Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Mungkinkah Hakim Pengadilan Kejahatan Internasional Mengabulkan Permintaan Menangkap Netanyahu?

Jaksa ICC meminta surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang seakan-akan kebal hukum.

26 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“HARI ini saya mengajukan permohonan surat perintah penangkapan ke Praperadilan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam kasus negara Palestina,” kata Karim Ahmad Khan, Kepala Jaksa ICC, dalam pernyataannya pada Senin, 20 Mei 2024. Sasaran perintah penangkapan itu adalah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Berdasarkan bukti yang dikumpulkan dan diperiksa kantor saya, saya memiliki alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di wilayah negara Palestina (di Jalur Gaza) setidak-tidaknya sejak 8 Oktober 2023,” ujar Khan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khan mendakwa Netanyahu telah membuat warga sipil kelaparan dan sengaja menimbulkan penderitaan yang hebat serta melakukan pembunuhan, pemusnahan, penganiayaan, dan tindakan lain yang tak manusiawi. Semua tindakan itu bertentangan dengan Statuta Roma, dasar pendirian ICC yang memuat empat jenis kejahatan internasional, yakni genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Khan juga meminta perintah penangkapan terhadap tiga tokoh Hamas, yakni Yahya Sinwar, Mohammed Diab Ibrahim al-Masri, dan Ismail Haniyeh. Mereka juga didakwa dengan sejumlah kejahatan yang berhubungan dengan serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Dakwaan itu mirip dengan yang ditujukan kepada Netanyahu.

Khan menggarisbawahi kelaparan yang menimpa warga Gaza akibat tindakan para terdakwa dan pengepungan total Gaza sehingga akses bantuan kemanusiaan ke daerah ini tertutup. Pengacara yang pernah terlibat dalam pengadilan pidana internasional untuk Rwanda dan negara bekas Yugoslavia itu menyerukan kembali tuntutan kepada Israel agar segera mengizinkan pembukaan akses bantuan kemanusiaan ke Gaza dalam skala besar.

“Saya secara khusus menggarisbawahi kelaparan sebagai metode perang dan penolakan bantuan kemanusiaan merupakan pelanggaran Statuta Roma. Saya sangat jelas,” ucap ahli hukum Inggris 54 tahun itu.

“Mereka yang tidak mematuhi hukum tidak boleh mengeluh nanti ketika kantor saya mengambil tindakan. Hari itu telah tiba,” tutur Khan, yang juga menangani kasus kejahatan perang di Ukraina dan telah menerbitkan surat penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin.

“Hari ini kami sekali lagi menggarisbawahi bahwa hukum internasional dan hukum konflik bersenjata berlaku untuk semua orang. Tidak ada prajurit, tidak ada komandan, tidak ada pemimpin sipil—tidak ada seorang pun—yang dapat bertindak tanpa mendapat ganjaran hukuman,” ujar Khan.

Atip Latipulhayat, guru besar hukum internasional di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, menyebut tuntutan Khan ini sebagai momen bersejarah. “Sebenarnya ini bukan hanya sebuah langkah, tapi momen bersejarah karena Israel boleh dikatakan seperti kebal terhadap hukum internasional atas berbagai pelanggaran yang ia lakukan,” katanya kepada Tempo pada Selasa, 21 Mei 2024.

Sejak Israel membumihanguskan Gaza untuk memburu anggota Hamas, berbagai negara dan lembaga internasional telah berseru agar Israel menghentikan tindakannya. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sejumlah negara menyerukan gencatan senjata kemanusiaan dengan tujuan memberi kesempatan bantuan pangan, medis, dan kemanusiaan masuk ke Gaza, tapi Israel bergeming.

Afrika Selatan kemudian menuntut Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ), badan PBB yang menangani sengketa antar-negara anggota PBB, dengan tuduhan genosida terhadap warga Palestina di Gaza pada Desember 2023. Atas permintaan Afrika Selatan, ICJ mengeluarkan putusan sela pada Januari 2024 yang memerintahkan Israel mengambil semua langkah untuk mencegah segala tindakan yang dapat dianggap sebagai genosida menurut Konvensi PBB tentang Genosida 1948. Lagi-lagi Israel tak ambil pusing dan terus menyerang Gaza.

Menurut Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia, Mpetjane Kgaogelo Lekgoro, negaranya menilai tindakan Israel di Gaza bermasalah. “Kami menyampaikan pesan kepada Israel bahwa tidak adil membunuh semua orang tanpa pandang bulu, berapa pun jumlahnya. Tapi Israel tidak mau mendengarkan kami. Jadi kami cenderung ke ICJ untuk mengajukan tuduhan genosida terhadap Israel,” ucapnya setelah negaranya resmi menuntut Israel.

“Di depan mata kita Israel mengebom Gaza setiap hari mungkin dengan niat membunuh warga Palestina yang mereka temui tanpa pandang bulu. Israel telah melakukan genosida terhadap rakyat Palestina,” ujarnya.

Jaksa ICC Karim A. A. Khan mengumumkan permohonan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, 20 Mei 2024. Dok. ICC

Benjamin Netanyahu gusar terhadap tindakan ICC dan menolak dakwaan ICC yang menyamakan “negara demokratis Israel” dengan “para pembunuh massal”, yang mengacu pada Hamas. Hal senada disampaikan Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang menyatakan “tidak ada kesetaraan—tidak ada—antara Israel dan Hamas”.

“Jelas Israel ingin melakukan semua yang mereka bisa untuk memastikan pelindungan warga sipil,” tutur Biden. Netanyahu bahkan menuduh para jaksa ICC telah “dengan tanpa perasaan menuangkan bensin ke api anti-Semitisme yang berkobar di seluruh dunia”.

Israel selalu berdalih bahwa serangan ke Gaza adalah upaya membela diri atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Amerika Serikat mendukung Israel dengan alasan yang sama, yakni Israel berhak membela diri. Apalagi keduanya sama-sama memasukkan Hamas ke daftar teroris.

Atip Latipulhayat mempertanyakan dalih Israel itu. Serangan Hamas itu tidak bisa dilihat hanya dari peristiwa 7 Oktober, tapi sebagai bagian dari rangkaian kolonialisme Israel terhadap Palestina. “Membela diri kan ada syaratnya. Pertama, itu serangan militer yang konkret—syarat ini terpenuhi. Kedua, proporsional. Pertanyaannya, apakah yang dilakukan Israel sekarang memenuhi asas proporsionalitas? Itu bukan proporsional lagi. Ia menghabisi Gaza,” katanya.

“Yang jadi alasan ICC (menangkap Benjamin Netanyahu), dia telah menyebabkan kelaparan, mengusir penduduk Gaza, dan sebagainya. Itu tindakan yang sudah tidak proporsional. Makanya bukan membela diri lagi,” ujarnya.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken juga menolak putusan ICC itu. “Amerika Serikat sudah jelas bersikap jauh sebelum konflik terjadi bahwa ICC tidak mempunyai yurisdiksi atas masalah ini,” ucapnya.

Menurut Atip, Israel memang bukan negara pihak dalam Statuta Roma sehingga ICC tidak memiliki yurisdiksi di wilayah Negeri Yahudi. “Tapi Netanyahu dituduh melakukan kejahatan-kejahatan di wilayah yang menjadi yurisdiksi ICC, yakni di Gaza, Palestina. Makanya (Netanyahu) bisa diadili,” kata penulis buku Hukum Internasional: Sumber-sumber Hukum itu. Israel tidak meratifikasi Statuta Roma, tapi PBB menerima Palestina sebagai anggota ICC pada 1 April 2015.

Hamas mendukung langkah ICC yang berupaya menahan Netanyahu dan Yoav Gallant, tapi juga menuntut penangkapan semua pejabat Israel yang terlibat kejahatan di Gaza. Di sisi lain, mereka “mengecam keras upaya jaksa ICC yang menyamakan korban dengan algojo dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah pemimpin perlawanan Palestina tanpa dasar hukum” serta meminta pembatalan perintah penangkapan tersebut.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant tiba di Knesset, Yerusalem, 20 Mei 2024. Reuters/Ronen Zvulun

Jerman, Prancis, dan Australia mendukung langkah ICC yang independen dan menolak impunitas. “Sejauh menyangkut Israel, terserah kepada majelis praperadilan untuk memutuskan apakah akan mengeluarkan surat perintah ini, setelah memeriksa bukti yang diajukan jaksa,” ucap Kementerian Luar Negeri Prancis.

Uni Eropa juga mendukung langkah Karim Ahmad Khan. “Mandat ICC, sebagai lembaga internasional yang independen, adalah mengadili kejahatan paling serius berdasarkan hukum internasional. Semua negara yang telah meratifikasi undang-undang ICC terikat untuk melaksanakan putusan Mahkamah,” ujar Josep Borrell, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, dalam cuitannya di X.

Atip menuturkan, ICC adalah pengadilan internasional yang menjadi harapan baru bagi dunia. Sebelum ICC hadir, boleh dikatakan tak ada harapan karena hukum internasional tidak memiliki suatu institusi yang bisa menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan suatu negara.

“Kehadiran ICC menjadi semacam ice breaker atas kebuntuan selama ini. Dan para pelaku bahkan secara langsung dapat dimintai pertanggungjawabannya dan dihukum kalau kemudian terbukti. Jadi ini sebuah capaian baru,” tutur Atip.

Sayangnya, Atip menambahkan, ICC mendapati dua hambatan. Pertama, ICC tak memiliki aparatus yang bisa mengeksekusi putusannya, seperti halnya pengadilan di sebuah negara yang punya polisi yang akan menegakkan putusan itu. Akibatnya, ICC sangat bergantung pada keputusan politik negara anggotanya apakah akan mendukung dan menjalankan putusan itu atau tidak.

Kedua, “ICC menjadi seperti macan ompong apabila berhadapan dengan negara-negara yang secara politik kuat,” kata Atip. Sampai sekarang, mayoritas putusan ICC yang bisa dieksekusi itu berhubungan dengan kasus di negara-negara Afrika sehingga ICC sering disebut sebagai “pengadilan kulit hitam”. “ICC hanya bertuah dan punya kuasa ke negara-negara kecil, khususnya di Afrika.”

Bila surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu terbit, eksekusinya tidaklah mudah. “ICC akan menemukan kesulitan dalam pelaksanaannya, sebagaimana halnya ketika ICC memerintahkan penangkapan terhadap Putin (Presiden Rusia Vladimir Putin), karena Netanyahu dan Putin sedang menjabat dan mereka akan menggunakan kekebalan sebagai presiden atau perdana menteri,” tutur Atip.

Perintah ICC memang mengikat negara anggota ICC, seperti Inggris, Swedia, Swiss, Australia, Prancis, Jerman, Belanda, Italia, Afrika Selatan, dan Palestina. Bila Netanyahu dan Yoav Gallant masuk ke sana, negara-negara tersebut wajib menangkap mereka, tapi keputusan terakhir tentu bergantung pada kebijakan setiap negara. Namun, Atip melanjutkan, bila Netanyahu berkunjung ke negara-negara sahabat Israel, “Mereka pasti akan dilindungi.”

Netanyahu, Atip menambahkan, tentu akan berusaha menghindari negara-negara yang mungkin akan menjalankan perintah ICC. Yang pasti, perintah penangkapan itu sedikit-banyak akan membatasi ruang gerak Netanyahu.

Perintah ICC juga akan menimbulkan dilema bagi negara anggota ICC yang punya hubungan baik dengan negara asal terdakwa. Afrika Selatan, misalnya, sempat menghadapi dilema ketika akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi BRICS yang akan dihadiri para kepala negara Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan pada Juli 2023. Saat itu ICC telah menerbitkan perintah penangkapan Putin pada Maret 2023. Masalah terpecahkan setelah Putin akhirnya hanya hadir melalui konferensi virtual.

Atip melihat ada solusi atas masalah ini, yakni mengakui Palestina sebagai negara anggota PBB. “Kalau Palestina sebagai negara anggota PBB, ketika ia diserang seperti sekarang, PBB berkewajiban melindungi anggotanya. Itu kan agresi terhadap kedaulatan negara dan pelakunya bisa ditangkap juga karena itu masuk yurisdiksi ICC, selain genosida,” tuturnya.

Palestina mengajukan permohonan menjadi anggota PBB pada 2011, tapi baru diterima sebagai pemantau melalui pemungutan suara di Majelis Umum PBB pada 2012. Pada 18 April 2024, perwakilan Aljazair mengusulkan Palestina sebagai negara anggota PBB penuh kepada Dewan Keamanan PBB. Proposal itu diajukan Aljazair atas nama negaranya, kelompok negara Arab, Organisasi Kerja Sama Islam, Gerakan Non-Blok, dan sejumlah negara lain.

Warga dan lingkunan yang hancur akibat serangan Israel, di Khan Younis, selatan Jalur Gaza, Palestina, 22 Mei 2024. Reuters/Mohammed Salem

Menurut Aljazair, Palestina memenuhi kriteria keanggotaan sebagaimana didefinisikan dalam Piagam PBB. “Sudah waktunya bagi Palestina untuk mendapat tempat yang selayaknya di antara komunitas bangsa-bangsa,” katanya. “Perdamaian akan terwujud jika Palestina diikutsertakan, bukan karena disingkirkan.”

Permohonan itu gagal. Sebanyak 12 negara anggota Dewan Keamanan mendukung usulan itu dan dua negara, Swiss dan Inggris, abstain. Namun Amerika Serikat, anggota tetap Dewan Keamanan, memvetonya dengan alasan hanya akan mendukung negara Palestina dalam perjanjian perdamaian yang berkelanjutan yang hanya dapat dicapai melalui solusi dua negara dengan jaminan keamanan bagi Israel. Resolusi Dewan Keamanan mensyaratkan dukungan sembilan negara dan tanpa veto dari lima anggota tetap, yakni Cina, Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Meskipun demikian, isu ini bergulir ke Majelis Umum PBB, yang kemudian menggelar rapat khusus darurat pada 10 Mei 2024 yang membahas rancangan resolusi mengenai keanggotaan baru PBB. Resolusi itu didukung 143 negara, sementara 25 abstain, dan ditolak 9 lainnya, yakni Argentina, Republik Cek, Hungaria, Israel, Negara Federasi Mikronesia, Nauru, Palau, Papua Nugini, dan Amerika Serikat.

Dengan lolosnya resolusi ini, status Palestina tetap sebagai pemantau tapi dengan sejumlah hak tambahan, seperti membuat pernyataan, mengajukan usul atau amendemen, dan duduk dalam keanggotaan komisi majelis.

Amerika akan memveto terus usulan keanggotaan Palestina. “Sebab, sekali Palestina diakui sebagai negara dan jadi anggota PBB, apa yang dilakukan Israel itu pelanggaran berat dalam hukum internasional, melanggar kedaulatan sebuah negara. Dan PBB bisa mengirim pasukan perdamaian dan segala macam,” tutur Atip.

Menurut Atip, sebenarnya ada jalan keluar atas kebuntuan ini. “Kalau Amerika memveto Palestina sebagai negara anggota PBB, sebetulnya dalam waktu 24 jam Majelis Umum bisa mengeluarkan resolusi Bersatu untuk Perdamaian (Uniting for Peace), resolusi yang dikeluarkan Majelis untuk sesuatu yang membahayakan perdamaian dunia dan keamanan internasional.”

Majelis pernah mengeluarkan resolusi ini pada 3 November 1950. Saat itu setiap upaya Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang melindungi Korea Selatan dari agresi Korea Utara di tengah Perang Korea selalu diveto Uni Soviet. Dengan dukungan Amerika, akhirnya Majelis Umum mengeluarkan resolusi Bersatu untuk Perdamaian.

Bagian terpenting resolusi itu adalah yang menyatakan bahwa, ketika Dewan Keamanan, karena kurangnya suara bulat dari anggota tetap, gagal melaksanakan tanggung jawab utamanya untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, Majelis Umum akan mengambil alih masalah ini.

“Sekarang resolusi Bersatu untuk Perdamaian harus dipakai untuk Palestina karena apa yang dilakukan Amerika (dengan terus memveto) itu membahayakan keamanan internasional. Apa yang terjadi di Timur Tengah membuat dunia terus runyam, berdampak buruk bagi ekonomi, harga minyak, dan lainnya,” kata Atip. “Dengan diakuinya Palestina sebagai negara, itu akan lebih memperkuat perintah penangkapan terhadap Netanyahu.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Tangkap Netanyahu".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus