan izin untuk korporasi, bukan penambang rakyat. Para penambang rakyat kalah bersaing dengan perusahaan ketika mengikuti lelang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). “Seharusnya izin penambangan rakyat yang diperbanyak, bukan WIUP,” tutur Redi, yang ikut menyusun Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Rosniawaty Fikri dari Sulawesi Tenggara berkontribusi dalam penulisan artikel ini