Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor (SHB) sebagai tersangka terkait dugaan tindakan penyuapan senilai Rp 12,1 miliar dan US$ 500 atau sekitar Rp 7,5 juta (kurs Rp 15.000).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan SHB diduga menerima “fee” sebesar 5 persen dari beberapa proyek pembangunan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya di Kalimantan Selatan tahun 2024-2025, dan setuju untuk dinaikkan ke tahap penyidikan terhadap SHB, SOL, AMD, YUL, dan FEB,” kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2024, seperti dikutip dari Antara. Lantas, berapa harta Sahbirin?
Harta Kekayaan Sahbirin Noor
Melansir laman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara elektronik (e-LHKPN) KPK, Sahbirin terpantau pertama kali menyampaikan laporan terkait jumlah hartanya ketika menjabat sebagai Gubernur Kalsel periode 2016-2020. Total kekayaannya kala itu sebesar Rp 400.000.000 per 23 Juli 2015.
Setahun kemudian, harta pria yang akrab disapa Paman Birin itu meningkat tajam hingga Rp 16.231.834.898 per 18 April 2016. Adapun total kekayaannya selama menjabat di periode pertama, yaitu sebesar Rp 20.270.657.009 pada 2017, Rp 21.317.211.924 pada 2018, Rp 22.901.557.253 pada 2019, dan Rp 23.190.195.790 pada 2020.
Selanjutnya, Sahbirin kembali menyerahkan LHKPN karena kembali terpilih sebagai Gubernur Kalsel di periode kedua pada 2021-2025. Jumlah hartanya selama dua tahun berturut-turut, yaitu sebesar Rp 24.662.647.833 pada 2021 dan Rp 24.025.394.506 pada 2022.
Terbaru, total kekayaan Sahbirin yang dilaporkan ke KPK sebesar Rp 24.896.076.273 per 28 Februari 2024 dengan rincian sebagai berikut:
- Tanah dan bangunan: Rp 13.714.700.000.
- Alat transportasi dan mesin: Rp 733.000.000.
- Harta bergerak lainnya: Rp 2.324.514.900.
- Surat berharga: -
- Kas dan setara kas: Rp 8.123.861.373.
- Harta lainnya: -
- Utang: -
Dalam LHKPN-nya, Sahbirin mengaku mempunyai 13 bidang tanah dan/atau bangunan yang berasal dari hasil usaha sendiri, dengan luas berkisar antara 140 hingga 19.500 meter persegi. Aset-aset properti tersebut tersebar di berbagai kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, mulai dari Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kota Banjarmasin, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kota Banjarbaru.
Sahbirin juga mengoleksi lima unit kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Koleksi alat transportasinya terdiri dari mobil Mazda Biante Minibus (2014), mobil Honda CRV Minibus (2012), mobil Ford Pickup (2012), motor Honda Revo (2017), dan mobil Honda HR-V (2016).
Terkait kasus dugaan korupsi di lingkup Pemprov Kalsel, KPK juga menetapkan tersangka lainnya, yaitu Kepala Dinas PUPR Kalsel Ahmad Solhan (SOL), Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya Dinas PUPR Kalsel Yulianti Erlynah (YUL), Bendahara Rumah Tahfidz Darussalam Ahmad (AMD), dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bagian (Kabag) Rumah Tangga Gubernur Kalsel Agustya Febry Andrean (FEB). Selain itu, terdapat dua tersangka lainnya yang berasal dari kalangan swasta, meliputi Sugeng Wahyudi (YUD) dan Andi Susanto (AND).
Pihak KPK pun telah menahan enam tersangka dalam kasus itu, sedangkan Sahbirin belum ditahan dan akan segera dilakukan pemanggilan. “Sampai dengan saat ini, Penyidik masih terus berupaya mengamankan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab terhadap peristiwa pidana ini,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Lima orang tersangka yang berstatus sebagai penyelenggara negara dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara dua pihak swasta akan dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, maupun Pasal 13 UU Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.