Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI sepetak gudang yang tertutup, Saenah dan Emi mendengar suara sepeda motor masuk ke rumah kontrakan di salah satu kompleks perumahan di Jalan Kamboja, Cilegon, Banten, pada Selasa siang, 17 September 2024. Lokasi gudang dengan rumah hanya berselang tiga pintu. Saenah, 39 tahun, langsung panik. Emi, 23 tahun, refleks membekap mulut APH, bocah perempuan lima tahun yang mereka culik dari rumah kontrakan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APH tetap meronta-ronta bahkan berupaya menggigit tangan Emi. Saenah dan Emi memukul anak perempuan itu. Emi memukul dengan tangan, sementara Saenah menggunakan besi mirip shockbreaker yang ditemukan di dalam gudang. Mereka juga melilitkan lakban berwarna hitam pada mulut korban. Mulut APH dibekap boneka berbentuk pisang. Semua kekerasan itu bertujuan membuat APH pingsan. Rupanya, mereka kebablasan. “Berselang beberapa lama meninggal karena perutnya enggak bergerak lagi,” kata Saenah kepada Tempo di Kepolisian Resor Cilegon, Kamis, 3 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APH meninggal gara-gara menjadi sasaran pelampiasan kekesalan Saenah dan Emi kepada A, ibu APH. Saenah cemburu kepada A lantaran kerap jalan dan nongkrong bareng dengan Rahmi, 38 tahun. Rahmi adalah kekasih dan sudah tinggal bersama dengan Saenah. Ketiga perempuan itu saling mengenal karena anak Rahmi dan APH, anak A, belajar di tempat bimbingan minat belajar anak yang sama.
Emi terseret kasus ini karena merasa A sering berbuat semena-mena. Kepada Tempo, Emi mengatakan A pernah membentak anaknya. Ia juga tak diberi upah dan makanan setelah dua hari bersih-bersih di rumah A.
Rupanya, Rahmi juga kesal setelah mendengar cerita Emi dan Saenah. Ia memang tak ikut saat Saenah dan Emi menyekap APH di dalam gudang. Tapi ia juga terseret lantaran menyembunyikan informasi mengenai kematian korban. Ia bahkan memberi ide agar Saenah dan Emi berbuat onar di rumah A. “Buat shock therapy,” ujar Rahmi.
Saenah dan Emi akhirnya bersepakat menjaili A pada Ahad, 15 September 2024, atau dua hari sebelum kematian APH. Rencananya mereka membawa kabur APH ke sebuah daerah di Jawa Tengah. APH baru dipulangkan jika A sudah menyesali perbuatannya kepada Saenah dan Emi.
Dua hari kemudian, mereka mendatangi rumah kontrakan A di Jalan Kamboja. Pada hari itulah mereka membawa lalu menyekap APH di dalam gudang yang jaraknya hanya beberapa belas meter dari rumah kontrakan A. Setelah melihat A keluar dari rumahnya, Saenah dan Emi mengajak APH pergi. APH menurut karena sudah mengenal Emi. “Kami bawa dulu ke gudang. Karena kalau langsung dibawa ke luar kompleks pasti terlihat orang lain,” tutur Saenah sambil menangis.
Saat APH disembunyikan, kedua orang tuanya mencari keberadaannya. Ayah APH, AH, 36 tahun, memastikan anaknya hilang karena tak kunjung membalas ucapan salam. Ia mengatakan APH selalu menjawab ucapan salamnya di mana pun berada. Saat pulang bersama istrinya, AH hanya menemukan buku gambar di atas ranjang.
Di depan rumah, ia sempat celingak-celinguk mencari APH. Beberapa menit kemudian, ia melihat Rahmi datang dengan dibonceng ojek daring. Sepeda motor milik ojek berhenti persis di depan AH. “Rahmi datang, lalu bertanya ada apa,” kata AH kepada Tempo. Pada saat itu Rahmi mengaku tak tahu APH berada di mana.
Rupanya, sebelum ke rumah korban, Rahmi menerima panggilan telepon dari Saenah yang masih bersembunyi di dalam gudang dekat rumah kontrakan A dan AH. Saenah mengaku panik dan menghabisi nyawa APH. Ia meminta bantuan kekasihnya itu untuk dikeluarkan bersama Emi dan jasad APH yang sudah dimasukkan ke ransel.
Sambil berbincang dengan AH, Rahmi memesan taksi daring lewat telepon selulernya. Ia berencana membawa Saenah dan Emi kabur dengan taksi. “Saat itu saya juga panik sampai tangan gemetar memegang handphone,” tutur Rahmi.
Pada saat yang sama, AH masih berupaya melacak APH ke belakang rumah kontrakan. Dari jejak telepon selulernya, APH diketahui sempat berada di Jalan Anggrek, belakang rumahnya. Ia juga mencari ke daerah lain, tapi tak berhasil. H akhirnya melaporkan kehilangan anaknya ke kantor Kepolisian Sektor Cilegon pada hari itu. Petugas lantas mengarahkannya untuk melapor ke Kepolisian Resor Cilegon.
Rahmi menemani AH ke Polres Cilegon setelah mendatangkan taksi daring untuk Saenah dan Emi. Kepada Tempo, Rahmi mengklaim ikut karena diminta mendampingi AH. Namun AH membantah pengakuan itu. Ia mengatakan Rahmi datang karena inisiatif pribadi. Rahmi bahkan mengarahkan dia agar melapor ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. “Dia bilang penanganan Polres Cilegon lambat, lalu menyarankan melapor ke Polda Metro Jaya supaya bisa dicek IMEI handphone anak saya,” ujar AH.
Selepas menerima laporan AH, polisi langsung bergerak. Kepala Unit III Satuan Reserse Kriminal Polres Cilegon Inspektur Satu Yogie Fahrisal mengatakan timnya mengecek lokasi hilangnya APH hingga tengah malam. Polisi turut menanyakan siapa kira-kira orang yang sakit hati kepada A dan AH. Ada beberapa nama yang disebut, termasuk Saenah dan Rahmi. Saat diperiksa, Saenah sempat mengelak. “Tapi Rahmi mengakui perbuatannya,” ucap Yogie.
Rekonstruksi kasus pembunuhan anak yang wajahnya dilakban di Kepolisian Resor Cilegon, Banten, 4 Oktober 2024. Tempo/Lani Diana
Tak sampai dua hari setelah kematian APH, polisi menangkap Saenah, Emi, lalu Rahmi. Rahmi disangka membantu Saenah dan Emi untuk melenyapkan mayat APH. Ketiganya langsung ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman pidananya hingga 15 tahun penjara.
Pembunuhan APH juga melibatkan dua orang lain. Sehari setelah kejadian, Saenah mulai bingung mengenai nasib jasad APH yang disembunyikan dalam ransel. Ia sempat berpikir hendak mengubur mayat APH. Tapi Rahmi tidak setuju karena takut. Karena itulah mayat korban dibawa ke Kabupaten Pandeglang, Banten. Mereka lagi-lagi tak berani melakukannya sendirian.
Keduanya lantas menemui Ujang Hildan, 22 tahun, dan Yayan Herianto, 23 tahun, yang belakangan juga telah ditetapkan menjadi tersangka. Setelah mendengar cerita Saenah dan Rahmi, kedua pria itu menolak menguburkan jasad APH. Mereka malah menyarankan mayat APH dibuang ke kawasan Pantai Cihara, Kabupaten Lebak, Banten, yang jaraknya sekitar 130 kilometer dari lokasi pembunuhan.
Saenah dan Rahmi manut. Keempatnya langsung berangkat ke Pantai Cihara menggunakan sepeda motor. Mayat APH dibuang dari atas jembatan dekat pantai dengan ketinggian kira-kira 15 meter. Seseorang menemukan mayat yang wajahnya sudah terlilit lakban itu pada Kamis, 19 September 2024. Penemuan mayat APH menarik simpati warganet di media sosial.
Pada saat Saenah dan Rahmi sibuk berupaya menghilangkan mayat APH, Emi pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Pandeglang. Ia mengaku tak berhenti menangis dan memikirkan peristiwa itu. Ia mengatakan awalnya hanya hendak mengerjai A dan tak berniat mencelakai APH. “Kami kebablasan,” kata Emi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lakban Hitam Pelampiasan Cemburu"