Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Rujuk Dua Seteru Teluk

Iran dan Arab Saudi memulihkan hubungan yang tegang selama puluhan tahun. Akankah menuju perdamaian di Teluk?

26 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Iran dan Arab Saudi mencapai kesepakatan damai di Beijing.

  • Negara-negara Teluk sudah tidak tahan lagi pada perang yang terus melanda kawasan.

  • Kesepakatan Iran-Saudi diharapkan berdampak positif bagi Timur Tengah.

PERDAMAIAN itu akhirnya tercapai di Beijing, Cina, pada Jumat, 10 Maret lalu. Setelah puluhan tahun tegang, pemerintah Republik Islam Iran dan Kerajaan Arab Saudi bersepakat menormalkan hubungan kedua negara dengan dimediasi Republik Rakyat Cina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Delegasi Iran yang dipimpin Admiral Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tinggi, bertemu dengan delegasi Saudi pimpinan Musaad bin Mohammed Al-Aliban, Menteri Negara dan Penasihat Keamanan Nasional. Setelah berunding selama lima hari, kedua pihak mencapai sejumlah kesepakatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada dokumen resmi yang dirilis mengenai isi kesepakatan mereka. Dalam pernyataan bersama, mereka hanya menyebutkan kedua negara ingin menyelesaikan berbagai ketidaksepakatan melalui dialog dan diplomasi serta dalam suasana persaudaraan. Mereka juga mengakui prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) serta berbagai konvensi dan norma internasional.

Kesepakatan mereka antara lain menjalin kembali hubungan diplomatik dan saling membuka kedutaan di kedua negara. Menteri luar negeri kedua negara juga akan segera bertemu untuk mewujudkan kesepakatan itu.

Kesepakatan itu pun menekankan penghormatan terhadap kedaulatan dan tak akan ada intervensi urusan dalam negeri masing-masing. Iran dan Saudi juga akan menerapkan perjanjian kerja sama keamanan yang diteken pada 2001 dan perjanjian umum pada 1998 yang memperkuat kerja sama di bidang ekonomi, teknik, ilmu, kebudayaan, olahraga, dan pemuda.

Wang Yi, Direktur Kantor Komisi Luar Negeri Komite Sentral Partai Komunis Cina yang mendampingi Ali Shamkhani dan Musaad bin Mohammed Al-Aliban, menyebut kesepakatan tersebut sebagai “langkah bersejarah” dalam upaya memperbaiki hubungan kedua negara. Wang menyatakan perundingan ini telah mencapai hasil yang signifikan dan sebuah kemenangan atas dialog dan perdamaian.

Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berbicara dengan Menteri Negara dan penasihat keamanan nasional Arab Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban (kiri) selama pertemuan di Beijing, Cina 10 Maret 2023. cnsphoto via REUTERS

Shamkhani dan Musaad mengapresiasi pemerintah Cina yang telah mengupayakan pertemuan ini. Mereka menyatakan akan menerapkan konsensus yang dicapai untuk memperkuat kehidupan bertetangga dan menjaga stabilitas kawasan secara bersama-sama.

Mahdi Rounagh, charge d'affaires (pelaksana tugas) Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, menyebutkan kesepakatan ini tercapai setelah pemerintah Presiden Iran Ayatullah Ebrahim Raisi memprioritaskan peningkatan hubungan dengan negara-negara tetangga dalam agenda kebijakan luar negerinya. “Kebijakan ini digenjot sejak dua tahun lalu,” katanya pada Selasa, 21 Maret lalu.

Menurut Rounagh, berdasarkan prinsip tersebut, Iran berusaha membangun hubungan baik dengan semua negara tetangga di kawasan Timur Tengah atau Asia Barat. “Khususnya dengan Arab Saudi sebagai salah satu negara terpenting di sana, yang menjadi prioritas kami,” ucapnya.

Sejak Raisi memerintah, Rounagh menuturkan, berbagai pembicaraan dengan negara tetangga dimulai. “Kami telah melakukan berulang kali putaran negosiasi dengan Arab Saudi, di Irak, Oman, dan lain-lain, untuk menyelesaikan persilangan pendapat, meningkatkan kerja sama, dan mencapai kesepakatan demi memperluas keamanan di kawasan,” ujarnya. “Setelah melalui berbagai putaran negosiasi di banyak negara, akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan di Beijing.”

Permusuhan kedua negara berakar jauh ke belakang. Chelsi Mueller, dalam The Origins of the Arab-Iranian Conflict: Nationalism and Sovereignty in the Gulf between the World Wars (2020), melacak akarnya dalam sejarah dan kebudayaan kedua bangsa. Menurut Mueller, permusuhan itu dapat dilacak hingga abad ke-7 ketika orang Iran menganggap orang Arab sebagai bangsa nomaden yang “barbar” dan orang Arab menganggap orang Iran sebagai “orang asing”.

Teluk Persia juga menjadi episentrum perpecahan kelompok Islam Suni dan Syiah yang berakar hingga Perang Karbala pada 680, ketika Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, dikalahkan oleh Kalifah Umayyah. Hingga kini perpecahan kedua kelompok ini masih menggema di berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim. Perbedaan pandangan itu makin nyata antara Iran, yang mayoritas penduduknya beraliran Syiah, dan Saudi, yang Suni.

Keadaan makin parah ketika Inggris campur tangan untuk mengendalikan kawasan itu sebagai daerah jajahannya. Revolusi Islam Iran pimpinan Ayatollah Khomeini yang menggulingkan Shah Reza Pahlavi pada 1979 mengguncang dunia Arab. Saudi, yang menikmati pengaruh pentingnya sebagai negara Arab yang mengampu dua kota suci Islam, Mekah dan Madinah, menghadapi tantangan baru dari seberang teluk. Sementara itu, perkembangan geopolitik Timur Tengah mendorong masuknya kekuatan asing, seperti Amerika Serikat dan Rusia. Sejak saat itu, negara-negara Teluk seperti tidak pernah tenang.

Mahdi Rounagh tidak menjelaskan pokok perselisihan antara Iran dan Saudi selama ini. Dia hanya memastikan “tidak ada masalah politik di antara kedua negara”. “Saudi adalah saudara, tetangga. Perbedaan pendapat adalah hal biasa,” katanya.

Para analis menilai persaingan antara Iran dan Arab juga terjadi dalam bentuk perang proksi. Iran dituduh telah mengipas-ngipasi kekerasan di Timur Tengah melalui dukungan keuangan dan militer ke jaringan proksi Syiah-nya di wilayah tersebut, seperti di Libanon, Suriah, dan Yaman. Perang di Yaman, yang meletus pada 2014, misalnya, dianggap telah menjadi medan pertarungan kedua kubu yang berselisih. Riyadh mendukung pemerintah Yaman, tapi Teheran mendukung Houthi, kelompok bersenjata yang beraliran Syiah.

Rounagh membantah ada campur tangan Iran dalam perang di Yaman. “Iran tidak pernah mengirim senjata ke mana pun,” tuturnya. Rounagh juga mengingatkan bahwa ada blokade di Yaman. “Mengirimkan makanan saja sulit, apalagi mengirimkan senjata,” ucapnya. Selain itu, “Negara seperti Amerika punya peralatan pengintaian yang dengan mudah mendeteksi pengiriman senjata.”

Pemicu ketegangan lain adalah posisi Iran sebagai negara nuklir. Negeri itu mengaku mengembangkan nuklir untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pembangkit tenaga listrik. Namun negara-negara Barat menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir.

Rounagh menegaskan, ulama Iran telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pembuatan, penyimpanan, dan pemakaian senjata pemusnah massal, termasuk senjata nuklir. “Jadi mana mungkin pemerintah Iran mengembangkan senjata nuklir?” ujarnya. Meski demikian, posisi Iran sebagai negara nuklir telah mengukuhkan posisinya di Teluk.

Negara-negara di Timur Tengah telah menyaksikan berbagai perang, seperti di Suriah, Irak, dan Yaman. Banyak sekali ketidakamanan dan persoalan yang terjadi di kawasan ini. “Negara-negara di kawasan akhirnya mencapai titik bahwa kawasan ini tidak bisa tahan lagi dengan begitu banyaknya perang dan persoalan,” kata Rounagh. Hal inilah yang mendorong mereka untuk merajut kembali hubungan yang sempat putus.

Menurut Rounagh, Timur Tengah, khususnya Teluk Persia, adalah kawasan dengan keamanan yang rawan. “Kerawanannya sering disebabkan oleh faktor eksternal, yang biasanya dilakukan oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat,” katanya. Mereka, tutur dia, menciptakan masalah keamanan di sana agar perdagangan senjata mereka laris manis.

Iran, menurut Rounagh, adalah bagian dari Timur Tengah, yang memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjadi tetangga yang baik bagi negara lain dan hidup saling menghormati. Dengan semangat itulah, dia menambahkan, Iran dan Saudi mencapai kesepakatan di Beijing. “Kesepakatan Saudi-Iran akan berpengaruh positif bagi Yaman,” ujarnya.

Memang, belum ada tanda-tanda perdamaian Iran-Saudi itu berdampak pada Yaman. Namun, Jumat, 24 Maret lalu, Saudi dan Suriah dilaporkan telah mencapai kesepakatan untuk menjalin kembali hubungan diplomatik mereka yang putus sejak 2012. Abdul Manan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus