Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Filipina mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menghalangi jika mantan Presiden Rodrigo Duterte ingin menyerahkan diri ke Mahkamah Kriminal Internasional. Eks Presiden Duterte terbelit kasus akibat perang melawan narkoba yang digagasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Reuters, dalam sidang kongres yang dilaksanakan pada Rabu, 13 November 2024, mengenai tindakan keras berdarah terhadap narkotika yang menewaskan ribuan warga Filipina, Duterte yang temperamental mengatakan dia tidak takut dengan ICC. Ia mendesak agar penyelidikannya tentang kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya agar dipercepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Presiden Ferdinand Marcos Jr mengeluarkan pernyataan beberapa jam kemudian yang menunjukkan pihaknya bersedia mempertimbangkan penyerahan Duterte jika permintaan Interpol diajukan. "Pemerintah akan merasa berkewajiban untuk mempertimbangkan red notice sebagai permintaan yang harus dihormati, dalam hal ini lembaga penegak hukum domestik harus terikat untuk memberikan kerja sama penuh," kata Sekretaris Eksekutif presiden Lucas Bersamin.
Pernyataan itu menandai pertama kalinya pemerintah Filipina menyatakan akan bekerja sama dengan ICC. Hal ini membuka jalan bagi penyelidikan terhadap kampanye berdarah yang menentukan masa jabatan kepresidenan Duterte 2016-2022.
Duterte secara sepihak menarik Filipina dari pengadilan tersebut pada Maret 2019 setelah ICC membuka pemeriksaan pendahuluan atas pembunuhan dalam perang melawan narkoba. ICC menyatakan jaksa memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan yang dilakukan sebelum penarikan tersebut.
Menurut data kepolisian, lebih dari 6.200 orang tewas dalam operasi antinarkoba di bawah Duterte. Kelompok hak asasi manusia meyakini jumlah korban sebenarnya jauh lebih besar. Ribuan pengguna dan pengedar kecil narkoba tewas dalam keadaan misterius oleh penyerang tak dikenal.
Para aktivis mendokumentasikan pola eksekusi sistematis terhadap tersangka tak bersenjata. Fakta ini ditutupi oleh laporan insiden palsu dan tempat kejadian perkara yang direkayasa. Polisi telah membantah dan mengatakan tersangka bersenjata dan dibunuh untuk membela diri.
Dalam pernyataan kantor presiden, Bersamin mengatakan pemerintah tidak akan keberatan atau menghalangi Duterte jika dia ingin menyerah.
Adapun meurut kantor Kejaksaan ICC, pihaknya mengikuti perkembangan di Filipina dengan cermat. Tidak ada komentar ihwal pernyataan pemerintah Filipina.
Duterte berulang kali membela diri ihwal perang narkoba yang memakan korban jiwa di Filipina. Dalam sidang Rabu, ia membela tindakan kerasnya terhadap narkoba.
"ICC tidak membuat saya takut sedikit pun. Mereka bisa datang ke sini kapan saja. Saya kira Anda mungkin ingin mempermudah mereka untuk berkunjung dan memulai penyelidikan. Saya akan menyambut baik hal itu," kata Duterte.
Selama sidang yang berlangsung selama berjam-jam itu, Duterte bertemu keluarga korban. Ia tidak menyatakan penyesalan atas keputusan yang diambilnya.
"Tidak ada yang perlu saya sembunyikan. Apa yang saya lakukan, saya lakukan demi negara dan demi generasi muda. Tidak ada alasan. Tidak ada permintaan maaf. Kalau saya masuk neraka, biarlah."
Pria berusia 79 tahun itu mengatakan dia mulai tidak sabar, dan meminta ICC untuk bergegas. "Saya sudah tua, saya mungkin akan segera meninggal. Kalian mungkin akan kehilangan kesenangan melihat saya berdiri di depan pengadilan untuk mendengarkan putusan apa pun," kata Duterte.
Lebih dari 6.200 tersangka narkoba tewas dalam operasi antinarkotika sejak Duterte menjabat pada Juni 2016 hingga November 2021, menurut data pemerintah.
Pilihan editor: Dahulu Sekutu, Kini Hubungan Prancis dan Israel Memanas, Apa Sebabnya?