Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR dan Kementerian Komunikasi tak sependapat soal otoritas pengawas data pribadi.
DPR ingin lembaga tersebut bersifat independen.
Aturan itu harus sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Data Umum Uni Eropa (GDPR).
RAPAT pembahasan rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi pada Kamis, 8 April lalu, berlangsung alot. Selama satu setengah jam, rapat Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Bidang Pertahanan, Luar Negeri, dan Komunikasi dan Informatika dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika belum menemukan titik temu soal pembentukan otoritas pengawas data pribadi. "Pembahasan belum mencapai titik temu karena kami ingin otoritas tersebut independen, bukan di bawah Kementerian Komunikasi," ujar Farah Puteri Nahlia, anggota Komisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional, kepada Tempo, Rabu, 2 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan itu merupakan usul pemerintah dan masuk Program Legislasi Nasional 2021. Kebutuhan akan undang-undang ini kian mendesak di tengah merebaknya kasus kebocoran data pribadi. Pada Mei lalu, data 279 juta penduduk bocor dan diperjualbelikan di Internet. Data yang bocor tersebut diduga milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang mencakup nama, nomor induk kependudukan, nomor telepon, alamat e-mail, nama, alamat, dan gaji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengawasan data membutuhkan sebuah badan atau lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi terhadap pengelola data yang lalai. Pasal 58 rancangan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah berperan mewujudkan penyelenggaraan perlindungan data pribadi. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan, yang mewakili Kementerian dalam rapat Komisi, berkukuh agar lembaga tersebut berada di bawah naungan kementeriannya.
Kepada Tempo, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan Kementerian sudah memiliki tim yang bertugas untuk mengatasi persoalan mengenai dengan data pribadi pihak swasta. "Mengapa apa-apa kami dibilang tidak independen? Janganlah ada buruk sangka terus," ujar Plate, yang juga menjabat Sekretaris Jenderal NasDem.
Menurut Farah, semestinya otoritas tersebut tak berada di bawah kementerian agar bebas dari intervensi. Dia mencontohkan, apabila suatu saat terjadi kebocoran data di kementerian, akan sulit bagi lembaga tersebut untuk memberikan sanksi. Farah mengatakan hampir semua fraksi menginginkan lembaga pengawas tersebut independen.
Nico Siahaan, anggota Komisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, juga mendukung hal tersebut. Menurut Nico, fraksinya tetap menginginkan lembaga otoritas berada di luar Kementerian Komunikasi. "Bagaimana mungkin jika yang melakukan kelalaian adalah kementerian itu sendiri dan menghukum diri sendiri? Apakah akan adil?" ujar Nico.
Belum adanya titik temu ini membuat sidang kembali tertunda. Muhammad Farhan, anggota Komisi dari Fraksi NasDem, mengatakan kebuntuan ini harus segera diakhiri agar rancangan tersebut bisa segera disahkan. Menurut dia, lembaga otoritas pengawas harus berada di bawah Kementerian Komunikasi. "Ini sebagai kepanjangan tangan bawah presiden, yang pertanggungjawabannya langsung ke DPR," tuturnya. Farhan mengaku sudah berusaha melobi sejumlah partai agar bisa mendukung gagasan ini.
Nico mengaku pernah berkomunikasi dengan sejumlah anggota NasDem. Hanya, menurut dia, komunikasi itu hanya informal dan belum intens. PDI Perjuangan, kata dia, sampai saat ini masih menginginkan agar lembaga pengawas itu berada di luar kendali Kementerian Komunikasi.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar mengatakan semestinya pemerintah membentuk lembaga independen karena aturan ini akan berlaku tidak hanya pada sektor swasta, tapi juga pemerintah. Aturan ini, dia menambahkan, nantinya juga akan menentukan kesetaraan dengan Undang-Undang Perlindungan Data Umum Uni Eropa (GDPR). "Maka salah satu yang dilihat adalah prasyarat apakah Indonesia membentuk otoritas perlindungan independen," ujarnya. Di Asia, baru Jepang yang memiliki undang-undang perlindungan data pribadi yang setara dengan GDPR. Adapun Korea Selatan sedang dalam proses untuk memperoleh pernyataan kesetaraan dari Komisi Eropa.
DEVY ERNIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo