Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Menyembuhkan Luka Christchurch

Kaum muslim korban penembakan massal di Christchurch berusaha pulih dari trauma. Dukungan besar masyarakat dan pemerintah membantu mereka.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelaku penembakan di Christchurch, Selandia Baru, divonis hukuman penjara seumur hidup.

  • Umat Islam di Christchurch berusaha menata kembali hidupnya meski masih didera trauma.

  • Pemerintah dan warga Selandia Baru memberikan dukungan besar untuk komunitas muslim di negara itu.

BEBERAPA hari seusai penembakan massal di Christchurch, Selandia Baru, Dietce Apriani pergi ke sebuah toko swalayan. Perempuan berhijab itu menemukan suasana yang tak biasa di sana. Pegawai toko tiba-tiba langsung menghampiri dan menanyakan kabarnya. Dia juga menawarkan diri untuk membantu Dietce mencarikan keperluannya. “Empati seperti itu ada di mana-mana saat itu dan sampai sekarang. Hal itu sangat membantu umat Islam bangkit lagi,” kata Dietce saat dihubungi Tempo pada Selasa, 1 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Negeri itu terguncang ketika Brenton Tarrant menyerbu Masjid Al-Noor dan Linwood Islamic Center di Christchurch pada 15 Maret 2019. Berondongan senapan serbu semiotomatis laki-laki 29 tahun asal Grafton, Australia, itu menewaskan 51 muslim yang sedang menunaikan salat Jumat di kedua masjid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengadilan Christchurch menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan bebas dengan jaminan kepada Tarrant pada Kamis, 27 Agustus lalu. Ini hukuman terberat pertama dalam sejarah negeri itu. Dia terbukti melakukan 51 pembunuhan dan 40 upaya pembunuhan serta melanggar Undang-Undang Antiterorisme. “Kejahatanmu begitu keji sehingga kalaupun kau dibui sampai meninggal, itu belum memenuhi persyaratan hukuman," kata hakim Cameron Mander saat menjatuhkan vonis.

Beberapa hari sebelum vonis, 66 penyintas dan anggota keluarga korban memberikan pernyataan dalam sidang yang disiarkan secara langsung. Gamal Fouda, imam Masjid Al-Noor, menjadi orang pertama yang memberikan pernyataan. “Ada banyak perubahan dalam komunitas kami, tapi saya mencintai Selandia Baru dan masyarakat menunjukkan cinta dan dukungannya kepada kami,” tuturnya. “Komunitas ini justru menjadi lebih erat karena tindakan jahat Anda," ujarnya kepada Tarrant, yang berada beberapa meter darinya.

Sejumlah warga negara Indonesia menjadi korban serangan itu. Lilik Abdul Hamid tewas dalam serangan di Al-Noor. Lima orang lainnya yang tengah berada di masjid itu berhasil meloloskan diri. Di Linwood, Zulfirman Syah dan putranya, Roes Syah, terluka setelah ditembaki. Zulfirman, yang sempat pingsan setelah tertembak karena melindungi putranya, berangsur sembuh setelah menjalani operasi untuk mengeluarkan peluru di lima lokasi di tubuhnya.

Trauma masih membekas di kalangan penyintas dan keluarganya. Menurut Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, pemerintah negeri itu telah memberikan pendampingan dan konseling bagi para korban, termasuk warga Indonesia. “Kami terus berkomunikasi dan mereka tahu bahwa Kedutaan pasti siap membantu,” ucapnya kepada Tempo lewat sambungan telepon pada Senin, 31 Agustus lalu.

Kementerian Kesehatan bersama Dewan Kesehatan Distrik Canterbury memberikan bantuan penanganan kesehatan mental kepada para korban. Mereka memperluas akses ke klinik serta menyediakan psikolog muslim, penerjemah delapan bahasa, dan pelayanan daring (online). Mereka juga bekerja sama dengan lembaga pemerintah setempat dan komunitas muslim.

Feroze Ditta, yang tertembak dalam serangan di Al-Noor, menilai pengadilan dan pelayanan yang mendukung para korban berjalan baik. “Saya kira mereka telah bekerja secara brilian. Sebagian orang sudah bertemu dengan konselor, sebagian ke psikolog klinis, dan sebagian memilih tak melakukannya. Setiap orang berbeda-beda dalam perjalanan ini,” katanya kepada Otago Daily Times.

Upaya memulihkan diri dari trauma juga dilakukan Dietce bersama keluarga Lilik Abdul Hamid, teknisi maskapai penerbangan Air New Zealand. Bersama istrinya, Nina Rusmini, Lilik tinggal berdekatan dengan keluarga Dietce. Lilik dan Nina sudah tinggal di sana selama 16 tahun. Mereka pula yang membantu Dietce beradaptasi di kota itu ketika Dietce tiba 13 tahun lalu. Saking akrabnya, Dietce menganggap Lilik dan Nina seperti orang tua sendiri. “Ketika anak saya lahir, mereka mendampingi dan akhirnya ikut dipanggil ‘Aki’ dan ‘Nini’,” ucap Dietce, yang bekerja di perusahaan ekspedisi di dekat Bandar Udara Christchurch.

Sejumlah kobran selamat dari penemabakan Brenton Tarrant, memberikan kesaksia di depan Pengadilan Tinggi Christchurch, Selandia Baru, 24 Agustsu 2020. Reuetrs/Pool.

Kematian Lilik menjadi pukulan besar bagi Dietce. Apalagi kala itu dia juga tengah merawat anaknya yang menderita kanker. Sehari sebelum tragedi penembakan, Dietce mendapat kabar dari rumah sakit bahwa kanker anaknya tidak bisa disembuhkan. Lilik pun datang ke rumah Dietce untuk memberikan dukungan moral. Dietce meminta bantuan Lilik, yang rutin menunaikan salat Jumat di Al-Noor, untuk menanyakan soal urusan pemakaman kepada pengurus masjid. Laki-laki 58 tahun itu mengatakan akan memberikan kabar secepatnya. Namun yang datang justru kabar kematian Lilik. “Saya kaget betul, kepikiran terus sama Ibu Nina, jadi langsung ke rumahnya," ujarnya.

Dietce bersama keluarganya terus mendampingi Nina. Apalagi jenazah Lilik baru dipulangkan tiga hari kemudian karena keperluan autopsi. Anak Dietce meninggal beberapa bulan kemudian. Mengobrol dan melakukan kegiatan bersama menjadi jalan keluar Dietce dan Nina untuk memulihkan diri dari trauma. Rumah Nina pun tak pernah sepi karena beberapa kawan dan mahasiswa Indonesia kerap berkunjung. “Bagaimanapun, orang yang kehilangan belahan jiwanya pasti ada momen merasa sakit. Tapi syukurlah banyak orang, apalagi warga Indonesia, yang selalu mendukung dia,” ucap Dietce.

Kehidupan yang dijalani masyarakat, terutama komunitas muslim di kota itu, juga beranjak kembali normal. Sepekan setelah tragedi, mereka berbondong-bondong menggelar salat Jumat. Banyak warga lain datang untuk menyampaikan dukungan dan penghargaan kepada umat Islam di dua masjid itu. Para perempuan bahkan datang dengan mengenakan kerudung sebagai bentuk penghormatan.

Islam kemudian menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Menurut sensus penduduk 2018, ada lebih dari 57 ribu muslim di negara itu atau sekitar 1 persen dari total populasi. Asosiasi Muslim Internasional Selandia Baru melaporkan tiga-lima orang masuk Islam setiap hari sejak insiden penembakan. Kajian Ayca Arkilic, peneliti politik di Te Herenga Waka-Victoria University of Wellington, menunjukkan banyak orang, khususnya dari suku Maori, penduduk asli negeri itu, yang masuk Islam karena kemiripan budaya suku dan ajaran.

Masjid Linwood kini diperluas dan dibangun kembali berkat berbagai sumbangan masyarakat sejak Maret lalu. Arsitekturnya campuran budaya Islam dan Maori. Konstruksinya mengikuti praktik pembangunan berkelanjutan, yang menggunakan kayu dan tenaga kerja lokal. Panel surya akan dipasang untuk menghasilkan listrik tambahan yang juga dapat dimanfaatkan penduduk sekitar. “Bangunan ini akan menjadi ikon,” tutur Mazhar Syed Ahmed, arsitek yang selamat dari serangan dan kini ikut menangani pembangunan masjid itu.

Warga Cass Bay Reserve menanam 51 pohon yang memperindah kawasan Pony Point sebagai peringatan atas insiden itu pada Ahad, 30 Agustus lalu. Jenny Healey, ketua komite Cass Bay Reserve, menyatakan penanaman itu merupakan prakarsa teman-teman Sayyad Milne, remaja 14 tahun yang tewas tertembak di Masjid Al-Noor. Milne adalah pelajar di Cashmere High School dan tinggal di kawasan ini bersama kedua orang tuanya.

Dietce mengatakan apa yang dilakukan masyarakat Selandia Baru itu menunjukkan sikap terbuka mereka kepada orang asing dan yang berbeda keyakinan. Apalagi Perdana Menteri Jacinda Ardern dan pemerintah memberikan dukungan yang besar bagi kaum muslim. "Kami ikut merasa aman,” katanya.

Carissa Paramita, warga Indonesia yang tinggal di Auckland, mengatakan dukungan masyarakat sangat membantu komunitas muslim untuk merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga besar. Semua orang berusaha merangkul umat Islam untuk mengurangi trauma mereka. Banyak orang juga menjadi lebih tertarik belajar tentang Islam dan komunitas muslim. “Diskusi (mengenai Islam) menjadi terbuka dan pemahamannya bertambah, jadi lebih enak,” ucap Paramita.

Makin banyak orang yang juga menyambangi masjid-masjid, terutama ketika tiba acara "open day". Dalam acara ini, masjid dibuka untuk umum agar masyarakat bisa menikmati tur, pameran, diskusi, dan literatur tentang Islam. “Dulu yang datang cuma puluhan orang, sekarang sudah ratusan. Jadi perhatian orang kian besar,” tutur Paramita, yang tinggal di negeri itu sejak 2014.

Tantowi Yahya mengatakan ada dua perubahan besar yang terjadi seusai tragedi penembakan. Pertama, ikatan umat Islam yang berasal dari berbagai bangsa justru makin erat. Mereka seperti ingin menunjukkan bahwa tak perlu takut lagi meski sudah mengalami teror. Kedua, solidaritas antar-umat beragama kian kuat. “Ini sekaligus menggagalkan tujuan pelaku teror yang ingin memecah-belah dan memancing rasa takut umat Islam,” ujarnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, RNZ, AP, NEWSROOM, ALJAZEERA, OTAGO DAILY TIMES)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus