Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Mereka yang Terlibat Korupsi APD di Masa Pandemi Covid-19

KPK menetapkan tiga tersangka korupsi APD. Ada peran pejabat tinggi lain.

4 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG siang di suatu hari pada Juli 2020, Budi Sylvana berjalan menuju ruang rapat pimpinan di lantai 2 Gedung Adhyatma Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan. Di sana sudah menunggu Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan pejabat lain. Di tengah pertemuan, Terawan menegur Budi lantaran pembayaran proyek pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 kepada PT Permana Putra Mandiri tak kunjung selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Bud, kamu mau bayar, enggak?” ujar Budi menirukan pertanyaan Terawan dalam bahasa Jawa kepadanya pada Senin, 29 Juli 2024. Saat itu Budi menjabat Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan sekaligus pejabat pembuat komitmen proyek pengadaan APD di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 atau Gugus Tugas Covid-19. Hingga keluar dari ruangan rapat itu, Budi berkukuh tak menyetujui pelunasan pembayaran kepada PT Permana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia tak berani menyetujui pembayaran lantaran audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 22 Mei 2020 menemukan ketidakwajaran harga pengadaan sebesar Rp 625 miliar. Ini temuan auditor pada pengadaan tahap awal dari 23 Maret 2020 sampai 9 Mei 2020 untuk 2,1 juta set APD. Meski telah menyampaikan adanya audit BPKP ini, Budi mengatakan Menteri Terawan tetap berkeras.

Kabar mandeknya pembayaran kepada PT Permana Putra Mandiri itu dikabarkan turut melambung ke Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sebelum pertemuan tersebut, masih pada Juli 2020, Terawan juga pernah memanggil Budi ke ruang kerjanya. Kepada Budi, Terawan mengklaim Menteri Luhut juga sebal lantaran Budi tak kunjung melunasi tagihan pihak swasta.

Budi turut menceritakan penggalan sejumlah peristiwa itu dalam berita acara pemeriksaan saat diinterogasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada November 2023, komisi antirasuah mulai menyelidiki dugaan korupsi APD di Gugus Tugas Covid-19. Beberapa hari setelah bertemu dengan Terawan di Gedung Adhyatma, Budi dicopot dari jabatannya. Ia mengklaim sudah menyelamatkan uang negara Rp 2,5 triliun karena mematuhi audit BPKP dengan tidak membayar tagihan APD. “Saya sampaikan bahwa saya diberhentikan karena tidak mau membayar,” tuturnya.

Pada Kamis, 4 Juli 2024, KPK mengumumkan tiga tersangka kasus ini. Budi turut menjadi tersangka. Dua tersangka lain adalah Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo. “Dugaan kerugian negara Rp 300 miliar,” ucap juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto. KPK menerbitkan surat perintah penyidikan korupsi APD pada September 2023.

Berbagai sengkarut dalam pengadaan APD itu juga pernah disorot Kejaksaan Agung dan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Mereka turut memeriksa sejumlah pihak yang terlibat proyek yang berjalan sepanjang 2020-2021 itu. Namun penanganan kasusnya tak naik ke tingkat penyidikan. 

Dua politikus di Senayan ditengarai turut cawe-cawe dalam proyek pengadaan APD itu. Seseorang yang ikut dalam proyek pengadaan APD Covid-19 pada 2020 mengklaim mengetahui tekanan kedua politikus itu kepada Budi. Mereka menekan Budi agar membayar tagihan kepada perusahaan yang ikut proyek APD. Ia juga mengaku proyek APD itu bermasalah sejak awal. Di antaranya dugaan penggelembungan harga.

Sepanjang pekan lalu, Tempo meminta konfirmasi ihwal cerita tersebut kepada Terawan Agus Putranto dengan mengirim surat permohonan wawancara ke akun WhatsApp-nya. Surat yang sama juga sudah dikirim ke klinik Terawan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto dan kantor Pengurus Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) di Jakarta, tapi belum direspons hingga Sabtu, 3 Agustus 2024. Salah satu mantan pengurus PDSI menyampaikan bahwa surat sudah diterima Terawan lewat salah seorang pengurus PDSI. Luhut Binsar Pandjaitan juga tak menjawab permintaan konfirmasi Tempo yang dikirimkan lewat juru bicaranya.

•••

KASUS pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020. Semua pihak, bahkan sampai tingkat global, berebut kebutuhan alat pelindung diri, di antaranya masker. Sejak saat itulah muncul peran PT Permana Putra Mandiri, perusahaan alat kesehatan. Pada 19 Maret 2020, pejabat Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan menghubungi PT Permana untuk memenuhi kebutuhan 10 ribu set APD di Kementerian Kesehatan.

Di seputar Maret itu pula terjadi insiden pencegahan ekspor 205 ribu set APD ke Korea Selatan. Semua PAD itu sebenarnya sudah dipesan PT Permana dari sebuah produsen. Belakangan, masalah itu selesai setelah produsen menunjuk PT Energi Kita Indonesia sebagai authorized seller. “Komisaris Utama PT Permana yang meminta bantuan kepada saya,” kata Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo.

PT Permana dan PT Energi Kita lantas berkongsi dalam proyek pengadaan APD. Rapat secara maraton digelar sepanjang 24-26 Maret 2020. Rapat besar digelar di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Matraman, Jakarta Timur, pada 28 Maret 2020. Pertemuan itu juga diikuti Direktur Pengawasan Bidang Pertahanan dan Keamanan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Faisal Ali Hasyim dan perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi. Belakangan juga diketahui bahwa BNPB sudah memesan 105 ribu set APD lebih dulu kepada PT Permana.

Rapat memutuskan pejabat pembuat komitmen (PPK) akan melunasi pembayaran kepada PT Permana Putra Mandiri atas pemesanan 105 ribu set APD tersebut. Di luar itu, disepakati pula surat pemesanan 5 juta set APD dengan harga US$ 48 per set kepada PT Permana yang diteken oleh Budi Sylvana, Satrio, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik.

Mantan PPK proyek APD, Budi Sylvana, mengatakan perusahaan rekanan dan harga sudah lebih dulu ditetapkan BNPB sebelum rapat yang diadakan pada 28 Maret 2020. PPK sebelumnya, Eri Gunawan, mundur karena tak berani menyelesaikan pembayaran 105 ribu set APD pesanan BNPB karena tak melihat bukti pembeliannya. “Jadi, siang saya ditunjuk jadi PPK, lalu magrib disuruh bayar,” tutur Budi. Sebenarnya, Budi menerima surat penunjukan sebagai PPK pada 29 Maret 2020. Tapi surat itu mencantumkan tanggal 27 Maret 2020.

Pada 22 Mei 2020, muncul audit pertama BPKP. Kesimpulannya, ada ketidakwajaran harga pengadaan 2,1 juta set APD di tahap pertama. Menurut hitungan auditor, komponen harga yang wajar sebetulnya hanya Rp 709 miliar. Tapi harga penjualan APD dari PT Permana ke Kementerian Kesehatan mencapai Rp 1,3 triliun.

Terawan Agus Putranto dan Budi Sylvana di Hanggar Pangkalan Udara TNI AU Raden Sadjad, Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, 15 Februari 2020/Antara/Muhammad Adimaja

Dari situlah angka ketidakwajaran harga sebesar Rp 625 miliar muncul. Jadi dalam audit tersebut BPKP merekomendasikan PPK mempertimbangkan angka ketidakwajaran ini sebelum melunasi sisa pembayaran. Ini yang menjadi alasan Budi menyetop sementara pembayaran kepada PT Permana.

Audit yang sama juga menyimpulkan keterlibatan PT Energi Kita Indonesia tak sesuai dengan ketentuan. Saat itu PT Energi Kita memang belum memiliki izin penyalur alat kesehatan. Jadi auditor menilai seharusnya PT Permana bisa langsung membeli APD dari produsen.

Temuan ini justru membuat Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo heran. Sejak awal, ia hadir dalam rapat bersama petinggi BNPB, Kementerian Kesehatan, bahkan BPKP. Kehadiran para petinggi itu membuatnya tenang karena merasa proyek tidak bermasalah. Ia menganggap semua pengadaan sudah melewati mekanisme pasar dan tidak ada bukti penggelembungan harga. “Saya jadi merasa dijebak,” ucap Satrio.

Meskipun pembayaran kepada PT Permana mandek, pengadaan APD tetap berlanjut dan melibatkan lebih banyak perusahaan. Namun temuan yang sama berulang. Pada 16 Desember 2020, BPKP menerbitkan audit kedua dan menyimpulkan ketidakwajaran harga pengadaan di enam perusahaan penyedia APD yang mencapai Rp 80 miliar.

Kedua audit itu diteken Direktur Pengawasan Bidang Pertahanan dan Keamanan BPKP Faisal Ali Hasyim. Saat ini ia menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Agama. Sejak awal rapat pengadaan, Faisal pun kerap hadir. Faisal pernah berjanji menjelaskan temuan timnya. Namun ia tak kunjung memberi kabar lagi hingga Sabtu, 3 Agustus 2024.

Satu dari enam perusahaan penyedia APD yang disebut dalam audit tersebut adalah PT Pan Brothers, Tbk. Auditor BPKP menemukan adanya kelebihan bayar hingga Rp 6 miliar. Dari yang seharusnya Rp 303 miliar, yang dibayarkan malah Rp 310 miliar di surat pesanan. Lima dari enam perusahaan ini sudah menyetorkan kembali kelebihan bayar itu kepada negara.

Wakil Presiden Direktur PT Pan Brothers Anne Patricia Sutanto mengatakan temuan itu sebetulnya muncul karena adanya perbedaan persepsi terhadap margin. Perusahaan menghitung berdasarkan penjualan, sementara BPKP menyampaikan hitungan persentase cost of goods cold atau harga pokok penjualan. Perusahaannya merasa sudah menyampaikan apa adanya saat tender, meskipun akhirnya tetap mengembalikan kelebihan Rp 6 miliar sesuai dengan audit BPKP tersebut. “Enggak fair, tapi kami malas ribut,” ujar Anne.

Adapun satu perusahaan yang sampai hari ini dikabarkan masih menolak menyelesaikan kelebihan bayar tersebut adalah PT Permana Putra Mandiri. Mereka bahkan balik mengajukan dua gugatan wanprestasi kepada Budi Sylvana dan Kementerian Kesehatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. PT Permana juga merasa dirugikan karena APD sudah kadung dipesan, tapi uang tak kunjung dicairkan PPK.

Pada Juni 2023, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan salah satu gugatan PT Permana atas pemesanan 1,8 juta set APD yang belum diserap. Sidang saat ini masih berlanjut sampai ke tingkat kasasi. Pengacara PT Permana dalam gugatan ini, Donald Fariz, mengatakan kliennya belum mau merespons perihal perkara ini.

Sementara itu, Satrio Wibowo menyoalkan istilah kerugian negara dalam kasus ini. Dua laporan BPKP tak menyebut perihal kerugian. Saat diperiksa KPK, Satrio dipertemukan dengan auditor BPKP. Ia pernah bertemu dengan auditor itu dalam rapat pengadaan APD. KPK ternyata meminta auditor BPKP mengaudit lagi pengadaan APD itu. “Auditor itu mengaku bingung saat berjumpa saya karena harus mengaudit lagi,” tutur Satrio.

Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengaku tak mengetahui urusan teknis audit anak buahnya. Tapi kabar keterlibatan auditor BPKP itu dibenarkan oleh juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto. Penyidik, dia menjelaskan, meminta penghitungan kerugian negara kepada BPKP berdasarkan surat perintah penyidikan. Tessa menuturkan, kerugian negara terjadi karena adanya hubungan antara perbuatan melawan hukum yang ditemukan penyidik dan kerugian yang terjadi. “Penyidik menemukan bahwa ketidakwajaran harga APD merupakan rekayasa para pelaku fraud,” kata Tessa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

M. Khory Alfarizi dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Malas Ribut Korupsi APD"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus