Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG dua lantai itu terlihat kumuh pada hari itu, Kamis, 14 Desember 2023. Atapnya bocor dan catnya mulai memudar, dari warna putih mulai menguning. Gedung bekas Kantor Imigrasi Lhokseumawe di Punteut, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, Aceh, itu sekarang menjadi tempat penampungan sejumlah pengungsi Rohingya asal Myanmar yang mendarat di Aceh. Lambang Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) terpajang di beberapa sudut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pria Rohingya terlihat mengenakan sarung. Sebagian besar anak-anak berpakaian seadanya. Kaum perempuan mengenakan selendang penutup kepala. Mereka mengaku tak bisa berbahasa Melayu ataupun Inggris. Gedung ini sudah melebihi kapasitasnya yang hanya 150 orang sehingga para pengungsi harus tinggal berimpitan di dalamnya.
Sejak 2012, beberapa kali gedung ini dijadikan penampungan pengungsi. Warga Rohingya itu meninggalkan kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh, dan tiba di Aceh dengan menumpang kapal dalam beberapa gelombang. Pada mulanya mereka disambut baik oleh masyarakat Aceh. Namun belakangan ini muncul penolakan terhadap mereka.
Itu berawal dari kedatangan kapal yang mengangkut 214 orang Rohingya di Desa Meunasah Dua Pasi, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, pada 15 November 2023. Setelah diberi makanan, minuman, dan pakaian seadanya oleh warga setempat, mereka diusir kembali ke laut. Kepala Desa Meunasah Dua Pasi, Muchtaruddin, menyatakan warganya keberatan atas kehadiran para pengungsi. “Sudah kami sampaikan ke aparat pemerintah bahwa kami sudah bantu. Namun kami terpaksa menolak juga karena tidak ada tempat dan mengganggu kenyamanan warga,” katanya, 14 Desember 2023.
Kapal itu kemudian merapat ke Desa Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, tapi kembali ditolak masyarakat. “Sudah kami berikan bantuan, mesin kapal mereka juga bagus. Sudah kami periksa. Jadi kami pikir lebih baik ditolak,” ujar Kepala Desa Ulee Madon, Rahmat Kartolo.
Rahmat menuturkan, warga desanya menolak pengungsi karena masalah yang mereka hadapi selama ini. “Ini bukan kasus pertama kami kedatangan pengungsi Rohingya. Kami sudah tahu betapa sulit menertibkan mereka. Tidak menghormati kearifan lokal dan sebagainya. Apalagi nanti juga mereka kabur lagi dari penampungan,” ucapnya.
Sejumlah imigran Rohingya yang dipindahkan dari Pantai Ujong Kareung Sabang berbaris untuk didata di gedung eks Kantor Imigrasi, Punteuet, Lhokseumawe, Aceh, 23 November 2023. Antara/Rahmad
Sebanyak 31 pengungsi Rohingya melarikan diri dari tempat penampungan di Balai Latihan Kerja Kandang, Kota Lhokseumawe, pada 2022. Mereka dikabarkan pergi ke Medan dan kemudian menyeberang ke Malaysia.
Kapal pengungsi Rohingya beberapa kali terdampar di Kabupaten Aceh Utara. Yang terakhir, 50 warga Rohingya terdampar di Kecamatan Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur, 14 Desember 2023. “Tadi warga meminta kepada saya agar etnis Rohingya segera dipindahkan. Kini mereka ditempatkan di Tempat Pendaratan Ikan Kuala Idi Cut. Kondisi mereka saat ini kebanyakan mengalami dehidrasi. Tapi hingga kini belum ada keputusan ke mana mereka akan dipindahkan,” tutur Camat Darul Aman, Azani.
Pemerintah daerah mengaku kesulitan menghadapi tuntutan masyarakat yang menolak pengungsi Rohingya. Sekretaris Daerah Aceh Utara A. Murthala mengaku tidak memiliki dana dan lokasi untuk menampung pengungsi. “Kalau ada lokasi memadai, mungkin saya bisa bujuk warga bahwa ini hanya sementara, nanti segera dipindah ke lokasi lain. Namun lokasinya kami tidak punya,” katanya.
Ketika penolakan masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya mencuat pada pertengahan November 2023, akun-akun media sosial PBB di Indonesia (UN Indonesia) dan UNHCR Indonesia dibanjiri komentar negatif dan ujaran kebencian mengenai pengungsi Rohingya dan UNHCR. Menurut laporan investigasi internal UN Indonesia yang diperoleh Tempo, dari total 17.380 komentar di akun Instagram mereka selama 21 November-8 Desember 2023, sebanyak 91 persen berupa ujaran kebencian, termasuk seruan untuk menutup UNHCR.
Mitra Salima Suryono, Associate Communications Officer UNHCR Indonesia, mengatakan serangan terhadap mereka kini berkembang dengan munculnya akun-akun palsu UNHCR di media sosial. Akun-akun tersebut mengeluarkan konten yang seolah-olah dibuat UNHCR dalam menanggapi masalah pengungsi Rohingya.
“Disebutlah tuntutan-tuntutan kami apa saja, yang terdengar sangat mengagetkan. Tentunya, apabila ada orang yang tidak mengetahui (akun itu palsu), akan berpikir permintaan-permintaan tersebut tidak bertanggung jawab,” ucapnya, 14 Desember 2023. “Kondisi terakhir, banyak konten yang beredar tidak bersumber dari UNHCR. Terutama di TikTok.”
Menurut Mitra, mereka tidak bisa menduga penyebab terjadinya penolakan yang begitu masif. “Memang ada perubahan tren yang kami lihat di media sosial. Tapi, kenyataannya, di lapangan pihak-pihak yang masih mendukung, yang masih mau menolong dan membantu pengungsi Rohingya, juga banyak. Jadi agak sulit kami menilai kenapa ada pihak yang tidak menginginkan mereka,” ujar juru bicara UNHCR Indonesia tersebut.
Menurut UNHCR, sekitar 1 juta orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dalam tiga dekade terakhir. Namun kondisi keamanan di kamp-kamp pengungsi Bangladesh yang sesak telah memburuk beberapa waktu terakhir dan mendorong banyak pengungsi menempuh perjalanan yang sangat berbahaya untuk mencari keselamatan di negara lain. Karena tidak memiliki kewarganegaraan, tidak ada jalur legal yang memungkinkan mereka pergi secara normal ke negara lain. Akibatnya, mereka sering memilih naik perahu yang ditawarkan oleh para penyelundup manusia.
Pengungsi Rohingya tidak hanya mencari keselamatan di Indonesia. Mayoritas mereka melarikan diri dan diberi status pengungsi di Bangladesh (lebih dari 960 ribu orang), Malaysia (lebih dari 105 ribu orang), dan India (lebih dari 22 ribu orang). Lebih dari 70 persen pengungsi Rohingya yang mendarat di Indonesia dalam sebulan terakhir adalah perempuan dan anak-anak.
Mitra menuturkan, para pengungsi bukanlah orang yang kebal hukum. Bila melanggar tata tertib lingkungan atau melanggar hukum, mereka tentu dapat diproses dan dihukum. “Namun, dengan proses hukum yang dikenakan kepada para pengungsi, bukan berarti permohonan suaka mereka kemudian dihilangkan. Sebab, permohonan suaka tersebut tetap akan dijalankan ketika mereka sudah selesai menjalani masa hukuman,” ucapnya.
UNHCR juga membantah kabar bahwa pengungsi menambah beban anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana banyak beredar di media sosial. Menurut Mitra, semua program UNHCR bersama mitranya di Aceh ataupun di luar Aceh, termasuk pengungsi selain Rohingya, didanai dari sumbangan negara anggota PBB dan sektor swasta.
“Semua aktivitas kami, seperti memberikan makanan, minuman, air bersih, bantuan obat-obatan, bahkan sampai pendidikan bila nantinya untuk jangka panjang, didanai kami sendiri yang sama sekali tidak menggunakan dana pemerintah Indonesia, bukan dari APBN ataupun dana daerah,” tuturnya.
Mitra mengingatkan bahwa Indonesia mengakui Deklarasi Hak Asasi Manusia sehingga terikat pada pasal yang mewajibkan negara memberikan hak bagi pencari suaka, yang juga diakui dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri memerintahkan lembaga yang relevan untuk menolong dan menangani kapal yang berisi pengungsi di perairan Indonesia.
“Jadi jelas bahwa dengan alasan-alasan tersebut Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi, meskipun kita belum menandatangani Konvensi PBB tentang Pengungsi,” kata Mitra.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dimas dari Lhokseumawe berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terusir Berkali-kali"