Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dito Mahendra sudah tiga kali mangkir dari panggilan penyidik KPK.
Diduga mengetahui proses cuci uang Nurhadi Abdurrachman.
Ditengarai menerima transfer uang dari orang dekat Nurhadi.
SETELAH tiga kali diabaikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengirim surat pemanggilan keempat untuk Mahendra Dito Sampurno alias Dito Mahendra. Surat tersebut dikirimkan ke Kelurahan Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Kamis, 2 Februari lalu. Alamat itu ditengarai sebagai rumah kediaman terbaru Dito.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi antirasuah rencananya memeriksa Dito sebagai saksi kasus tindak pidana pencucian uang mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman. Nurhadi sudah menjadi tersangka dalam perkara ini. “Bila tidak hadir, kami akan ambil langkah hukum berikutnya sesuai dengan undang-undang, bisa panggilan lanjutan atau jemput paksa,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, melalui WhatsApp pada Sabtu, 4 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya Dito mengabaikan tiga panggilan lain yang dikirim sejak awal November 2022. Tiga surat sebelumnya dikirim ke alamat lama Dito di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Tak cuma itu, penyidik KPK juga sempat bersiaga di Pengadilan Negeri Serang, Banten, pada Desember 2022.
Saat itu Dito seharusnya bersaksi di pengadilan perkara dugaan pencemaran nama dengan terdakwa Nikita Mirzani. Dito adalah pelapor dalam kasus yang menjerat Nikita itu di Kepolisian Resor Serang, Banten. Tapi ia tak pernah memenuhi panggilan sebagai saksi sebanyak empat kali hingga hakim kemudian membebaskan Nikita. Saat itu ia beralasan sedang sakit dan berobat ke Johor, Malaysia.
Tersangka mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 26 Agustus 2020/Tempo/Imam Sukamto
Baca: "Air Susu Dibalas Penjara"
Akibat tindakannya, Kejaksaan Negeri Serang melaporkan Dito ke Kepolisian Resor Serang lantaran mengabaikan panggilan pengadilan. “Kami juga telah berkomunikasi dengan penyidik Polres Serang terkait dengan informasi pemeriksaan Mahendra Dito S.,” ujar Ali.
Kesaksian Dito digadang-gadang menjadi petunjuk baru dalam penanganan kasus dugaan pencucian uang yang menjerat Nurhadi beserta menantunya, Rezky Herbiyono. Dito diduga menerima aliran dana dari Nurhadi melalui orang kepercayaannya di Surabaya, Yoga Dwi Hartiar.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, Yoga ditengarai mengirim uang kepada Dito dalam kurun Februari hingga Mei 2016. Pada 20 Februari, misalnya, Yoga melalui salah satu bank pelat merah mentransfer uang ke rekening Dito sekitar Rp 200 juta.
Transfer tersebut terus berlanjut. Dua pekan berselang, Yoga kembali menyetorkan Rp 400 juta kepada Dito. Pada akhir Maret, ia juga mengirim Rp 200 juta. Pada April, nominal uang yang ditransfer Yoga makin besar, yakni total sekitar Rp 750 juta.
Pada April itu, penyidik KPK untuk pertama kali menggeledah rumah kediaman Nurhadi di Jalan Hang Lekir V Nomor 2-6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penggeledahan ini adalah pengembangan operasi tangkap tangan terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan pegawai PT Across Asia Limited, Doddy Aryanto Supeno, dalam kasus suap penanganan perkara Lippo Group secara bertahap sebesar Rp 2,3 miliar.
Selepas penggeledahan di rumah Nurhadi, Yoga makin gencar menyetorkan fulus ke rekening Dito. Pada Mei 2016, Yoga mengirimkan uang senilai total Rp 1 miliar dalam empat tahap.
Menurut seseorang yang pernah dekat dengan Nurhadi dan Yoga, Dito diketahui ikut mengurus perkara di pengadilan. Dito juga pernah beberapa kali membantu menantu Nurhadi, Rezky.
Pada 2016, misalnya, Rezky meminta bantuan Dito untuk membuat buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) baru di kepolisian untuk satu unit kendaraan mewah. BPKB baru dibuat dengan alasan surat yang lama telah hilang. Padahal ketika itu Rezky menggadaikan BPKB tersebut ke salah satu temannya di Surabaya.
Dito juga disebut mampu menjembatani Nurhadi dengan pihak-pihak yang beperkara. Beberapa tahun lalu, seorang pengusaha asal Surabaya berseteru dengan Nurhadi. Lewat seorang kawan di Surabaya, sang pengusaha menemui Dito agar bisa membantu proses perdamaian dengan Nurhadi.
KPK menetapkan Nurhadi dan Rezky sebagai tersangka pencucian uang pada 4 Juni 2020. Kasus ini adalah pengembangan atas perkara suap dari PT Multicon Intrajaya Terminal sekitar Rp 35,726 miliar saat beperkara dengan PT Kawasan Berikat Nasional. Ia juga dituduh menerima gratifikasi Rp 13,787 miliar.
Dalam perkara suap dan gratifikasi ini, Nurhadi divonis bersalah hingga di tingkat kasasi berupa hukuman enam tahun penjara dan Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Direktur Utama PT Multicon Intrajaya Terminal Hiendra Soenjoto turut ditetapkan sebagai tersangka. Saat ini Nurhadi mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Selain menelusuri transaksi dengan Dito, penyidik KPK menelusuri aset-aset Nurhadi. Penyidik KPK memeriksa adik ipar Nurhadi, Kosasih, sebagai saksi pada 20 Mei 2020. Dalam pemeriksaan itu, penyidik meminta Kosasih meneken berita acara penyitaan dokumen terkait dengan berbagai aset Nurhadi. Sebab, Nurhadi mengklaim telah menjual rumahnya yang berada di Jalan Hang Lekir.
Kepada Tempo, dua penegak hukum mengatakan Kosasih awalnya memang mengklaim telah membeli rumah Nurhadi dari adik iparnya seharga Rp 40 miliar. Harga tersebut terlalu murah lantaran harga pasaran rumah seluas 406 meter persegi itu mencapai Rp 60 miliar.
Apalagi isi rumah dua lantai itu adalah perabot mahal bermerek Bulgari dan Giorgetti serta memiliki fasilitas berupa kolam renang dan tempat pijat. Di dalam rumah itu juga terdapat ruangan khusus untuk penyimpanan tas mewah berbagai merek. Bahkan genteng atap rumah tersebut diimpor langsung dari Jerman.
Nurhadi memang sempat berpindah alamat ke rumah milik Rahmat Santoso pada 2017 atau setelah penggeledahan KPK pada April 2016. Rahmat lalu mengagunkan rumah itu ke salah satu bank swasta untuk pinjaman senilai Rp 85 miliar. Utang Rahmat di bank diklaim macet sehingga rumah jaminan tersebut dijual kepada Kosasih dengan harga murah. Pengalihan itu ditengarai sebagai taktik untuk menyamarkan aset.
Dalam pemeriksaan, Kosasih berkukuh pemindahan itu proses jual-beli biasa. Belakangan, Kosasih mengakui ia hanya dipinjam namanya seolah-olah membeli rumah itu. Saat Tempo mengkonfirmasi modus pinjam nama ini, Kosasih membantahnya. “Tidak, tidak. Saya belinya lewat Rahmat Santoso,” ucap Kosasih.
Modus gagal bayar ini pernah dicoba dilakukan Nurhadi dan Rezky dengan meminta bantuan seorang manajer aset pada Juni 2016. Sang manajer diperintahkan “membersihkan” harta Nurhadi. “Dia langsung mengirim dokumen-dokumen tersebut via e-mail,” ujar manajer aset yang enggan identitasnya disebut itu. Salah satu aset yang diurus adalah pengalihan rumah mewah seluas 433 meter persegi di Patal Senayan 3B, Jakarta Selatan.
Caranya, ia menyamarkan rumah seharga Rp 58 miliar itu dengan dijadikan jaminan pinjaman ke salah satu bank swasta. Rumah itu sebelumnya diatasnamakan putri tunggal Nurhadi, Rizqi Aulia Rahmi.
Dia menyiapkan skenario gagal bayar sehingga nanti ada orang yang menutupi utang tersebut dan rumah beralih kepemilikan. Rupanya, ia baru sadar KPK sedang meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menelusuri aset-aset Nurhadi. “Proses ini saya tunda,” tuturnya. KPK sempat menggeledah rumah di Patal Senayan dan Hang Lekir itu saat Nurhadi dan Rezky berstatus buron pada Februari-Juni 2020.
Manajer aset itu mengaku telah “menyamarkan” empat kebun sawit Nurhadi di Padang Lawas, Sumatera Utara, yang bernilai Rp 42,5 miliar. Pembersihan ini diperintahkan oleh Rezky.
Kebun sawit itu atas nama Rizqi Aulia dan Rezky. Untuk menutupi jejak, manajer aset itu meminjam nama beberapa orang lain untuk bertransaksi. Selain via transfer, pembayaran kebun sawit sering dilakukan melalui setor tunai.
Bukan itu saja, Rezky pernah menyerahkan segepok dokumen harta lain kepada manajer aset tersebut. Di antaranya dokumen vila mewah di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, dan empat pabrik tisu di Jawa Timur.
Semula Rizqi Aulia tercatat sebagai komisaris di perusahaan tersebut. Namun, seusai penggeledahan KPK pada 2016, kepemilikan pabrik tisu beralih ke adik ipar istri Nurhadi, Tin Zuraida, yang berinisial TW.
Aset-aset tersebut tak tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disetor Nurhadi ke KPK pada 2012. Dari total harta LHKPN senilai Rp 33,4 miliar, Nurhadi hanya mencantumkan rumah di Jalan Hang Lekir, Bogor; Kudus, Jawa Tengah; serta Kediri dan Malang, Jawa Timur. Ia juga memiliki logam mulia dan benda seni senilai Rp 11,2 miliar serta giro atau kas senilai Rp 10,7 miliar.
Gaji Nurhadi saat menjabat Sekretaris Mahkamah Agung sekitar Rp 18 juta per bulan. Tapi, dengan jumlah penghasilan tersebut, ia gemar membeli mobil mewah dan mengoleksi jam tangan mahal.
Seorang pegawai bagian penjualan toko jam mewah di Jakarta Selatan mengaku Rezky dan Nurhadi adalah pelanggan tokonya pada 2015. Rezky kerap berbelanja untuk Nurhadi. Menurut dia, hampir setiap bulan Rezky membeli jam bermerek Richard Mille, Audemars Piguet, ataupun Patek Philipe.
Menantu mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Rezky Herbiyono, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 15 September 2020/Tempo/Imam Sukamto
Jam yang dibeli Rezky tersebut seharga Rp 1,25-6,5 miliar. “Kadang katanya membeli untuk diberikan ke orang,” ujar pegawai bagian penjualan ini. Setidaknya ada 12 jam tangan mewah yang dibeli Rezky pada tahun itu.
Adapun mobil mewah Nurhadi di antaranya Ferrari 458 Spider dan 430 Scuderia, Toyota Vellfire, serta beberapa mobil dan sepeda motor antik. Semua kendaraan ini lagi-lagi tak tercatat di LHKPN Nurhadi.
Ia hanya mencantumkan empat kendaraan, yakni Lexus, Mini Cooper, Jaguar, dan Toyota Camry. Nurhadi dan Rezky juga memiliki 21 rekening yang beberapa di antaranya atas nama perusahaan dan orang lain.
Kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail, mengatakan kliennya diperiksa penyidik sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang pada Rabu, 25 Januari lalu. Nurhadi mengaku tak mengenal Dito. “Sempat ditanyakan oleh penyidik, tapi kemudian dijawab oleh Pak Nurhadi: sama sekali tidak mengenal Dito Mahendra, dan tidak mengetahuinya,” ucap Maqdir. Ihwal Yoga, ia mengatakan, Nurhadi mengenalnya. “Dulu sudah menjadi saksi dalam perkara Pak Nurhadi,” tuturnya. Adapun Yoga tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 4 Februari lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo