Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari 15 persen kasus kekerasan seksual yang diperiksa polisi, hanya 12 persen yang diproses hingga pengadilan.
Setelah divonis bebas, pelaku kekerasan seksual melaporkan balik korban ke polisi.
Cara pandang penegak hukum tentang kekerasan seksual masih tertinggal.
DEKAN Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau nonaktif, Syafri Harto, bukan satu-satunya terdakwa kasus kekerasan seksual yang divonis bebas oleh pengadilan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat hanya 15 persen dari 955 kasus kekerasan seksual yang diproses polisi selama beberapa tahun belakangan.
Dari jumlah itu, berkas penyidikan yang sampai ke pengadilan tak lebih dari 12 persen. “Itu pun tak semua berpihak pada korban. Para terdakwa banyak yang bebas karena minim bukti,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah.
Apalagi banyak korban pelecehan seksual yang mendapat serangan balik atas tuduhan pencemaran nama setelah pelaku menerima putusan bebas. Laporan itu justru sering diproses polisi dan berakhir dengan kemenangan pelaku di pengadilan.
Baca Juga: Prosedur Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS
Kondisi ini mirip dengan penanganan kasus yang tengah menjerat Syafri Harto. Tak lama setelah kasus ini ditangani polisi, Syafri membuat laporan balik terhadap Sisca—bukan nama sebenarnya—mahasiswa FISIP Universitas Riau yang mengaku dirundung Syafri secara seksual saat menjalani bimbingan skripsi.
Kuasa hukum Syafri, Doddy Fernando, mengatakan tudingan pencemaran nama adalah hak kliennya lantaran merasa dirugikan. Sejak kasus ini mencuat, Syafri dan keluarganya mendapat stigma negatif. Bahkan anak tertuanya sempat dirawat di rumah sakit akibat mengalami stres. “Kasus ini juga menjegal peluang pencalonan beliau sebagai calon rektor,” ujarnya.
Minimnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual banyak dilatarbelakangi perspektif penegak hukum. Metode pembuktian yang digunakan acap kali mengabaikan keterangan tunggal saksi korban.
Padahal kekerasan seksual selalu terjadi di ruangan tertutup dan tak pernah disangka para korban. “Cara pandang itu sudah dirombak lewat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memungkinkan dakwaan sejauh memiliki alat bukti lain, seperti keterangan ahli dan bukti pendukung lain,” ucap Alimatul Qibtiyah.
Kesimpulan itu sejalan dengan riset yang pernah dibuat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada 2020. Obyek penelitian tersebut terbatas pada 145 kasus yang ditangani 17 kantor Lembaga Bantuan Hukum di seluruh Indonesia.
Ketua YLBHI Muhamad Isnur mengatakan sekitar 50 persen korban semula tak berani melapor karena merasa bakal menambah beban. Mereka cenderung menutup diri hingga bertahun-tahun dan mengakibatkan sulitnya menemukan kembali alat bukti ketika hendak dilaporkan.
YLBHI juga menemukan sejumlah pelanggaran aparat penegak hukum dalam merespons laporan kekerasan seksual. Korban acap kali diajak berdamai dan disodorkan pertanyaan yang bernada menyepelekan, seperti bertanya apakah korban suka kepada pelaku. “Padahal pacaran pun tak menutup adanya praktik kekerasan seksual,” tutur Isnur.
Ia mendesak semua aparat penegak hukum merombak cara pandang itu. “Jangan sampai proses hukum menjadi sarana impunitas bagi para penjahat seksual,” katanya.
Isnur menyitir penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami seorang santriwati oleh anak petinggi pesantren di Jombang, Jawa Timur. Berkas penyidikan itu berulang kali dikembalikan jaksa kepada penyidik.
Kasus itu mulai menemukan titik terang setelah diambil alih Kejaksaan Agung. Berkas penyidikan dinyatakan lengkap dalam waktu singkat. Terlapor langsung ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual, meski tak kunjung ditahan karena berstatus buron. “Orang-orang dekat pelaku justru melindungi dia,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo