Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Jerman menutup tiga pembangkit listrik tenaga nuklir terakhirnya.
Langkah Jerman ini bagian dari kebijakan untuk beralih ke energi ramah lingkungan.
Konflik pecah di Sudan dalam upaya kudeta militer pimpinan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo.
Jerman
Tiga Pembangkit Nuklir Terakhir Ditutup
PEMERINTAH Jerman menutup tiga pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terakhirnya, yaitu Isar 2, Emsland, dan Neckarwestheim 2, yang telah beroperasi selama enam dekade pada Sabtu, 15 April lalu. Keputusan ini bagian dari kebijakan negeri itu untuk beralih sepenuhnya ke energi ramah lingkungan dan menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. “Risiko tenaga nuklir pada akhirnya tidak dapat dikendalikan,” kata Menteri Lingkungan Jerman Steffi Lemke seperti dikutip Al Jazeera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jerman memutuskan menutup satu per satu 19 pembangkit nuklirnya, yang memasok sepertiga listrik negeri itu, lebih dari satu dekade lalu di bawah pimpinan Kanselir Angela Merkel. Rencana ini dipicu bencana nuklir Fukushima di Jepang pada 2011 dan kecelakaan Chernobyl di Ukraina pada 1986. Pembangkit terakhir rencananya ditutup pada 2022, tapi tertunda karena harga energi meroket akibat perang Rusia-Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parlemen terbelah soal penutupan ini. Legislator pendukung kebijakan ramah lingkungan memuji keputusan pemerintah, tapi politikus konservatif dan probisnis mengkritiknya karena khawatir terhadap cadangan listrik. Menurut DW, para pemimpin bisnis, termasuk Peter Adrian, Presiden Asosiasi Kamar Dagang dan Industri Jerman, meminta pemerintah "memperluas pasokan energi dan tidak membatasinya lebih jauh" mengingat potensi kelangkaan dan harga energi yang tinggi.
Keputusan Jerman ini bertentangan dengan kebijakan banyak negara, seperti Amerika Serikat, Cina, dan Prancis, yang menganggap energi nuklir sebagai pengganti energi berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan. Bahkan Jepang membatalkan rencana menyetop pembangkit nuklirnya secara bertahap.
Sudan
Kelompok Pemberontak Duduki Ibu Kota
BENTROKAN pecah antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), kelompok pemberontak pimpinan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, di Khartoum, ibu kota Sudan, sejak Sabtu, 15 April lalu. Serikat Dokter Sudan menyatakan sedikitnya 100 warga sipil meninggal di tengah baku tembak kedua pihak.
Kekuatan global seperti Amerika Serikat, Rusia, Arab Saudi, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, dan Uni Afrika berseru agar kedua pihak segera menghentikan kekerasan. “Saya mengutuk keras pecahnya pertempuran yang terjadi di Sudan dan memohon kepada para pemimpin RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan segera menghentikan permusuhan, memulihkan ketenangan, dan memulai dialog untuk menyelesaikan krisis ini,” ujar Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada Senin, 17 April lalu.
RSF berupaya menggulingkan pemerintahan pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, yang berkuasa setelah mengkudeta pemimpin sipil Perdana Menteri Abdalla Hamdok pada 2021. Baik Hemedti maupun Burhan mengklaim telah merebut fasilitas penting di Khartoum, seperti Istana Presiden, Bandar Udara Internasional Khartoum, dan rumah dinas pimpinan militer.
Kedua pihak bersaing sejak faksi-faksi politik bernegosiasi untuk membentuk pemerintahan transisi selepas kudeta militer pada 2021. Hemedti dan Burhan tidak bersepakat mengenai bagaimana pasukan paramiliter harus diintegrasikan ke angkatan bersenjata dan otoritas apa yang harus mengawasi proses tersebut.
Krisis Sudan bermula ketika Omar al-Bashir menggulingkan pemerintahan hasil pemilihan umum pimpinan Perdana Menteri Sadiq al-Mahdi pada 1989. Bashir dan Front Nasional Islam lalu membentuk Dewan Komando Revolusioner untuk Keselamatan Nasional. Namun pemberontakan pecah di mana-mana dan Bashir mengerahkan militer serta kelompok milisi untuk memadamkannya. Salah satunya kelompok Janjaweed, yang kemudian berkembang menjadi RSF. Bashir dikudeta oleh kelompok militer pimpinan Ahmed Awad Ibn Auf pada 2019 dan Sudan kembali terperosok ke dalam krisis hingga kini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo