Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kekerasan meningkat di Palestina dalam beberapa bulan terakhir.
Pemukim Israel menyerang penduduk Palestina secara brutal.
Israel diminta mengakhiri pendudukan atas wilayah Palestina.
TENTARA Israel menari bersama para pemukim Yahudi dan memutar musik keras-keras di jalan-jalan sebuah desa Palestina di Huwara, Tepi Barat, pada Senin malam, 6 Maret lalu. Ini terjadi setelah para pemukim menyerang sebuah keluarga Palestina di sana. Lima anggota keluarga Palestina, termasuk satu orang tua dan seorang bayi, cedera dan dilarikan ke rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pemukim Yahudi juga menyerang penduduk, mobil, dan toko dengan peluru tajam, kapak, batu, dan semprotan merica. Yesh Din, kelompok hak asasi manusia Israel, menyatakan bahwa tentara Israel hadir di sana tapi tidak menghentikan serangan tersebut. Namun militer Israel mengklaim bahwa pasukannya "telah bertindak untuk membubarkan insiden itu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemukim memecahkan jendela mobil dan memukuli saya dengan kapak. Mereka menyemprotkan gas air mata kepada kami semua. Kami tidak bisa membuka mata,” kata Omar Idris, salah satu korban yang memarkir mobilnya di depan toko swalayan ketika serangan terjadi, seperti dikutip Al Jazeera. Bulan Sabit Merah Palestina menyatakan bahwa mereka telah merawat 25 korban lain yang terkena gas air mata tentara Israel di lokasi tersebut.
“Sebuah keluarga selamat dari terorisme pemukim di Huwara—mobil yang mereka tumpangi ditembak oleh pemukim di depan mata, telinga, dan perlindungan tentara pendudukan. Para pembunuh terus melakukan kejahatan mereka selama mereka merasa bisa lolos,” ujar Ibrahim Melhem, juru bicara Kepresidenan Otoritas Palestina, dalam pernyataannya.
Serangan ini terjadi hanya sepekan setelah ratusan pemukim Israel menyerang desa tersebut dan menewaskan seorang warga Palestina, melukai sedikitnya 390 orang, serta membakar lebih dari 30 rumah dan 100 mobil. Serangan ini diduga sebagai balasan terhadap pembunuhan dua pemuda Israel oleh seorang pria Palestina bersenjata di Huwara.
Serangan tersebut disokong para politikus Israel. “Saya pikir desa di Huwara perlu dimusnahkan. Saya pikir negara Israel harus melakukannya,” kata Bezalel Yoel Smotrich, Menteri Keuangan Israel dan politikus sayap kanan pemimpin Partai Zionis Religius, anggota koalisi partai berkuasa pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Zvika Fogel, anggota parlemen dari partai radikal Kekuatan Yahudi, juga menyambut kekerasan para pemukim Yahudi di Huwara. “Seorang teroris muncul dari Huwara—dan Huwara ditutup dan dibakar. Ini yang ingin saya lihat. Itulah satu-satunya cara kita mencapai pencegahan,” ucapnya.
Fogel kini sedang diselidiki oleh kejaksaan dan polisi. Kecaman juga merebak terhadap pernyataan Smotrich. Sejumlah organisasi Yahudi Amerika mendesak pemerintah dan organisasi lain menolak Smotrich hadir di acara mereka. "Tak ada tempat bagi Smotrich di sini," kata mereka dalam surat terbuka sebelum Smotrich berpidato dalam sebuah acara Kerja Sama Pembangunan untuk Israel (DCI), penjamin obligasi Israel di Amerika Serikat.
Francesca Albanese, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai situasi hak asasi manusia di Palestina, juga mengecam pernyataan Smotrich. "Ini pernyataan kekerasan. Kita telah melihat pernyataan itu telah digunakan khususnya untuk memanaskan situasi, seperti menyerang warga Palestina di wilayah pendudukan Israel," ucapnya kepada Tempo pada Rabu, 8 Maret lalu. "Ratusan pemukim Israel diizinkan berkeliaran dengan senjata berat serta meneror dan menyerang secara brutal warga sipil yang tak dapat membela diri."
Pemakaman seseoaran yang dibunuh tentara Israel karena diduga melakukan pembunuhan terhadap dua pemukim Israel di Huwara, di Tepi Barat, 8 Maret 2023. REUTERS/Raneen Sawafta
Al Jazeera mencatat, selama Januari-Februari 2023, lima orang Palestina telah dibunuh oleh pemukim Israel di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat. Sebanyak 67 warga Palestina juga dibunuh oleh tentara Israel. Menurut Albanese, kekerasan yang diderita warga Palestina terus meningkat. Tahun lalu saja 190-250 warga Palestina meninggal, sementara warga Israel yang terbunuh sebanyak 30 orang. Sepanjang tahun lalu, lebih dari 1.000 bangunan sipil, termasuk rumah sakit, juga dihancurkan Israel.
Kekerasan meningkat seiring dengan perluasan permukiman warga Israel di kawasan Palestina, terutama dalam beberapa bulan terakhir. Bentrokan terjadi tak hanya melibatkan warga Palestina dengan tentara Israel, tapi juga dengan pemukim Israel di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat.
Albanese menjelaskan, lebih dari 60 persen wilayah Palestina dikontrol Israel, tapi hanya 1 persen wilayah yang Israel izinkan untuk pembangunan rumah Palestina. Akibatnya, banyak warga Palestina membangun rumah tanpa izin dan Israel kemudian menghancurkan rumah tersebut dengan alasan ilegal.
Kebijakan perluasan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan ini mendorong perlawanan sengit warga Palestina, yang berusaha mengklaim kembali tanah mereka. Namun pemerintahan Benjamin Netanyahu malah mengesahkan sembilan kawasan permukiman baru dan menyetujui pembangunan di kawasan permukiman yang sudah ada pada pertengahan Februari lalu. "Ini misi kita. Ini doktrin kita. Sembilan permukiman ini indah, tapi masih belum cukup. Kita ingin lebih banyak," kata Menteri Keamanan Israel Itamar Ben-Gvir.
Sejumlah negara Barat menolak rencana perluasan permukiman itu. Dalam sebuah pernyataan bersama, Menteri Luar Negeri Prancis, Jerman, Inggris, dan Italia menyatakan "sangat terganggu" oleh rencana itu. “Kami sangat menentang tindakan sepihak yang hanya akan memperburuk ketegangan antara Israel dan Palestina serta merusak upaya mencapai solusi dua negara yang dinegosiasikan,” begitu menurut mereka. Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken juga mengatakan "sangat terganggu" oleh keputusan Israel, tapi tidak memberikan indikasi bahwa Amerika akan mengambil tindakan terhadap Israel.
Bentrokan berdarah antara masyarakat Palestina dan tentara serta pemukim Israel terus meningkat ke skala yang mengkhawatirkan. Hal ini mendorong Amerika, Mesir, dan Yordania memediasi perundingan antara Otoritas Palestina dan Israel di Aqaba, Yordania, pada 26 Februari lalu. Di antara kesepakatan yang dihasilkan adalah bahwa kedua pihak setuju melanjutkan upaya-upaya perdamaian. Israel juga setuju menghentikan rencana pengembangan permukiman baru selama empat bulan dan menghentikan izin pembangunan baru di wilayah pendudukan selama enam bulan. Perundingan lanjutan akan digelar di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada bulan ini.
Tzachi Hanegbi, Direktur Dewan Keamanan Nasional Israel, buru-buru mengklarifikasi hasil pertemuan tersebut. "Berlawanan dengan laporan dan cuitan tentang pertemuan di Yordania, tidak ada perubahan dalam kebijakan Israel. Dalam beberapa bulan mendatang, negara Israel akan mengesahkan sembilan pos terdepan dan menyetujui 9.500 unit rumah baru di Yudea dan Samaria," ujar Hanegbi dalam pernyataannya.
Menurut Francesca Albanese, pembangunan permukiman Israel juga melibatkan aktor swasta, khususnya bisnis Barat. Dia memberi contoh dana yang dibutuhkan untuk membangun permukiman, jaringan pipa air, sistem komunikasi, transportasi, dan lainnya. "Investasi ini datang dari dana pensiun warga Israel. Tapi, pada saat yang sama, investasi itu diterjemahkan sebagai penindasan terhadap warga Palestina di daerah pendudukan."
Dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB pada September tahun lalu, Albanese menegaskan bahwa pembangunan permukiman warga Israel di wilayah pendudukan Israel di Palestina dalam upaya mendirikan "Negara Yahudi" menyebabkan warga Palestina tak dapat mewujudkan hak menentukan nasib mereka sendiri. Kebijakan itu juga melanggar norma hukum internasional dan jelas terlarang dalam hukum internasional. Albanese merekomendasikan pemerintah Israel segera mengakhiri pendudukannya atas wilayah Palestina dan tanpa syarat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo