Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Heri bin Zakaria, terpidana pembunuh Harnovia Fitriani, bebas pada Januari 2020.
Ia mengaku dianiaya selama pemeriksaan.
Ada 30-an saksi yang melihat Heri berada di rumah saat pembunuhan terjadi.
ENAM bulan terakhir, Heri bin Zakaria menghabiskan hari menjaga toko kelontong miliknya di Desa Bakau Besar Laut, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Sebelumnya, laki-laki 36 tahun ini bekerja di pabrik minyak kelapa di desa itu.
Ia menghirup udara bebas pada Januari 2020. Pada 28 April 2014, majelis hakim Pengadilan Negeri Mempawah, Kalimantan Barat, menghukum Heri bersama tetangganya, Pardan bin Saman, 14 tahun dan 3 bulan penjara.
Hakim memvonis keduanya dengan tuduhan memperkosa dan membunuh Harnovia Fitriani, 15 tahun, pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Mempawah. Harnovia ditemukan tak bernyawa pada 18 Desember 2012 di rawa-rawa dekat sebuah pabrik minyak kelapa. “Kami bukan pembunuhnya,” kata Heri kepada Tempo di rumahnya pada Jumat, 9 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa Anda dan Pardan bebas lebih cepat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya dan Pardan sudah keluar dari penjara sejak Januari tahun lalu. Kami mendapat banyak remisi. Alhamdulillah. Meski kami menjalani hukuman, dari awal sampai akhir kami bukan pelakunya. Penderitaan kami dari awal luar biasa. Terasa mimpi. Kami tidak berbuat apa pun. Kami tidak terlibat, kok bisa mendekam di penjara selama enam tahun lebih?
Siapa pelaku yang sebenarnya?
Kami tidak tahu. Tahu-tahu kami dijadikan tersangka.
Bagaimana Anda dan Pardan menjadi tersangka?
Ada keterangan dari tetangga kami, Zulkarnain alias Prak alias Karnaen. Saat itu, dia berada di penjara karena menggelapkan sepeda motor. Entah bagaimana, tiba-tiba dia menuduh saya dan Pardan. Dia mengklaim melihat saya dan Pardan berboncengan membawa Harnovia ke gudang pabrik minyak kelapa. Kami sehari-hari memang bekerja di situ. Tapi saat kejadian, istri dan anak-anak kami ataupun tetangga yang lain tahu kami berada di rumah, sedang beristirahat. Pardan rumahnya hanya berjarak dua rumah dari tempat saya. Banyak saksi yang melihat kami di rumah.
Saat penemuan mayat korban, Anda ada di mana?
Sebelum penemuan mayat kami ikut mencari, bahkan sampai ke Singkawang (sekitar dua jam perjalanan dari Desa Bakau). Ternyata, pada keesokan hari, ada warga desa yang menemukan korban di rawa-rawa. Padahal tempat itu sudah kami periksa dan tidak ada mayat.
Mengapa Zulkarnain bersaksi melihat kalian membawa Harnovia?
Kami tidak mengerti. Kalau dia melihat kami berdua membawa korban, kenapa tidak pas penemuan, atau seminggu-dua minggu setelahnya? Kenapa menuduh kami setelah dia berada di penjara?
Bagaimana sikap Anda saat pemeriksaan dan rekonstruksi perkara?
Saya tolak semua. Apa yang diperagakan? Saya tidak melakukan apa-apa. Saya tidak pernah tanda tangan apa pun. Bahkan saat awal-awal ditahan, saya bersumpah kalau memang saya pelakunya, anak yang dikandung istri saya tidak akan selamat ketika lahir. Istri saya saat itu hamil sembilan bulan. Anak kedua kami itu lahir ketika saya ditahan dua pekan.
Benarkah Anda dan Pardan diintimidasi saat pemeriksaan?
Jangankan soal paksaan, kami dipukul, ditampar, disuruh telanjang. Disuruh mengakui perbuatan orang. Siapa yang mau? Kami tidak sekali pun melakukan itu, apalagi pembunuhan. Saya tidak melakukan apa-apa. Kami mati pun rela.
Ada saksi atau keterangan lain yang menuding kalian bersalah?
Tidak ada. Justru ada 30-an orang yang menyaksikan saya dan Pardan di rumah. Tapi keterangan itu mental semua. Yang dibenarkan hanya kesaksian Zulkarnain. Dia warga desa sini juga. Tapi kok tega?
Di mana dia sekarang?
Sejak saat itu, kami tidak pernah ketemu. Hingga sekarang, dia tidak pernah pulang ke sini.
Bagaimana hubungan Anda dengan keluarga Harnovia?
Kami baik-baik saja. Dengan ibunya, bibi, pamannya jika bertemu masih baik-baik saja sampai sekarang. Tidak ada masalah. Mereka tahu kami tidak bersalah.
Apakah masih ada keinginan kasus ini dibuka kembali?
Dari awal kami sudah berjuang ke sana kemari, mengadu ke mana-mana tapi tidak ada hasilnya. Kami kecewa, putus asa. Rasanya hampa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo