Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Saya Pejuang Kebebasan, Bukan Pemimpin Politik

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naik ke panggung Human Rights Cities Forum 2013 di Pusat Konvensi Kimdaejung, Gwangju, pada 17 Mei lalu, Min Ko Naing membawa sisa-sisa rezim militer Myanmar yang merenggut masa muda dan kebebasannya selama 22 tahun: kaki kiri yang pincang. Sarung tradisional Myanmar dan kemeja putih membalut tubuhnya yang jangkung saat dia menerima The Gwangju Prize for Human Rights 2009 di panggung tersebut.

Gwangju, sebuah kota di Korea Selatan penggerak hak asasi manusia dan hak asasi kota dunia, harus menyimpan anugerah bergengsi itu selama tiga tahun lebih. Pria 51 tahun ini masih terpuruk di penjara tatkala namanya diumumkan sebagai penerima Anugerah Gwangju empat tahun silam.

Sekitar 300 tamu dari 45 negara hadir pada malam penuh kenangan bagi Ketua All Burma Federation of Student Unions 1988 itu. "Saya amat bersyukur atas anugerah ini," ujarnya. "Mohon maaf, saya tak dapat hadir di sini pada 2009 karena saya masih berada dalam penjara militer," Ko Naing melanjutkan. Pidatonya singkat, mengundang tepuk tangan panjang dari hadirin.

Pemerintah junta memburu Ko Naing muda setelah huru-hara besar melanda Myanmar pada 1988. Dia menggerakkan pelajar dan mahasiswa dari seluruh negeri untuk melawan rezim junta. Alhasil, namanya masuk daftar paling diburu. Mulai dipenjarakan pada 1989 selama 15 tahun, dia sempat dibebaskan pada 2004.

Ko Naing menggunakan masa itu untuk membentuk Generasi 88, agar lebih keras menyuarakan oposisi. Dia menolak lari ke luar negeri atau mengangkat senjata. "Oposisi damai adalah pilihan saya," ujarnya kepada Tempo. Jalan damai itu tetap membikin rezim militer naik darah, dan melontarkannya kembali ke bui pada 2005.

Pada Januari 2012, Ko Naing, yang kian kerap disebut sebagai pemimpin potensial Myanmar masa depan, akhirnya menghirup udara segar. Kebebasan itu membuat dia dan sejumlah kawan serta "anak buah" bisa menjemput The Gwangju Prize for Human Rights 2009 miliknya, pada Mei lalu.

Sehari sesudah penganugerahan, dia memberi wawancara khusus kepada wartawan Tempo Hermien Y. Kleden di tepi jalan di depan Emma's Cafe, Gwangju. Dia memesan jus buah dan segelas air putih, yang hanya disentuhnya sesekali selama 70 menit wawancara.

Min Ko Naing selalu menyebut negerinya dengan Burma, bukan Myanmar. Selama wawancara, beberapa kali dia terdiam, berusaha keras menemukan kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan. "Pengalaman di sana (penjara militer) sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata," ujarnya seraya tersenyum.

1 1 1

Hidup macam apa yang ingin Anda jalani­ setelah 22 tahun dikerangkeng di penjara militer?

Saya ingin lebih banyak melukis, menulis lagu, mengarang puisi. Saya ingin hidup bersama saudara-saudara saya setanah air, dari kalangan akar rumput, warga sipil. Saya ingin hidup sebagai orang biasa.

Sebagian kawan Anda dari Generasi 88, termasuk para pejuang bersenjata, telah keluar dari hutan dan masuk ke dunia politik dan kekuasaan.

Saya bukan pemimpin politik, saya freedom fighter, pejuang kebebasan. Saya memilih jalur perjuangan lewat oposisi damai. Setelah saya keluar dari penjara, banyak yang datang memberi macam-macam tawaran.

Apa saja yang ditawarkan?

Antara lain tinggal di luar negeri yang saya tunjuk dengan kehidupan yang dijamin. Mereka juga menawari saya masuk partai politik.

Bagaimana jawaban Anda?

Bila saya ingin ke luar negeri, itu sudah saya lakukan sejak 1988. Saya juga tidak ingin ke partai politik karena itu bukan kapasitas saya. Impian saya adalah melihat demokrasi tumbuh di negeri kami, dan itu belum saya temukan.

Bukankah kondisi sekarang sudah lebih baik? Salah satu ukurannya adalah kehidupan media yang lebih terbuka.

Demokrasi hanya bisa tumbuh di atas fondasi masyarakat sipil. Dan berjuang untuk demokrasi adalah ihwal yang saya kuasai dengan baik. Jadi itu yang akan terus saya lakukan ke depan. Saya bukan arsitek ekonomi atau politik. Tapi saya mendorong rekan-rekan dari Generasi 88 untuk berperan menjadi arsitek ekonomi, politik, dan demokrasi bagi negeri kami.

Pernah mencoba bunuh diri selama di penjara?

Kira-kira sepuluh kali, tapi selalu ber­akhir kegagalan.

Kenapa gagal?

Sebab, pada saat-saat mau bunuh diri, datanglah pikiran ini: saya ini kan Ketua Federasi Serikat Pelajar se-Burma. Banyak orang, langsung ataupun tidak, telah menyokong saya dengan dukungan dan cinta mereka. Kok, saya balas dengan bunuh diri? Pikiran itu selalu membatalkan tindakan saya.

Kondisi apa yang Anda rasa tak tertanggungkan di dalam penjara militer selama 22 tahun?

Ketiadaan kontak dengan manusia lain. Sel saya diberi dinding dobel dan ada ruang kosong di depan sel, sehingga sel saya tak langsung "tersambung" dengan penghuni lain. Bila kerinduan berbicara sudah tak tertahankan, saya "mengobrol" dengan beberapa semut di dinding sel serta dengan Pussycat.

Pussycat?

Mereka membolehkan saya memelihara seekor kucing, warnanya hitam-putih. Dia setia dan amat terlatih. Saya beri nama Pussycat. Sehari saya mendapat dua kali makan. Siang, nasi putih dan air. Malam, nasi putih dan kuah kari yang pedasnya bukan main sehingga tak bisa dimakan. Kadang-kadang ada sup kacang. Pussycat berbagi makanan dengan saya. Dia menjadi pengantar pesan yang hebat.

Lho, Anda bisa menulis pesan?

Tidak ada kertas, pensil, buku. Penguasa militer tak mengizinkan saya membaca, termasuk buku suci sekalipun. Kadang ada potongan plastik kecil. Saya mencoret-coret potongan plastik itu dengan potongan bata yang copot dari lantai atau dinding sel. Pussycat mengantar pesan itu antar-sel. Sampai hari ini, tak satu pun penguasa militer di penjara tahu peran Pussycat. Dengan potongan bata, saya juga melukis dinding sel. Bila lukisan sudah jadi, sipir masuk ke sel dan bilang: "Wah, bagus benar lukisanmu." Lalu dia mengecat lagi dinding itu untuk menghapus lukisan tersebut.

Ada kabar kesehatan mental Anda sempat terganggu...

Oh, itu. Suatu saatsaya lupa tahun berapa saya pernah meminta kepada sipir agar rambut saya dipotong. Dia menolak. Itu membuat saya berjanji tak akan pernah meminta potong rambut lagi selama di penjara. Rambut saya akhirnya menjuntai sampai ke punggung. Untuk menghibur diri, saya gunakan untaian rambut sebagai "gitar" dan menyanyikan aneka lagu serta "bermain musik". Kabar beredar bahwa Min Ko Naing sudah gila.

Faktor apa yang membuat Anda bisa keluar dari penjara dengan mental dan fisik tetap sehat?

Sejak saya kecil, orang tua saya mengajarkan meditasi. Melalui meditasi, saya mampu bertahan. Pemerintah militer tak bisa membatasi pengembaraan dan impian saya dalam meditasi. Tentang keadaan fisik, tidak seperti yang Anda lihat: tangan kanan saya ini lemah sekali, hampir tak bisa saya gunakan untuk melukis. Dan ini juga sangat penting: saya mampu bertahan karena cinta dari banyak orang, the love of my people keeps me alive.

Siapa saja mereka?

Rakyat Burma dan mereka yang menyokong saya melalui jaringan internasional.

Pernahkah Anda menghitung waktu selama dalam penjara?

Saya menghitung jam, hari, bulan. Di dalam sel saya ada satu jendela kecil yang memasukkan sedikit cahaya, sehingga saya tahu pergantian siang, petang, malam. Saya tidak kehilangan harapan, dan itu membuat waktu tetap berarti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus