Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wimboh Santoso mengatakan restrukturisasi kredit bagi nasabah yang terkena dampak Covid-19 penting untuk mencegah maraknya debitor gagal bayar.
Wimboh memperkirakan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah akan lebih cepat pulih dari dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 ketimbang korporasi berskala besar.
Wimboh menampik tudingan bahwa munculnya bank bermasalah karena lemahnya pengawasan OJK.
PANDEMI Covid-19 tidak banyak mempengaruhi rutinitas Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso. Hampir tiap akhir pekan ia memantau aktivitas ekonomi masyarakat di daerah. “Saya upayakan, begitu libur, saya monitor langsung ke lapangan untuk melihat apa yang terjadi,” kata Wimboh, 63 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 27 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak merebak enam bulan lalu, wabah corona telah memukul perekonomian nasional. Wimboh menuturkan, untuk meredam dampak yang berlarut, OJK bersama pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan sederet kebijakan stimulus, dari program restrukturisasi kredit, penempatan uang negara di perbankan, hingga subsidi bunga bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “Ekonomi di Yogyakarta dan Solo, misalnya, lebih banyak didorong oleh UMKM,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wimboh mengatakan restrukturisasi kredit diutamakan untuk UMKM karena lebih cepat memantik pertumbuhan ekonomi. Adapun kredit untuk korporasi besar mulai disalurkan tahun depan. Hal yang juga penting, kata dia, adalah memulihkan kepercayaan masyarakat agar kembali beraktivitas. “Sektor riil hanya bisa pulih, kredit tumbuh, kalau kita sudah berani menginap di hotel, makan di restoran, dan naik pesawat. Saya sudah ke mana-mana. Aman selama protokol kesehatan diterapkan,” ucapnya.
Selain mengeluarkan paket stimulus, pemerintah sedang menggodok peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang reformasi sistem keuangan dan menyiapkan revisi Undang-Undang Bank Indonesia. Di dalamnya akan diatur tentang pengalihan wewenang pengaturan dan pengawasan bank dari OJK ke bank sentral. OJK mengawasi kinerja semua bank di Indonesia sejak akhir 2013.
Wimboh menerima wawancara tim Tempo melalui konferensi video. Dia menceritakan tentang peran OJK dalam program pemulihan ekonomi serta prioritas kredit untuk usaha kecil dan menengah. Ia juga menanggapi rencana pemerintah memangkas kewenangan OJK.
Pemerintah sedang menyiapkan perpu tentang reformasi sistem keuangan. Salah satunya untuk mengatur pengembalian kewenangan pengawasan bank dari OJK ke Bank Indonesia. Tanggapan Anda?
Kalau soal itu lebih bagus ditanyakan kepada Bu Menteri Keuangan.
Apakah Anda setuju dengan rencana penerbitan perpu tersebut?
Wong belum tentu bener kok disetujui? Tugas dan wewenang OJK adalah mempercepat proses pemulihan ekonomi. Ini adalah fokus utama kami. Soal perpu adalah keputusan politik. Kalau ditanya, ya nanti kami jawab. Itu juga kalau ditanya.
Bagaimana evaluasi internal OJK terhadap pengawasan perbankan selama ini?
Saya enggak mau berspekulasi banyak. Tapi kami, semua jajaran OJK, bekerja dengan baik. Ini kan bukan yang pertama (wacana mengembalikan kewenangan pengawasan perbankan ke bank sentral).
Sebagian pihak menganggap peran OJK dalam mengawasi perbankan lemah. Bagaimana Anda menjawab kritik tersebut?
Indikator kinerja OJK bukan berarti tidak ada bank yang bermasalah. Kalau seperti itu gampang, jangan bilang ada bank yang bermasalah. Justru indikator kinerja OJK itu bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Kalau jumlahnya banyak, karena memang faktanya ada bank yang bermasalah. Kalau ada bank yang bermasalah tapi OJK enggak tahu, nah itu tolong diberi tahu. Artinya, OJK lengah. Yang kemarin mencuat di media, ya karena OJK melakukan pemeriksaan, ketemu buktinya, dan ada laporannya. OJK sebenarnya tidak akan pernah mengumumkan ke publik. Ibaratnya pasien sakit diumumkan, kan melanggar kode etik. Kecuali sudah mencuat di publik, ya kami tinggal ngomong, “Oh iya, itu bermasalah dan kami sudah menemukan solusinya.” Kalau ditutupi, malah bahaya, nanti meledaknya ke depan.
Bagaimana OJK mengkomunikasikan temuan itu dengan bank yang bermasalah?
Standar penyelesaiannya pasti kami minta pemilik dan pengurus bank membuat rencana aksi dan bertanggung jawab menyelesaikan masalah itu. Bukan OJK yang bertanggung jawab menyelesaikan, tapi pengurus dan pemilik bank.
Sejauh mana negara turun tangan untuk membantu penyelesaian persoalan bank?
Kalau bank itu dimiliki negara, ya pasti negara konteksnya sebagai pemilik. Tapi kalau dimiliki bukan oleh negara, ya kami kejar pemilik dan pengurusnya. Jadi yang pusing adalah pengurus dan pemilik, bukan otoritas. Pengurus dan pemilik itu termasuk dewan komisaris dan direksi.
Apa yang biasanya menyebabkan bank menjadi bermasalah?
Karena banyak hal. Ada yang murni karena bisnis, ada yang karena fraud.
Dalam situasi seperti apa OJK bisa menentukan bahwa pemilik dan pengurus tidak bisa lagi menyelesaikan masalah banknya?
Pasti kami lakukan secara formal. Setiap ada permasalahan, kami minta pengurus dan pemilik berjanji menyelesaikan permasalahan dalam batas waktu tertentu. Apabila tidak bisa, ada konsekuensinya. Pemilik tidak bisa pergi begitu saja. Kalau dia begitu, artinya menyerah, angkat tangan. Apakah ada pemilik lain yang masih mau? Kalau semuanya enggak mau, ya sudah, bisa kami taruh ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Otomatis kalau ditaruh di LPS, pemilik bank kehilangan segala proporsi kepemilikannya. Semuanya jelas dan tidak rumit.
Dalam wawancara dengan Tempo, 25 Juni lalu, Jusuf Kalla mengatakan ia menghubungi Anda soal pernyataan kepemilikan Bukopin. Benarkah Jusuf Kalla sampai menelepon Anda beberapa kali untuk mencoba mengklarifikasi bahwa ia bukan pemilik Bukopin?
Saya enggak pernah dikontak sama Pak JK (Jusuf Kalla).
Bukankah Jusuf Kalla menelepon dan menyurati Anda?
Itu urusan lain. Pak JK enggak pernah membicarakan soal Bukopin. Enggak ada hubungannya Pak JK dengan Bukopin. Saya kan sama-sama anggota Dewan Masjid. (Jusuf Kalla adalah Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia.)
Seperti apa peran OJK dalam skenario pemulihan ekonomi yang dipimpin Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional?
OJK sudah melihat Covid-19 akan berpengaruh pada perekonomian kita. Covid-19 membatasi ruang gerak masyarakat untuk beraktivitas. Kegiatan ekonomi juga berpengaruh terhadap sektor finansial. OJK menaruh perhatian agar stabilitas sektor keuangan terjaga dengan baik, sehingga antara pemulihan ekonomi dan sektor keuangan tidak bisa terlepas. OJK bersama pemerintah dan Bank Indonesia sejak awal sudah berembuk soal peran masing-masing lembaga. Dalam konteks ekonomi secara keseluruhan, kami juga dilibatkan dalam berbagai diskusi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian dalam mendesain berbagai kebijakan, termasuk kebijakan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang disahkan DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Apa yang dilakukan OJK untuk menjaga stabilitas sektor keuangan?
Pertama, kebijakan di pasar modal. Pasar modal mengalami sentimen negatif begitu ada pandemi Covid-19. Pasar saham tertekan, investor asing mengalihkan modalnya dari Indonesia. Sehingga kebijakan pertamanya agar pasar modal tidak terkena dampak terlalu dalam. Kami mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain melarang short selling. Para pedagang menjual barang di pagi hari karena harganya lebih bagus dan membelinya di sore hari pada saat harga murah, sehingga mendapat margin keuntungan. Itu kami larang supaya tidak memicu spekulasi. Kedua, pembelian kembali tanpa rapat umum pemegang saham. Ketiga, trading halt kami perketat. Tadinya lebih dari 5 persen, diturunkan menjadi 5 persen.
Bagaimana hasilnya?
Indeks harga saham gabungan yang sempat turun drastis sampai di bawah 4.000 pada 24 Maret lalu sudah berangsur membaik. Confidence sudah kembali. Di grafik pasar modal, indeksnya sudah 5.300. Ini adalah kebijakan yang pertama kali kami lakukan supaya volatilitas tidak terlalu besar. Indeks sebelum pandemi sekitar 6.000. Mudah-mudahan bisa kembali. Sekarang fundamennya lebih kuatlah.
Jumlah debitor yang terancam gagal bayar diperkirakan naik akibat pandemi. Bagaimana kebijakan OJK agar risiko gagal bayar bisa dimitigasi?
Kami tahu, jika tidak dilakukan mitigasi, pasti nasabah akan kesulitan dan akhirnya sulit membayar ke bank. Lalu kreditnya dikategorikan menjadi macet, banknya harus membentuk cadangan, dan akhirnya modalnya termakan. Tentu kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kami mengambil kebijakan sementara kredit direstrukturisasi tapi khusus untuk nasabah terkena dampak Covid-19. Setelah direstrukturisasi, dikategorikan lancar, bank tidak perlu membentuk pencadangan kredit macet. Sementara itu, kami bersama pemerintah mendesain kebijakan untuk memberikan dorongan, insentif, agar kondisi cepat pulih, di antaranya lewat perpu. Lalu ada tindak lanjut, misalnya Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020.
Apa saja yang diatur lewat peraturan OJK tersebut?
Peraturan OJK itu maknanya agar para nasabah tadi sementara dikategorikan lancar selama satu tahun. Statusnya bisa diperpanjang jika diperlukan. Kalau kategori lancar tidak perlu PPAP (penyisihan penghapusan aktiva produktif). Ini kami harapkan enggak lama. Begitu desain berbagai kebijakan insentif tadi kita jalankan, semoga perekonomian bisa bangkit sambil menunggu Covid-19 ada antivirusnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan OJK) Wimboh Santoso memberikan pemaparan saat pertemuan OJK dengan Industri Jasa Keuangan di Kantor OJK Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (23/8/2020). ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Mengapa peraturan OJK begitu penting?
Bayangkan kalau kami tidak mengambil kebijakan ini. Banyak nasabah mengalami gagal bayar. Bank-bank harus membentuk PPAP dan modalnya bakal tergerus. Ini yang kami lakukan sementara. Nanti, kalau ekonomi sudah berjalan, otomatis mereka bisa mengangsur kembali sehingga sektor finansial bisa kembali normal.
Sejauh mana dampaknya terhadap likuiditas perbankan?
Dampak likuiditasnya ada karena para nasabah itu tidak mengangsur karena terkena dampak Covid-19. Kami minta kepada Bank Indonesia dan pemerintah supaya likuiditas dilonggarkan. Bank Indonesia menurunkan giro wajib minimum yang bisa memberikan ruang likuiditas sekitar Rp 600 triliun kepada sektor perbankan. Kami juga minta supaya suku bunga turun rendah, tentunya terukur, supaya tak memberi tekanan kepada likuiditas. Lalu pemerintah dengan kebijakan defisit anggaran yang agresif, yaitu 6 persen, juga memberikan ruang likuiditas yang luas kepada sektor keuangan. Saat ini kondisi likuiditas perbankan tidak ada masalah. Perbankan modalnya kuat, pasar modal kondusif, tinggal menggenjot pemulihannya.
Bagaimana menggenjot pemulihan ekonomi?
Pemulihan lebih banyak isu di lapangan. Bagaimana masyarakat mengetahui ada insentif. Lalu pemanfaatan insentif oleh para pengusaha bisa cepat. Ini menjadi kunci utama bagaimana insentif sampai ke masyarakat, baik itu subsidi bunga maupun modal kerja yang dijamin pemerintah. Di samping itu juga harus ada sinergi. Meski likuiditas dan modal perbankan kuat, tidak ada masalah dari suplai kredit, tapi permintaan harus ada. Belanja pemerintah diyakini bisa memperbesar demand di masyarakat, termasuk bantuan sosial. Kalau tidak ada demand, pengusaha akan berat mengambil kredit. Kredit harus membayar kembali, harus membayar bunga. Jadi kepercayaan masyarakat untuk beraktivitas itu penting.
Berapa jumlah kredit yang sudah direstrukturisasi?
Di perbankan sudah Rp 837,64 triliun. Ini lebih kecil dari ekspektasi semula, yaitu 40 persen kredit direstrukturisasi. Lalu UMKM sebesar Rp 353,17 triliun dan non-UMKM sebanyak Rp 484,47 triliun. Ini juga ada perusahaan pembiayaan yang sudah realisasi jumlahnya Rp 176,33 triliun, nasabahnya 4 juta lebih. Pemulihan ekonomi tergantung dari ini (kredit) yang dibarengi dengan demand dari masyarakat.
Pemerintah telah menempatkan dana di sejumlah bank untuk menggenjot kredit ke pasar. Tapi, faktanya, sampai sekarang kredit masih seret. Apa yang terjadi?
Pemerintah menaruh uang di Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) sebesar Rp 30 triliun dan tujuh bank pembangunan daerah sebesar Rp 11,5 triliun. Penempatan dana oleh pemerintah di bank-bank ini positif memberikan ruang bagi perbankan untuk mempunyai likuiditas lebih besar. Artinya, pasar uang antarbank menjadi sangat ample (cukup). Segmentasi di dunia perbankan jadi kecil. Sekarang paling tidak ada Rp 30 triliun untuk kredit yang bunganya murah, yaitu 3,4 persen.
Apakah dana Rp 30 triliun sudah dicairkan pemerintah ke bank-bank Himbara?
Sudah semua. Beberapa hari setelah ada pengumuman itu, pemerintah menyalurkan Rp 10 triliun di Bank Mandiri, Rp 10 triliun di BRI, Rp 5 triliun di BTN, dan Rp 5 triliun di BNI.
Bagaimana dengan ketakutan bank-bank Himbara kalau nanti terjadi gagal bayar?
Kredit terutama difokuskan pada UMKM. Program UMKM dijamin pemerintah hingga 80 persen, sehingga tidak ada alasan bagi bank-bank Himbara khawatir menyalurkan kreditnya. Kredit untuk UMKM juga suku bunganya murah karena ada subsidi. Artinya, kalau non-UMKM saja berjalan, apalagi UMKM yang diberi subsidi. Selain 80 persen dijamin pemerintah, biaya penjaminannya dibayar pemerintah. Luar biasa, kan?
Bagaimana dengan penyaluran kredit untuk korporasi besar?
Kredit untuk korporasi sudah disediakan. Kemarin angka terakhir untuk 2020-2021, sesuai dengan arahan Pak Presiden, sebesar Rp 100 triliun. Tapi restrukturisasi di korporasi tidak secepat di UMKM. Kalau pabrik kan harus memanggil dulu pegawainya. Korporasi harus dihitung betul. Jangan sampai begitu kita buka, menghabiskan modal kerja banyak, tapi ternyata permintaan belum ada. Karena itu, pertumbuhan ekonomi mulai dari yang kecil dulu. UMKM akan bisa memancing pertumbuhan korporasi karena korporasi dalam melakukan bisnis pasti memerlukan bahan baku yang biasanya diproduksi UMKM. Kalau korporasi berjalan dulu, takutnya sudah telanjur berproduksi demand-nya belum banyak.
Seperti apa skema penyaluran kredit untuk korporasi?
Skema korporasi yang sudah dikeluarkan pemerintah sebatas penjaminan. Sebesar 50 persen kredit korporasi yang dijamin Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia dibayar pemerintah. Kalau korporasi padat karya, porsi penjaminan dari pemerintah sebesar 60 persen. Tapi korporasi perlu waktu.
Sebagian besar korporasi swasta tidak memiliki modal kerja lagi dan baru mendapat insentif mulai tahun depan. Bagaimana OJK mendorong perbankan agar lebih cepat menyalurkan kredit?
Sekitar satu bulan lalu, kami pernah menggelar rapat dengan para pengusaha, termasuk Kamar Dagang dan Industri Indonesia serta Asosiasi Pengusaha Indonesia. Tiap sektor kami undang. Memang betul, korporasi hanya bisa bangun kalau sudah ada demand-nya. Angkutan udara, misalnya, kita bangunkan sekarang, diberi kredit, tapi begitu terbang enggak ada penumpangnya. Menurut pengusaha angkutan udara, pesawat tidak terbang ruginya lebih sedikit daripada terbang tapi tidak ada penumpangnya. Kalau terbang harus menyiapkan avtur, kru, semuanya, sehingga mereka mengukur betul. Begitu memutuskan terbang, penumpangnya harus cukup. Kalau diminta ambil kredit, ya malah menjadi beban. Hotel juga sama. Sekarang ini orang-orang masih takut ke luar rumah, terutama di Jakarta. Mal-mal di Jakarta lebih sepi dibanding di daerah.
Bagaimana solusinya?
Aktivitas masyarakat digenjot dulu, baru korporasinya bisa berjalan. Korporasi jangan dipaksa bangkit duluan kalau belum ada demand-nya. Jika bicara tentang korporasi, diperkirakan baru tumbuh sekitar awal tahun depan. Misalnya pabrik perakitan motor. Kalau telanjur dirakit, ke mana jualnya? Sedangkan permintaan ekspor juga sekarang masih belum bangkit. Makanya yang penting UMKM dulu.
WIMBOH SANTOSO | Tempat dan tanggal lahir: Boyolali, Jawa Tengah, 15 Maret 1957 | Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta (1983); Magister Administrasi Bisnis di University of Illinois, Amerika Serikat (1993); PhD Financial Economics di Loughborough University, Inggris (1999) | Karier: Kepala Perwakilan Bank Indonesia di New York (2012), Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan di Bank Indonesia (2010-2012), Kepala Perwakilan Bank Indonesia di New York dan Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (2013), Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (2015), Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (2016), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (2017-2022)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo