Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

iklan

Semangat Kebangsaan Bersalut Moral dan Etika

Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri berpesan setiap orang berani mengungkap kebenaran. Bangga menjadi orang Indonesia. 

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di depan corong mikrofon berwarna merah, Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau Megawati Soekarnoputri menandaskan semangat kebangsaan yang terus diingatkan kepada anak cucunya. “Banyak yang sekolah ke luar negeri, tetapi saya tekankan selalu ideologi bangsa. Kamu harus ingat kamu adalah orang Indonesia,” ujarnya sambil sesekali menahan haru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berorasi di depan ratusan peserta Dialog Kebangsaan yang digelar Pimpinan Gereja dan Pria Kaum Bapak se-Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin, 20 November 2023, Presiden kelima ini mengaku prihatin dengan luruhnya semangat kebangsaan. “Mestinya setiap orang tua mengajarkan hal ini pada anak-anaknya,” kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Generasi Z dan milenial yang begitu mudah menyerap informasi dari internet, ujar Megawati, sudah sepatutnya mengingat semangat juang bangsa di tahun pada 1945. Era tersebut tidak ada internet yang memudahkan sebuah pesan terkirim dalam hitungan detik. Namun, saat itu masyarakat mampu mengetahui peristiwa penting yang bakal terjadi, seperti pembacaan Teks Proklamasi oleh Presiden Sukarno, rapat besar di Lapangan Ikada, dan lainnya. 

“Menurut saya ini luar biasa. Seluruh penduduk bisa berkumpul. Dari mana mereka tahu? Hal ini belum ada yang melakukan penelitian secara mendalam. Tetapi, akhirnya saya sendiri mengatakan bahwa itu karena semangat semangat perjuangan ingin merdeka,” ucap Ketua Umum PDI Perjuangan itu.

“Bukan berarti anak-anak sekarang tidak mengetahui ini, tetapi mereka tidak diberitahu. Padahal saya berbicara berkali-kali.”

Luruhnya semangat kebangsaan ini menjadi ancaman terhadap etika dan moral yang sejatinya merupakan sifat adiluhung bangsa. Keruntuhan etika dan moral, Megawati melanjutkan, juga mengakar pada hegemoni kaum pria dalam balutan patriarki dan berlindung di balik agama. Misalnya dalil tentang posisi pria sebagai iman dan perempuan sebagai makmum. 

Kaum pria menyalahgunakan hak istimewa ini sehingga kerap menimbulkan sikap otoriter, bahkan tak jarang menjadi pencetus kekerasan dalam rumah tangga. “Saya lihat banyak bapak menggampar istrinya, anak sendiri dibunuh, ada juga pencabulan dan lain sebagainya,” ucap penerima 10 gelar honoris causa ini.

Ia tak bisa tinggal diam melihat kesewanangan ini, karena dirinya selalu diajarkan oleh orang tuanya untuk berani mengungkap kebenaran, sesakit apa pun konsekuensi yang dihadapi. Keteguhannya dalam mengatakan kebenaran pernah membuat partai yang ia besarkan terbelit sejumlah kesulitan. 

Megawati pernah mengalami konflik internal yang membuat partai banteng moncong putih ini terbelah dua, kubu Megawati dan kubu Soerjadi. Konflik berujung penyerangan penyerangan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta pada 27 Juli 1996 di Jakarta. Peristiwa itu menjadi catatan hitam demokrasi yang dikenal dengan Kudatuli. 

Sejumlah dugaan menyebutkan bahwa penyerangan yang dilakukan kubu Soerjadi dalam Peristiwa Kudatuli mendapat dukungan Pemerintah orde baru. Ini dilakukan untuk menjegal karier politik Megawati Soekarnoputri yang merupakan putri Soekarno. Sebab, setelah bergabung dengan PDI pada 1987, nama Megawati terus melambung dalam panggung politik praktis dan hal tersebut membuat penguasa gusar.

Melewati masa sulit bertahun-tahun, pada akhirnya setelah Indonesia memasuki gerbang reformasi, karier politik ibunda Ketua DPR RI, Puan Maharani, ini semakin cemerlang. “Saya bisa menjadi presiden yang sebenarnya, harusnya kaum lelaki. Saya juga bisa menjadi wakil presiden, dan di DPR tiga kali,” tuturnya.

Berdasarkan perjuangan yang ia telah jalani, berikut buah manis yang akhirnya mampu dipetik, Megawati mendorong kaumnya, perempuan, memelihara keberanian yang sama. “Kemampuan perempuan itu sama dengan kaum laki-laki,” ujar Megawati.

Menyentil dan Mengungkap Kebenaran

Megawati juga menyentil perilaku segolongan orang yang menyalahgunakan amanat rakyat untuk melegetimasi kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya, bahkan melangkahi konstitusi. “Hukum formal tidak dijalankan,” ujar perempuan yang baru saja menerima penghargaan tertinggi dari federasi untuk organisasi profesi keinsinyuran se-ASEAN (AFEO) pada Selasa, 22 November 2023.

“Republik ini, menurut saya, mungkin 1,000 tahun atau 2.000 tahun masih ada. Tetapi, manusianya baru saja (menikmati kemerdekaan selama) 78 tahun sudah mulai berada di dalam zona nyaman.”

Menurut Megawati, zona nyaman adalah kondisi yang membuat banyak orang sekarang berpikir bahwa kekuasaan berarti mengumpulkan harta dan bermain aman atau perilaku ‘asal bapak senang’. 

Ia tertawa dirinya sekarang disebut sosok paling demokratis. “Mengapa tidak dari dulu, apa nuraninya tidak punya keberanian untuk mengatakan kebenaran?” katanya. Sebagai contoh, di era orde baru nyaris semua pihak menyebut Presiden Soekarno berkoalisi dengan Partai Komunis Indonesia. Padahal, jika berpikir dengan logis maka pernyataan tersebut menjadi ganjil.

“Bung Karno kan sudah diangkat menjadi presiden seumur hidup. Apa mungkin seorang presiden yang sudah pasti akan memimpin sepanjang hidupnya berkoalisi dengan partai terlarang lalu mengkudeta dirinya sendiri? Pikir!” tutur Mega dengan nada meninggi.

Ihwal tuduhan berkoalisi dengan komunis, bahkan berlanjut kepada dirinya. Saat terjadi dualisme kepemimpinan dalam tubuh PDI di era orde baru, Megawati pernah dipanggil kejaksaan dan diperiksa selama 8 jam. Kala itu, ia dipaksa mengaku sebagai komunis.

Nyaris sepuluh tahun kemudian, ketika Megawati akhirnya duduk di kursi Presiden, ia memanggil Jaksa Agung dan bertanya, siapa jaksa yang pernah memeriksa dirinya. Saat itu, cerita Megawati, Jaksa Agung langsung bersiap mencari tahu pelakunya. “Padahal saya hanya tanya, nggak memberi perintah,” katanya sambil tergelak.

Dari berbagai peristiwa tersebut, ia belajar bahwa politik jika dimainkan tanpa etika dan moral mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Karena itu, Megawati mengingatkan betapa penting masyarakat mengedepankan nurani dalam memilih pemimpin. “Cari yang track record politiknya telah menunjukkan pengalaman,” kata dia.

Adapun Ketua Umum Pimpinan Gereja dan Pria Kaum Bapak se-Indonesia, Olly Dondokambey mengatakan kehadiran Megawati dalam Dialog Kebangsaan memiliki sejumlah poin. Pertama, tentang etika dan moral sehingga dengan lugas menyentil kegiatan yang terjadi dalam pemerintahan. “Katanya bela rakyat tapi kok belakangan menyimpang,” ujarnya. 

Selain itu, penjabaran Megawati juga diharapkan menjadi bekal pada para pemimpin agama yang hadir untuk mengedukasi umatnya agar berani menyampaikan kebenaran. Memaknai kebenaran, selain berpatokan pada kitab suci juga menyelaraskan dengan situasi bangsa terutama dalam menghadapi Pemilu 2024. “Soal umat mau pilih siapa itu terserah, yang penting telah menyampaikan kebenaran,” ucap Gubernur Sulawesi Utara ini. “Minimal umat ada pengantarnya.”

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus