Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Dua Kali di Restoran Sate Babi

Seorang pegiat lembaga swadaya masyarakat dua kali menjadi tersangka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam satu kasus sengketa tanah. Ada dugaan kriminalisasi.

26 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hanya karena mengirimkan surat pernyataan lewat akun WhatsApp, seorang pegiat LSM ditangkap hingga diproses di pengadilan.

  • Belakangan, koordinator lembaga swadaya masyarakat bernama Advokasi Rakyat untuk Nusantara (Arun) Bogor Raya ini bebas karena dianggap tak terbukti memalsukan tandatangan dan menyalahi Undang-Undang ITE.

  • Tapi kini dia embali menjadi tersangka karena menulis sengketa tanah itu di blog pribadi dan sejumlah media.

DI balik terungku Iin menerima surat penetapan tersangka dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Barat, pada pertengahan Februari 2021. Warga Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu dituding melanggar Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyampaikan kabar bohong di Internet. “Ini pemidanaan saya yang kedua,” ujar Iin ketika ditemui, Selasa, 22 Juni lalu.

Seorang pengusaha bernama Lim Kwong Tjen alias Indra alias Akwong melaporkan Iin ke polisi karena tulisan di laman Kompasiana.com pada 13 Desember 2020. Tulisan berjudul “Diskriminasi dan Kriminalisasi Hukum” itu mengulas pengalaman Iin saat menengahi sengketa lahan permakaman di Kampung Pasar Lama, Desa Cileungsi, Kecamatan Cileungsi, Jawa Barat. Tulisan yang sama juga diunggah di Insobinvolvot.wordpress.com dan Bogorupdate.com pada Mei 2020.

Iin memimpin lembaga swadaya masyarakat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (Arun) Bogor Raya. Ia mengklaim warga sekitar tanah sengketa meminta bantuannya karena jalan masuk menuju permakaman tertutup restoran sate babi milik Akwong. “Kebetulan ada banyak anggota LSM Arun di kawasan itu,” ucap pria berusia 43 tahun tersebut.

Gara-gara menengahi sengketa itulah ia dipenjara. Kepolisian Sektor Cileungsi menuduh Iin memalsukan sebagian tanda tangan surat pernyataan warga sekitar lahan makam. Dalam kasus ini, ia juga dijerat Undang-Undang ITE karena mengirimkan surat somasi tersebut ke salah seorang penduduk lewat WhatsApp. Dari salinan putusan kasus Iin di Pengadilan Negeri Cibinong, pelapor kasus ini diketahui bernama Nanang, salah seorang warga di sekitar permakaman.

Baca: Bahaya di Balik Kebijakan Kapolri Meluncurkan Polisi Virtual untuk Memantau Media Sosial

Personel Polsek Cileungsi menangkapnya pada Jumat subuh, 15 Januari lalu. Ia langsung dijebloskan ke penjara hingga kasusnya berjalan di pengadilan. Meski tak menggunakan jasa pengacara, Iin meyakini akan menang. Ia sama sekali tak merasa bersalah karena tak pernah memalsukan tanda tangan. Ia beralasan mengirimkan surat itu sebagai pemberitahuan. “Saya juga enggak punya uang bayar pengacara,” ujarnya.

Keyakinannya terbukti. Majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong menganggap Iin tak terbukti memalsukan surat. Hakim beranggapan Iin menerima lembaran tanda tangan masyarakat secara sah dan digunakan untuk membantu penyelesaian sengketa tanah di Cileungsi. Ia pun bebas pada 21 Mei 2021.

Hakim memberikan catatan bahwa Iin tak bisa dijerat Undang-Undang ITE karena perkara ini seharusnya diselesaikan dengan berpedoman pada Surat Edaran Kepala Polri tentang Kesadaran Berbudaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih. Peraturan ini mengutamakan mediasi. “Peraturan Kapolri tersebut mengedepankan prinsip restorative justice,” tulis putusan tersebut.

Namun putusan tersebut tak menghentikan penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Barat. Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Februari lalu, Iin dua kali diperiksa penyidik ketika ia masih menghuni Lembaga Pemasyarakatan Pondok Rajeg, Bogor. Polisi akan memeriksa lagi Iin pada awal Juli mendatang.

Ia sebenarnya sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sejak dipenjara. Namun proses hukum tetap berjalan. “Ada dugaan upaya kriminalisasi dalam dua laporan terhadap Iin ke polisi,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu. Iin kini berada di bawah perlindungan LPSK.

Pelapor Iin, Akwong, enggan mengomentari perkara ini. Ia pun tak mau menjelaskan sengketa di sekitar tanah kuburan tersebut. Ia mengatakan harus menghubungi pengacaranya dulu. “Silakan tanya kepada pihak berwajib,” katanya.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Barat Komisaris Besar Erdi Adrimulan Chaniago mengatakan belum bisa menanggapi perkara ini. Ia pun tak bisa memastikan kelanjutan kasus Iin setelah penandatanganan Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, serta Kepala Polri soal pedoman pelaksanaan Undang-Undang ITE. “Silakan tanya ke Mabes Polri,” ucapnya.

Adapun Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan baru akan mempelajari surat SKB tentang Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut. Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit sejauh ini belum menyampaikan arahan secara langsung kepada bawahannya. “Harus saya tanyakan dulu,” katanya.


RIKY FERDIANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus