Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Junta militer Myanmar terus mendapat dukungan politik dan keuangan dari berbagai pihak.
Thailand dan Vietnam berperan besar dalam menopang keuangan junta.
Sanksi ekonomi dinilai dapat menyengsarakan rakyat.
KRISIS di Myanmar tak kunjung reda. Sejak Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengkudeta pemerintah sipil Myanmar pimpinan Aung San Suu Kyi, tatmadaw, militer Myanmar, telah membunuh lebih dari 2.700 orang dan menahan lebih dari 17 ribu orang. Pertempuran sengit pecah di dalam negeri itu ketika kelompok milisi angkat senjata melawan upaya tatmadaw untuk menguasai Myanmar. Dalam laporannya pada 5 September 2022, Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, kelompok ahli independen pendukung rakyat Myanmar, menyatakan tatmadaw hanya dapat menguasai 17 persen wilayah negeri itu. Adapun kelompok perlawanan dan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan yang dibentuk bekas anggota parlemen dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), secara efektif menguasai 52 persen wilayah. Sisanya menjadi perebutan antara tatmadaw dan kelompok tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak negara dan komunitas internasional, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, mencoba menekan junta militer Myanmar dengan menjatuhkan sanksi ekonomi. Namun rezim junta terus bertahan. Justice for Myanmar (JFM), kelompok aktivis bawah tanah yang mendorong terbentuknya negara federal Myanmar yang adil dan damai, menyebutkan salah satu alasan junta bertahan adalah masih banyak pihak yang mendukungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Developing a Dictatorship, laporan yang dirilis pada 25 Januari lalu, JFM memaparkan lebih dari 60 negara dan organisasi internasional, termasuk lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, terus memberikan berbagai dukungan, baik politik, keuangan, maupun bentuk lain, kepada junta. Dukungan itu berkisar dari tindakan legitimasi, seperti memberikan surat kepercayaan diplomatik atau mengundang perwakilan junta ke pertemuan yang seolah-olah mewakili pemerintah Myanmar, hingga dukungan keuangan melalui hal-hal seperti pembangunan infrastruktur dan penyewaan tanah.
"Dukungan untuk junta dari Rusia dan Cina sangat signifikan dan meningkat, tapi kami menemukan banyak negara lain juga telah mendukung junta dengan cara yang berbeda, seperti Jerman yang mendanai anggota junta untuk mengikuti lokakarya di Singapura dan Jepang menawarkan beasiswa kepada anggota militer,” ucap Yadanar Maung, juru bicara JFM, kepada Tempo pada Jumat, 3 Februari lalu. “Setiap tindakan dukungan akan memperkuat junta militer, yang melakukan kampanye teror terhadap rakyat Myanmar.”
JFM menyoroti dukungan negara-negara ASEAN terhadap junta, seperti Thailand dan Vietnam. Menurut Yadanar, Min Aung Hlaing memiliki hubungan dekat dengan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, yang memimpin kudeta militer pada 2014. Setelah kudeta di Myanmar, kata dia, Prayut dan Min Aung menjalin kontak melalui saluran belakang dan Utusan Khusus Thailand untuk Myanmar telah menyatakan akan menentang sanksi terhadap Myanmar.
Junta juga bergantung pada Thailand melalui impor gas alam yang melibatkan PTT Exploration and Production, badan usaha milik negara Thailand. “Junta bangga bahwa mereka memperoleh US$ 1,72 miliar dari ekspor gas dalam enam bulan hingga 31 Maret 2022 saja. Dua pasar utama ekspor gasnya adalah Thailand dan Cina,” ujar Yadanar.
Yadanar memaparkan bahwa angkatan bersenjata Vietnam juga memiliki hubungan bisnis dan militer yang erat dengan militer Myanmar. Mereka bersama-sama mengoperasikan Mytel, jaringan telekomunikasi nasional Myanmar, dengan investasi lebih dari US$ 1,5 miliar, yang merupakan mayoritas investasi Vietnam di Myanmar. Mytel dikelola oleh perusahaan patungan Myanmar dan Viettel, perusahaan milik Kementerian Pertahanan Nasional Vietnam. Menurut bocoran dokumen Mytel, junta militer dapat memperoleh lebih dari US$ 700 juta dalam dekade berikutnya. “Hanya dengan melihat Thailand dan Vietnam, ada kepentingan pribadi yang kuat dalam mendukung junta militer, yang membuat rezim-rezim ini terlibat dalam kejahatan junta terhadap rakyat Myanmar.”
JFM mendesak komunitas internasional untuk menghentikan berbagai upaya yang mendukung dan melegitimasi junta militer, termasuk memutus kerja sama dan bantuan keuangan ke Myanmar. “Pemerintah dapat dan harus menerapkan sanksi terhadap junta militer dan semua kepentingan bisnisnya. Selama ini, sanksi hanya diterapkan oleh beberapa negara dan belum terkoordinasi dengan baik. Lebih banyak negara perlu bergabung untuk secara sistematis memberikan sanksi kepada jaringan yang mendanai dan mempersenjatai militer Myanmar agar sanksi memiliki efek yang diperlukan untuk memotong dukungan yang menopang junta,” kata Yadanar.
Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, menyatakan pemberian sanksi ekonomi itu telah banyak dikritik. “Berdasarkan pengalaman sebelumnya, penerapan sanksi telah membuat rakyat Myanmar terkena imbasnya. Tujuannya mau mengucilkan dan memiskinkan Myanmar, tapi yang kena imbasnya justru rakyat,” ujarnya kepada Tempo pada Kamis, 2 Februari lalu.
Meskipun demikian, negara-negara Barat tetap menjatuhkan sanksi sambil mencari cara agar bantuan terhadap rakyat Myanmar tetap diberikan. “Memang saat ini metodenya terbatas karena tidak ada kerja sama dari dalam. Mereka menggunakan institusi-institusi internasional seperti Komite Palang Merah Internasional (ICRC),” tutur Yuyun.
Temuan JFMTotal 64 pemerintah dan organisasi internasional terlibat dalam mendukung junta militer. Ini termasuk: Bentuk Dukungan- Dukungan politik melalui tindakan dan hubungan diplomatik yang melegitimasi dan memungkinkan junta mengambil keputusan atas nama Myanmar di forum internasional |
Menurut Yuyun, negara-negara menggunakan cara-cara yang berbeda dalam memberikan bantuan, misalnya dengan mengumpulkannya ke Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan pada Manajemen Bencana (AHA Centre). Ada pula yang masuk melalui perbatasan, ke klinik-klinik di sana. Selain itu, ada yang menggunakan kelompok etnis di perbatasan.
Masalahnya, Yuyun menambahkan, situasi di Myanmar tidak aman. Rakyat berhadapan dengan tatmadaw; Pasukan Pembela Rakyat (PDF), sayap militer NUG; dan kelompok etnis bersenjata. Kondisi ini membuat bantuan kemanusiaan terhambat.
Menurut Yuyun, situasi inilah yang harus dipahami Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun ini. Dunia berharap banyak terhadap peran Indonesia dalam menangani krisis Myanmar dan Indonesia harus mengelola harapan itu. “Indonesia harus ambisius dalam keketuaannya karena tidak ada lagi yang bisa.”
ASEAN, kata Yadanar, tidak bisa lagi berurusan dengan junta sendirian, tapi harus mencari dukungan nyata dari PBB, termasuk embargo senjata global serta sanksi terhadap junta militer dan bisnisnya. “Indonesia dapat memberikan kepemimpinan internasional dalam mendukung rakyat Myanmar melalui langkah-langkah konkret ASEAN dan masyarakat internasional yang lebih luas untuk memutus segala bentuk dukungan kepada junta dan mendukung perjuangan rakyat.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo