Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Sidang Korupsi Timah Harvey Moeis, Kerusakan Lingkungan Makin Masif Setelah Penambangan 5 Smelter

Berdasarkan hitungan Kejagung kerugian negara terbesar dalam kasus korupsi timah adalah kerusakan lingkungan yang mencapai Rp 271 triliun.

6 September 2024 | 11.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ridwan Suwandi selaku Kepala Divisi Perencanaan Pengendalian Produksi PT Timah Tbk hadir sebagai saksi korupsi timah yang menyeret suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis bersama dengan eks Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, serta Dirut PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kesaksiannya, Suwandi menyebut kerusakan lingkungan dampak dari penambangan liar di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah semakin meluas sejak masifnya kegiatan penambangan ilegal yang dilakukan dengan cara-cara modern, yakni dengan menggunakan alat-alat berat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menyebut sampai dengan saat ini kerusakan lingkungan di wilayah tersebut masih tetap ada meskipun sudah dilakukan reklamasi. "Reklamasi dilakukan tapi tidak mengimbangi," kata Suwandi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Kamis, 5 September 2024.

Ia mengakui bahwa reklamasi atau perbaikan lingkungan di wilayah IUP PT Timah tidaklah seimbang meskipun dalam aturan, kegiatan reklamasi ini menjadi tanggung jawab perusahaan.

Dia menyebut kerusakan lingkungan semakin jelas terlihat sejak PT Timah melakukan kemitraan kerja sama dengan lima smelter swasta, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa, CV Venus Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa dan PT Sariwiguna Binasentosa.

Isu kerusakan lingkuangan, kata dia, sebenarnya menjadi dilema bagi perusahaan karena di sisi lain dengan adanya kemitraan kerja sam ini, PT Timah mendapat keuntungan dari segi produksi. Perusahaan mengalami lonjakan produksi pada kuartal I setelah adanya instruksi 030 dan Sisa Hasil Produksi (SHP) yang melibatkan mitra maupun penambang ilegal.

"Penambangan itu makin masif dilakukan, PT Timah bisa mencapai produksi sekitar 80 persen atau sekitar 30 ribu metrik ton bijih timah. Namun, para direksi memutuskan untuk tetap menjalin kerjasama smelter dan di kuartal I kita sudah hampir bisa memenuhi target produksi," ujarnya.

Di sidang sebelumnya, mantan karyawan PT Timah, Musda Anshori juga mengatakan kegiatan penambangan ilegal masif dilakukan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.

Ia menjelaskan, IUP PT Timah sangat luas. Dari luasnya izin tersebut, terdapat beberapa wilayah berkategori abu-abu, seperti hutan produksi hingga hutan lindung. Sehingga, tidak bisa dilakukan kegiatan penambangan. "Tahun 2018 kegiatan penambangan ilegal semakin masif. Kita punya IUP tapi tidak semuanya kita terbitkan surat, ada abu-abu nya," katanya.

Menurut Musda, penambangan ilegal dilakukan secara tradisional hingga modern. Bahkan, menggunakan alat berat, serta tidak hanya dilakukan di wilayah darat, melainkan dilakukan di lepas pantai.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022, mencapai Rp 300 triliun yang didalamnya adalah kerugian lingkungan sebesar Rp 271,1 triliun.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus