Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari setahun setelah pasukan Amerika Serikat meninggalkan Irak, nasib Syekh Hassan al-Nasseri dan kaumnya tidak berubah. Pemerintah Irak masih membekukan sebagian besar properti mereka di Desa Al-Owja di pinggiran Tikrit, kota di utara Bagdad. Pasukan keamanan pemerintah terus memantau gerakan mereka.
Sebagai penganut Sunni yang minoritas, nasib mereka berbalik 180 derajat setelah Saddam Hussein—penganut Sunni—digulingkan pasukan Abang Sam dan sekutunya pada satu dekade silam. Pemerintah baru bentukan Amerika dikuasai kelompok Syiah.
Syekh Hassan, kepala suku Nasseri yang mengaku masih kerabat Saddam Hussein, mengatakan, ketika Saddam Hussein berkuasa, mereka hidup berkelimpahan. Tiga dekade di bawah kepemimpinan Saddam, ibu kota Provinsi Salah ad-Din itu berubah dari kota terpencil menjadi bandar yang ramai. Bangunan-bangunan mewah dibangun di tepi Sungai Tigris.
Namanya pun laku dijual. Kala itu, jika bepergian ke Bagdad, orang cukup menyebutkan nama Syekh Hassan untuk memperoleh pelayanan istimewa di toko-toko, mendapatkan meja terbaik di restoran, serta meraih posisi empuk di kepolisian dan militer.
Setelah rezim Saddam Hussein tumbang, semua keistimewaan itu berakhir. Kotanya porak-poranda oleh serangan Amerika. Kini Syekh Hassan seperti hantu yang menakutkan bagi warga Bagdad. Penduduk akan menutup pintu rapat-rapat jika mendengar namanya. Pria 62 tahun yang dulu memimpin pasukan beranggotakan 7.000 orang itu mengatakan kini mereka kerap dilecehkan pasukan keamanan.
"Ada 50 anggota keluarga kami dibui. Mungkin saat ini salah seorang dari mereka sedang disiksa," ujarnya kepada The Sunday Telegraph di ruang pertemuan suku Nasseri di Al-Owja, Ahad pekan lalu.
Syekh Hassan mengatakan dunia mencap Saddam Hussein sebagai diktator yang menyokong terorisme. Namun, kata dia, pemerintah Irak sekarang tidak lebih baik darinya. Paling tidak Saddam membangun daerahnya dan menjamin keamanan Tikrit. "Amerika dan Inggris berjanji membuat semuanya lebih baik, tapi sepuluh tahun kemudian semua masih kacau," ujarnya.
Amerika Serikat dan sekutunya menyerbu Irak pada 20 Maret 2003. Meski dikecam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika dibantu Inggris, Australia, dan Polandia mengerahkan 200 ribu serdadu untuk menggempur Irak. Serangan dengan kode Operasi Pembebasan Irak itu berdalih melucuti senjata pemusnah massal, tapi yang terjadi kemudian adalah pemakzulan Saddam dari takhta.
Penyerbuan berlangsung hingga 1 Mei 2003. Saat itu, Presiden Amerika Serikat George W. Bush mengatakan misi sudah tercapai. Saddam baru bisa ditangkap pada 13 Desember 2003 di lubang persembunyiannya di Tikrit dan dihukum gantung tiga tahun kemudian.
Setelah terpilih menjadi Presiden Amerika pada 2009, Barack Obama berjanji mengakhiri perang Irak. Janji itu diwujudkan dengan menarik seluruh pasukannya dari Irak hingga 18 Desember 2011. Hingga perang yang menghabiskan dana sekitar US$ 1 triliun ini berakhir, senjata pemusnah massal itu tidak pernah ditemukan.
Kini, setelah pasukan dari seberang lautan itu pulang, tidak ada perubahan berarti di Irak. Konflik sektarian makin luas, pengeboman menggila, dan nyawa terus berjatuhan. Lebih dari 4.000 nyawa melayang sia-sia dalam setahun terakhir.
Negeri 1.001 Malam itu belum menggeliat untuk bangkit. Berbagai bangunan yang hancur akibat perang belum dibangun kembali. Rabu pekan lalu, bertepatan dengan peringatan sepuluh tahun penyerbuan Amerika ke Irak, gelombang serangan bom di Bagdad, Kazimiyah, dan Kota Sadr menewaskan 61 orang. Seperti dilansir Reuters, kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaidah—Negara Islam Irak (ISI)—mengaku bertanggung jawab.
Sejak invasi Amerika, lebih dari 200 ribu nyawa melayang. Kelompok pemantau Iraq Body Count mencatat, tahun lalu saja tidak kurang dari 4.400 orang tewas dalam berbagai konflik.
Aksi kekerasan itu menjadi bukti bahwa kondisi Irak belum menentu meski rezim Saddam Hussein telah digulingkan. Pekan lalu tembok-tembok beton masih mengepung sejumlah bangunan yang porak-poranda akibat perang di Kota Bagdad. Lempengan dari beton itu juga tampak membatasi jalan-jalan utama di ibu kota Irak tersebut.
Ada berbagai macam lukisan menghiasi permukaan tembok-tembok tersebut—termasuk peta negara Irak, pepohonan, dan bunga-bungaan. Namun lukisan dengan aneka warna cerah itu tak mampu menghapus trauma penduduk Irak akibat pendudukan Amerika Serikat.
Kelompok Sunni, yang berjumlah sepertiga dari 33 juta penduduk, kini bangkit melawan pemerintah. Mereka mendirikan kamp di Fallujah, kota yang dikenal sebagai "kuburan bagi tentara Amerika". Setiap Jumat, puluhan ribu orang turun ke jalan di sejumlah kota, termasuk Bagdad, dengan mengibarkan bendera Irak di era Saddam Hussein—bendera tiga warna, merah-putih-hitam, dengan tiga bintang hijau di bagian berwarna putih. Kalimat "Allahu akbar" dalam huruf Arab tertera di antara bintang-bintang itu. Di bendera yang baru, tiga bintang itu dihilangkan.
Tidak seperti gerakan di negara-negara Arab lain yang dipimpin anak muda dan memanfaatkan jejaring sosial, gerakan di Irak dipimpin para orang tua bekas anggota Partai Ba'ath, partainya Saddam.
Mereka menuding pemerintah Irak sekarang tak lebih baik daripada Amerika. Perdana Menteri Nuri al-Maliki dituding bersikap sektarian, otoriter, dan toleran terhadap korupsi. Dia dianggap lebih memihak kelompok Syiah ketimbang Sunni. Para pengunjuk rasa meminta Al-Maliki memperlakukan warga Sunni setara dengan kelompok lain. "Ini aksi protes yang damai dan beradab untuk menuntut hak-hak kami," kata anggota parlemen dari kelompok Sunni, Hamid Obaid al-Mutlaq.
Dukungan pun mengalir dari pejabat tinggi dari kelompok Sunni. Menteri Keuangan Rafie al-Issawi kerap ikut berunjuk rasa. Awal Maret lalu, dia mundur dari kabinet setelah merasa gerakan Sunni ini membesar. Al-Issawi mengatakan tidak bisa lagi bekerja bagi pemerintah yang tidak menghargai rakyatnya yang bukan dari kelompok Syiah.
Gerakan ini juga didukung Wakil Presiden dan Ketua Dewan Komando Revolusioner Irak pada era Saddam Hussein, Izzat Ibrahim al-Douri. Setelah invasi Amerika, Al-Douri masuk daftar 55 orang Irak yang dicari dan kepalanya dihargai US$ 1 juta.
Konflik sektarian di pemerintahan Maliki sudah lama berlangsung. Wakil Perdana Menteri Tariq Hashemi, yang juga seorang Sunni, meninggalkan Irak pada Desember 2011. Dia diadili secara in absentia dengan dakwaan terlibat kegiatan terorisme. Namun Hashemi mengatakan dakwaan itu mengada-ada dan sarat muatan politik.
Pakar Timur Tengah dari King's College London, James Denselow, mengatakan Irak harus segera menstabilkan politik dan keamanannya. Menurut dia, meluasnya unjuk rasa di wilayah Sunni dan kekacauan politik berpotensi menjebloskan negara itu ke perang saudara.
"Hari ini Irak terlihat seperti negara zombie yang tak mampu bergerak maju menghadapi setiap persoalan negaranya," ujarnya.
Sapto Yunus (The Telegraph, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo