Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi terhadap Israel dimulai pada 2005.
Israel dan sejumlah negara berusaha menekan kampanye gerakan ini.
Kini BDS mendorong negara di dunia menyatakan Israel sebagai negara apartheid.
SEJUMLAH perwakilan gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi terhadap Israel (BDS) dari negara-negara di Asia-Pasifik berkumpul di Sofyan Hotel Cut Meutia, Menteng, Jakarta, pada akhir Juli lalu. Mereka membahas berbagai program, termasuk kampanye agar Israel dinyatakan sebagai negara apartheid, yakni politik pemisahan penduduk berdasarkan ras dengan kelompok ras tertentu dan pemberian hak istimewa dibanding yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Januari lalu, Departemen Anti-Apartheid Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), BDS, dan Dewan Organisasi Hak Asasi Manusia Palestina (PHROC) juga menyerukan pembentukan front global untuk membongkar rezim kolonialisme dan apartheid Israel. “Apartheid adalah kejahatan melawan kemanusiaan dan Anda tak boleh menenggangnya,” kata Maren Mantovani, anggota Sekretariat Internasional Komite Nasional BDS, pada Ahad, 30 Juli lalu. “Setiap orang dan setiap negara punya kewajiban hukum untuk mengakhiri kejahatan melawan kemanusiaan dan menghukum siapa pun yang bertanggung jawab,” ujar perempuan Italia ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporannya pada 2022, Amnesty International menganalisis niat Israel untuk menciptakan dan mempertahankan sistem penindasan dan dominasi atas warga Palestina. Amnesty menyimpulkan bahwa “sistem ini sama dengan apartheid” dan mendesak Negeri Yahudi membongkar “sistem yang kejam ini” dan komunitas internasional harus menekan Israel untuk melakukannya.
Amnesty juga menyimpulkan bahwa pola yang dilanggengkan oleh Israel, baik di dalam wilayah Israel maupun di wilayah pendudukan Palestina, merupakan bagian dari serangan sistematis dan luas yang diarahkan terhadap penduduk Palestina. “Tindakan tidak manusiawi yang dilakukan dalam konteks serangan ini telah dilakukan dengan maksud mempertahankan sistem ini dan merupakan kejahatan apartheid terhadap kemanusiaan, baik di bawah Konvensi Anti-Apartheid maupun Statuta Roma,” tulis Amnesty.
BDS adalah koalisi masyarakat sipil Palestina yang terdiri atas berbagai serikat pekerja, organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok hak asasi manusia di Palestina. Mereka menggalang gerakan boikot Isral untuk mendorong berbagai negara, lembaga, dan masyarakat di dunia memboikot, menarik investasi, dan menjatuhkan sanksi terhadap Israel.
Mahmoud Nawajaa, Koordinator Umum Komite Nasional BDS Palestina dan pemimpin utama gerakan ini, menuturkan, gerakan tersebut dimulai pada 2005 ketika 170 organisasi masyarakat sipil Palestina menyerukan boikot, divestasi, dan sanksi terhadap Israel sebagai bentuk tekanan non-kekerasan terhadap Israel. “Masyarakat Palestina menuntut pengakhiran pendudukan Israel di wilayah Palestina, termasuk Dataran Tinggi Golan,” ucap Nawajaa.
Mahmoud Nawajaa. Dok. Facebook Mahmoud Nawajaa
Gerakan ini diilhami gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan. “Palestina telah belajar dari perjuangan melawan apartheid dari pengalaman Afrika Selatan, yakni dalam bentuk BDS,” ujar Maren Mantovani.
Gerakan ini juga menuntut pengakuan persamaan hak penuh orang Arab-Palestina warga negara Israel dan pengakuan atas hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah airnya. “Apa yang telah Israel lakukan adalah proyek kolonial yang menggunakan rezim apartheid dengan diskriminasi rasial secara sistematis terhadap orang Palestina. Mereka menindas orang dan mencuri tanahnya,” tutur Mantovani.
BDS juga menuntut penghancuran tembok-tembok yang dibangun Israel yang selama ini membatasi kebebasan bergerak warga Palestina. Apoorva Gautam, Koordinator Komite Nasional BDS untuk Asia-Pasifik, mengatakan pembelahan secara nyata telah dilakukan Israel. Orang di Yerusalem tak bisa pergi ke tempat lain, begitu pula di Gaza dan Tepi Barat. “Ini adalah pembagian dan fragmentasi paling penting yang sebenarnya bagian dari sistem apartheid,” ujar perempuan India itu.
Setelah 18 tahun berjalan, BDS mengklaim telah meraih sejumlah dukungan tokoh internasional, seperti Desmond Tutu, penerima Hadiah Nobel Perdamaian; pengarang Judith Butler; fisikawan Stephen Hawking; dan sutradara Jean-Luc Godard. “Sebanyak 10 ribuan tokoh telah bergabung dengan gerakan ini. Penyanyi, tokoh publik, tokoh budaya,” kata Mahmoud Nawajaa.
Nawajaa juga menyebutkan tentang sejumlah perusahaan besar yang menarik diri dari pasar Israel setelah ada tekanan dari BDS. “Ini termasuk Veolia, misalnya, yang menghentikan semua bisnisnya dengan kontrak lebih dari US$ 20 miliar setelah adanya tekanan BDS, dan masih banyak lainnya,” ujar lelaki Palestina itu. Veolia adalah perusahaan transnasional Prancis di bidang pengelolaan air, sampah, dan energi.
Namun Israel tidak tinggal diam. Pada 2015, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengumumkan BDS sebagai “ancaman strategis” bagi negerinya. Kabinet kemudian memerintahkan Kementerian Urusan Strategis mengkoordinasikan semua kementerian, pemerintahan, dan entitas masyarakat sipil di Israel dan luar negeri untuk melawan upaya delegitimasi Israel dan gerakan boikot ini. Pemerintah juga menggelontorkan US$ 36 juta kepada sebuah perusahaan swasta untuk diam-diam melancarkan kampanye melawan delegitimasi ini.
Pemerintah Israel juga menyebut BDS sebagai gerakan anti-Semit. “Israel memang menyebut siapa saja yang mengkritiknya sebagai anti-Semit, padahal definisi dari istilah Arab itu tidak spesifik untuk Israel. (BDS) tidak ada hubungannya dengan anti-Semitisme,” tutur Nawajaa.
Entah karena lobi Israel entah bukan, sejumlah negara berupaya menentang gerakan ini dengan berbagai alasan. Inggris di bawah pemerintahan konservatif Perdana Menteri Boris Johnson, misalnya, berusaha menerbitkan undang-undang yang menentang gerakan BDS pada 2019. Hingga kini, upaya ini terganjal berbagai alasan.
Pertengahan Juli lalu, menurut BBC, kantor Kementerian Luar Negeri Inggris bersurat kepada kantor Perdana Menteri untuk memperingatkan bahwa aturan yang melarang lembaga publik memboikot Israel akan melanggar komitmen internasional dan memberi “amunisi” kepada Rusia untuk menuduh Inggris hipokrit. Pengacara kantor Kementerian Luar Negeri menyatakan regulasi itu akan membuat Inggris berisiko dinilai melanggar komitmen di bawah Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2334.
Resolusi yang diterbitkan pada 2016 itu menyatakan bahwa permukiman Israel di wilayah pendudukan Palestina adalah “pelanggaran mencolok” terhadap hukum internasional dan “sandungan utama” bagi perdamaian. Resolusi itu juga menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk membedakan antara Israel dan wilayah yang diduduki.
Di Amerika Serikat, sejumlah negara bagian telah menerbitkan aturan yang melarang BDS. Upaya menghapus larangan itu masih terganjal di pengadilan. Pada Februari lalu, misalnya, Mahkamah Agung menolak meninjau undang-undang yang menghukum pemboikot Israel di Negara Bagian Arkansas.
Meski demikian, gerakan BDS terus berlanjut. Kini mereka mendorong negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk mengaktifkan kembali Komisi Khusus Melawan Apartheid Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komisi yang lahir dari resolusi PBB pada 1962 ini dulu dibentuk untuk merespons kebijakan apartheid pemerintah Afrika Selatan.
Kini Afrika Selatan dan Namibia mendorong berbagai negara untuk mengakui Israel sebagai rezim apartheid. Pada Februari lalu, delegasi senior Israel yang dipimpin Wakil Direktur Jenderal untuk Afrika Kementerian Luar Negeri Israel, Sharon Bar-Li, diusir dari Konferensi Tingkat Tinggi Uni Afrika di Addis Ababa, Etiopia. Uni Afrika secara resmi mengecam Israel pada 1975 karena perlakuannya terhadap Palestina dan menyerukan anggotanya untuk mendukung perjuangan Palestina. Pada 2002, Palestina memperoleh status pengamat di organisasi negara-negara Afrika ini ketika status Israel dicabut. Namun, pada 2021, Israel diberi status pengamat melalui keputusan sepihak oleh Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat, yang dituduh tidak berkonsultasi dengan negara anggota organisasi itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Boikot ke Apartheid"