Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM untuk menetapkan peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat. Menurut dia, langkah konkret sudah dilakukan dengan merekomendasikan Komnas HAM melakukan penyelidikan pro-justisia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasto menuturkan kajian tentang Kudatuli sudah dilakukan oleh Komnas HAM dan Amnesty International. "Amnesty International juga telah menghitung berapa banyak korban dan kemudian yang meninggal," katanya kepada Tempo di kantornya usai acara peringatan Kudatuli di DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kudatuli atau Sabtu Kelabu adalah kerusuhan disertai kekerasan yang terjadi pada 27 Juli 1996 di kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Penyebab peristiwa itu diduga berawal dari perebutan kantor PDI antara kubu Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi.
Amnesty International mencatat, 206 hingga 241 orang ditangkap oleh aparat keamanan setelah peristiwa Kudatuli. Lalu sedikitnya ada 90 orang mengalami luka-luka dan 5-7 orang dilaporkan meninggal dunia.
Mengutip laman Komnas HAM, lembaga ini mencatat lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang akibat peristiwa Kudatuli. Investigasi mereka juga mencatat kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp100 miliar.
Komnas HAM melaporkan enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa ini. Pelanggaran tersebut meliputi kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan dari rasa takut, kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, serta perlindungan terhadap jiwa manusia dan harta benda.
Menurut Hasto, keputusan ini juga telah diakui oleh Presiden Soeharto pada masa itu. Hasto mengatakan peristiwa Kudatuli 1996 adalah dampak dari kebijakan politik Soeharto yang menggunakan alat negara terhadap partai politik yang sah.
PDIP pun merekomendasikan Komnas HAM untuk melakukan penyidikan pro-justisia karena kasus HAM tidak mengenal kadaluarsa. "Langkah pertama harus menetapkan bahwa ini adalah pelanggaran HAM berat," tegasnya.
Hasto mengatakan PDIP terus memperjuangkan pengakuan ini selama berada di pemerintahan, meskipun banyak persoalan HAM lainnya yang harus dihadapi. Dia juga mengingatkan pentingnya kajian yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk mengatasi berbagai kasus pelanggaran HAM berat. “Termasuk kerusuhan 1965 dan peristiwa Tanjung Priok,” katanya.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan kajian ihwal peristiwa Kudatuli telah dirampungkan pada pertengahan 2024. Namun, kesimpulan mengenai status pelanggaran HAM berat masih dalam tahap diskusi lembaganya.
Anis mengatakan keputusan ini harus didiskusikan terlebih dahulu dengan seluruh komisioner Komnas HAM. "Apakah ini merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak, ini kan mesti didiskusikan terlebih dahulu dengan sembilan komisioner," saat dikonfirmasi Tempo, Sabtu, 27 Juli 2024.
Hingga kini, fase diskusi tersebut belum dilakukan sehingga hasil kajian masih menunggu tindak lanjut. Jika nantinya diputuskan sebagai pelanggaran HAM berat, kata Anis, Komnas HAM akan membentuk Tim Ad-Hoc untuk penyelidikan pro-justisia. "Tetapi itu menunggu hasil keputusan di Komnas HAM sendiri," katanya.