Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Larangan ekspor bijih bauksit dan konsentrat tembaga berlaku tahun ini.
Indonesia bukan penguasa cadangan bauksit dan tembaga dunia.
Larangan ekspor hanya menjadi regulasi populis tanpa hasil maksimal.
PEMERINTAH makin agresif memberlakukan larangan ekspor mineral hasil tambang. Mulai pertengahan tahun ini, ada dua lagi komoditas mineral yang bakal terkena embargo ekspor: bijih bauksit dan konsentrat tembaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekilas kebijakan ini terlihat baik untuk mendorong "hilirisasi", pengolahan hasil tambang mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi. Ketimbang mengekspor mineral yang masih mentah, tentu lebih baik jika kita mengekspor produk olahan mineral. Ada nilai tambah lebih besar buat ekonomi karena produk olahan jelas lebih berharga ketimbang produk mentah. Pengolahan mineral di dalam negeri juga akan menciptakan lapangan kerja. Ada pula aliran investasi yang masuk dari investor luar negeri untuk membangun fasilitas pengolahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah yang terjadi pada industri nikel. Sejak 2014, pemerintah melarang ekspor bijih nikel. Larangan ini menjadi insentif bagi investor, terutama dari Cina, untuk berdatangan membangun ekosistem industri pengolahan nikel di sini. Pabrik pengolah nikel yang pada 2014 cuma ada tiga sudah mencapai 17 unit tahun lalu. Walhasil, sejak dua tahun lalu nilai ekspor produk olahan nikel, feronikel, dan baja tahan karat atau stainless steel melonjak tajam, dari US$ 3 miliar per tahun sebelum hilirisasi menjadi sekitar US$ 30 miliar selama 2022.
Pemerintah rupanya ingin mereplikasi kisah sukses ini pada komoditas tambang lain sehingga muncullah rencana larangan ekspor bauksit dan tembaga. Hilirisasi kini sudah menjadi obsesi dan pemerintah menganggap larangan ekspor merupakan cara paling ampuh untuk mencapai keinginan itu. Para analis di pasar pun mulai menyoal. Apakah ini kebijakan yang rasional?
Posisi Indonesia di pasar global nikel, bauksit, dan tembaga tidak setara. Ihwal nikel, Indonesia memang penguasa cadangan terbesar di dunia. Pabrik pengolah nikel, terutama di Cina, bergantung pada pasokan bijih dari Indonesia. Maka, ketika sumbernya pampat, mereka datang kemari untuk membangun fasilitas pengolahan.
Sedangkan dalam hal bauksit dan tembaga, posisi Indonesia tidak dominan. Kita hanya menguasai 3,6 persen cadangan bauksit global dan 3 persen cadangan tembaga dunia. Negara produsen lain dapat mengganti pasokan dari Indonesia jika ada larangan ekspor. Dus, larangan ekspor belum tentu mampu memaksa korporasi raksasa membangun fasilitas pengolahan bauksit dan tembaga di sini.
Dari transformasi industri nikel, kita juga bisa belajar betapa penambahan kapasitas pengolahan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Penghiliran nikel membutuhkan waktu tujuh-delapan tahun sebelum menghasilkan volume produk yang mampu mendongkrak ekspor Indonesia.
Dalam jangka pendek, yang dominan terasa dari larangan ekspor hanyalah efek buruk karena anjloknya penerimaan ekspor. Perusahaan pertambangan yang tak bisa lagi menjual produknya ke luar negeri bakal memikul beban berat. Untuk bauksit, diperkirakan ada sekitar 10,6 juta ton bijih yang mubazir tak terserap industri pengolahan domestik.
Untuk tembaga, sebelas bulan pertama tahun lalu ada ekspor konsentrat senilai U$ 8,4 miliar dengan volume 2,8 juta ton. Pertengahan tahun ini, penerimaan ekspor itu akan terhenti. Sementara itu, pabrik peleburan yang ada belum mampu menyerap produksi tambang yang harus tetap beroperasi.
Sebetulnya, untuk mewujudkan hilirisasi, pemerintah punya opsi kebijakan lain. Alih-alih menutup ekspor secara total, pemerintah dapat mengenakan pajak ekspor mineral mentah demi mendorong hilirisasi nikel.
Selain bisa mendapatkan penghasilan tambahan, pemerintah akan lebih mudah mengendalikan dampak kebijakan itu pada industri lewat pengaturan tarif pajaknya sesuai dengan situasi pasar. Indonesia juga bisa menghindar dari sengketa dagang dengan negara-negara lain atau gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tahun lalu, Indonesia harus menelan kekalahan dalam gugatan larangan ekspor nikel di WTO.
Namun, secara politis, larangan ekspor memang lebih seksi. Ada aroma nasionalisme yang bisa dikobarkan demi mendongkrak popularitas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo