Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANTAN Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, Budi Sylvana, memiliki rekam jejak panjang dalam penanganan pandemi Covid-19. Ia adalah anggota tim yang diutus Kementerian Kesehatan guna mengawal pemulangan 238 warga negara Indonesia dari pusat wilayah penyebaran virus di Wuhan, Cina, saat pagebluk menggempur dunia pada 2020. Ia juga mengobservasi mereka di Pulau Natuna, Kepulauan Riau, sebelum diizinkan pulang ke rumah masing-masing. Terakhir, ia menjabat Kepala Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini pria 49 tahun itu terjerat kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan tiga tersangka korupsi alat pelindung diri (APD) dan alat kesehatan lain pada 4 Juli 2024. Salah satunya Budi Sylvana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gara-garanya, saat mendapat penugasan sebagai pejabat pembuat komitmen Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Budi meneken sejumlah invois pembayaran yang nilainya digelembungkan dalam proyek pengadaan dan distribusi APD.
KPK memperkirakan nilai kerugian negara dalam korupsi APD mencapai Rp 300 miliar. Proyek itu merupakan kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Berikut ini pernyataan Budi kepada wartawan Tempo di sebuah lokasi di Jakarta Selatan pada Senin, 29 Juli 2024.
Benarkah Anda terlibat korupsi APD?
Ini bukan kasus gratifikasi atau suap. Saya jadi tersangka karena menandatangani invois pembayaran dari vendor. Itu juga karena perintah atasan. Jadi KPK harus jeli melihat masalah ini.
Bagaimana awal mula proyek pengadaan itu?
Pengadaan alat itu sudah dibahas. Mereka yang menentukan harga dan vendor. Setelah itu, saya disuruh menjadi pejabat pembuat komitmen untuk membayar. Kenapa belakangan justru saya yang disalahkan? Saya kan cuma pelaksana.
KPK menyebutkan ada indikasi kerugian ratusan miliar rupiah. Benarkah?
Saya tidak tahu persis dasar penghitungannya. KPK bilang negara rugi karena ada temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Ada ketidakwajaran harga Rp 625 miliar. Angka ini kan belum saya bayar. Mengapa KPK bisa langsung menyimpulkan ini kerugian?
Mengapa Anda tak membayarkan sejumlah invois itu?
Saya tidak mau bayar itu karena ada indikasi penggelembungan harga. Jadi, kalau saya bayar, negara bisa rugi Rp 2,5 triliun. Mereka itu kongkalikong, kok. Anehnya, karena penolakan itu, saya malah diberhentikan.
Benarkah Anda mendapat tekanan karena menolak pembayaran itu?
Saya diintervensi oleh banyak orang, bukan hanya Pak Doni (mantan Kepala BNPB yang sudah meninggal, Doni Monardo), tapi juga politikus lain yang ikut dalam proyek ini. Saya dianggap biang kerok. Mereka memaksa saya segera membayar semua invois. Pak Menteri Kesehatan saat itu dan seorang menteri koordinator juga marah.
Apakah Anda mengalami intimidasi?
Setelah menolak pembayaran, sekitar Maret 2021, saya diperiksa oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dalihnya untuk pengawasan. Beberapa bulan kemudian, saya dipanggil Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Polisi menganggap tidak ada masalah. Jadi pemeriksaan saya ini sebenarnya sudah paripurna.
Benarkah Anda digugat salah satu perusahaan pemenang tender APD itu?
Kami sempat berkonfrontasi dengan rekanan. Dalam gugatan pertama, mereka menang, kami harus membayar Rp 300 miliar dan putusan ini masih berproses di tingkat kasasi. Gugatan kedua mengenai invois Rp 600 miliar masih bergulir di pengadilan.
Anda masih bertugas di Kementerian Kesehatan?
Karena perkara ini, saya diminta nonjob, tapi masih berstatus aparatur sipil negara. Saya tidak rida lahir-batin karena ulah mereka saya menjalani perkara hukum. Saat meminta mereka menurunkan harga, saya justru diberhentikan. Kejam sekali dunia ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo