Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEMBAR kertas terpacak di salah satu pintu gedung Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Terpampang tulisan di lembar itu: “Ruang Guru Besar”. Ada juga daftar nama 16 dosen bergelar profesor yang menghuni ruangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan itu melompong ketika dikunjungi pada Selasa, 4 Juni 2024. Dari 16 guru besar yang berkantor di sana, 13 orang baru dikukuhkan pada pertengahan 2023. ULM sedang memperbanyak jumlah guru besar di kampus. Wakil Rektor ULM Iwan Aflanie menyebutkan rektorat memacu setiap fakultas agar menambah jumlah profesor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Demi menaikkan peringkat kampus dan percepatan menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum,” kata Iwan, dokter spesialis forensik, kepada Tempo, Rabu, 12 Juni 2024. Hingga Mei 2024, ULM sudah memiliki 116 profesor.
Meski demikian, jumlah guru besar itu terancam berkurang. Tim dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sedang menyelidiki kecurangan proses permohonan gelar sebelas guru besar Fakultas Hukum yang baru dilantik. Dua narasumber yang mengetahui proses itu menyebutkan gelar mereka mungkin dicabut karena ditemukan indikasi pelanggaran akademik yang sangat telak.
Temuan itu bermula dari pemeriksaan tim Kementerian Pendidikan terhadap sepuluh guru besar ilmu hukum pada Desember 2023. Mereka menginvestigasi syarat artikel ilmiah yang didaftarkan. Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit 2019 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan mengatur calon guru besar harus melampirkan artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi sebagai syarat permohonan gelar guru besar.
Menurut tiga akademikus yang mencermati pengusutan kasus ULM, ada kesamaan jurnal yang dipakai para guru besar itu. Mereka kompak mengirim artikel ilmiah ke International Journal of Cyber Criminology (IJCC) dan International Journal of Criminal Justice Sciences (IJCJS). Sebagian artikel bahkan ditulis bersama-sama.
Situs resmi IJCC dan IJCJS menampilkan informasi yang berkaitan mengenai profil penerbit. IJCC menunjukkan penerbit lamanya adalah Karuppannan Jaishankar, kriminolog asal India. Adapun IJCJS melampirkan nama South Asian Society of Criminology and Victimology sebagai penerbit lamanya. Jaishankar menjabat presiden di organisasi tersebut. Sedangkan penerbit baru kedua jurnal itu adalah H&N Publishers Limited di Kota Solihull, Inggris, yang dimiliki warga Indonesia, Nira Hariyatie.
Dihubungi melalui pesan WhatsApp pada akhir Mei 2024, Jaishankar menyebutkan sudah tak lagi menjabat editor serta penerbit jurnal itu. Dia menyarankan mengecek situs resmi IJCC dan IJCJS. “Jurnal-jurnal saya sudah diberikan ke grup lain sekitar dua tahun lalu,” kata lulusan program doktor University of Madras, India, itu.
Jaishankar mengklaim tak punya hubungan dengan akademikus asal Indonesia. Dia menduga perusahaan yang mengambil alih jurnalnya telah mengoper kepemilikan ke warga Indonesia. Jaishankar juga mengklaim jurnalnya punya reputasi.
Tim Kementerian Pendidikan kembali ke Jakarta tanpa temuan berarti pada saat pemeriksaan pertama. Namun mereka curiga artikel para guru besar ULM itu merupakan hasil perusahaan paper mill yang lazim memproduksi jurnal bodong. Indikasi artikel paper mill adalah adanya kepastian tulisan dimuat dan tawaran jasa menulis.
Tim Kementerian Pendidikan kembali ke Banjarmasin pada pekan terakhir Maret 2024. Targetnya spesifik: memeriksa korespondensi antara para calon guru besar dan redaksi jurnal. Dokumen korespondensi itu biasanya berupa salinan surat elektronik sejak artikel didaftarkan sampai keluar keputusan pemuatan.
Seorang akademikus ULM dan dosen di lingkaran Kementerian Pendidikan yang mengetahui penyelidikan itu bercerita, belasan guru besar Fakultas Hukum diperiksa bergantian sejak pukul 8 pagi sampai pukul 2 dinihari.
Menurut narasumber yang sama, para profesor diminta membawa laptop pribadi lantas membuka kotak masuk surat elektronik. Pada momen inilah para dosen kelabakan. Akademikus yang mendengar cerita pemeriksaan itu menyebutkan tak ada satu pun guru besar yang bisa menunjukkan bukti korespondensi. Ada yang mengaku komputernya rusak dan lupa kata kunci surat elektroniknya.
Meski begitu, tim Kementerian Pendidikan bisa membuktikan dokumen korespondensi para dosen ULM direkayasa. Tempo memperoleh salinan korespondensi abal-abal itu. Salah satunya antara Rahmida Erliyani dan penyunting International Journal of Cyber Criminology.
Pada halaman pertama dokumen terlihat keanehan karena tercantum tulisan “Universitas Lambung Mangkurat, Karawang, Indonesia”. Ada logo Gmail juga di sana, padahal akun Rahmida menggunakan peladen kampus: @ulm.ac.id. Format dan cara penulisan badan surat juga mirip dengan milik dosen lain. Penutup surat pun tak menerakan nama terang redaksi, hanya stempel “Editor-in-Chief”.
Dihubungi pada Jumat, 7 Juni 2024, Rahmida berjanji memberikan tanggapan tertulis. Namun dia memberi kabar sedang tak enak badan tiga hari kemudian. “Jika sudah sehat, saya jawab,” ujarnya. Jawaban itu tak pernah dikirim hingga Jumat, 5 Juli 2024.
Setelah artikel ini terbit, Rahmida menjelaskan bahwa dia mengirim artikel ke IJCC atas saran koleganya di Fakultas Hukum ULM. Dia membayar sekitar Rp 36,5 juta untuk penerbitan dan penerjemahan artikel ke bahasa Inggris. Namun asesor Kementerian Pendidikan menolak artikel yang diterbitkan di jurnal tersebut. "Alasannya, jurnal sudah discontinued," kata Rahmida lewat pesan WhatsApp pada Ahad, 7 Juli 2024.
Rahmida mengajukan sanggahan ke Kementerian Pendidikan karena merasa IJCC belum discontinued. Dia mengirim klarifikasi dua kali sampai kemudian dinyatakan lolos menjadi guru besar. Ihwal kejanggalan bukti korespondensi dengan penerbit IJCC, Rahmida mengaku berkas surat korespondensi diurus staf dekanat Fakultas Hukum, Muhammad Rizki Anugerah. "Dia yang membantu saya soal penerbitan artikel, memberi tahu jurnal yang discontinued atau belum," tuturnya.
Tiga akademikus dalam pemeriksaan ULM menyebutkan staf dekanat Fakultas Hukum bernama Muhammad Rizki Anugerah diduga memalsukan bukti korespondensi. Karena itu, dia ikut diperiksa dalam investigasi Kementerian Pendidikan yang kedua.
Sepanjang 3-9 Juni 2024, Tempo berupaya meminta tanggapan dari para guru besar Fakultas Hukum ULM. Sebelas dosen yang diperiksa tim Kementerian Pendidikan tak merespons panggilan telepon. Begitu pun staf dekanat bernama Rizki. Surat permohonan wawancara juga dikirimkan ke kantor Dekan Fakultas Hukum Achmad Faishal. Mereka tak memberi tanggapan hingga Jumat, 5 Juli 2024.
Pada Selasa, 4 Juni 2024, Tempo berserobok dengan Djoni Sumardi Gozali dan Anang Shophan Tornado, dua dari sebelas guru besar ULM yang diperiksa tim Kementerian Pendidikan. Mereka langsung menghindar ketika ditodong wawancara. Sambil mengibaskan tangan, Djoni berkata, “Sama Dekan saja, saya menolak berkomentar.” Anang langsung mempercepat langkah menuju area parkir mobil. “Saya enggak berani berkomentar," tuturnya.
Ada pengakuan lain yang diperoleh tim Kementerian Pendidikan pada sesi pemeriksaan kedua. Seorang narasumber yang mengetahui proses itu menyebutkan beberapa dosen mengaku mengeluarkan duit Rp 70-130 juta selama mengurus permohonan gelar guru besar. Duit itu ditengarai disetor ke Persekutuan Komanditer (CV) Intellectual Edge Consultancy.
Gedung dekanat Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 4 Juni 2024. Tempo/Praga Utama
Akta perusahaan mencatat Intellectual didaftarkan ke notaris pada 2019. Mereka mendeklarasikan diri sebagai perusahaan di bidang penelitian, jasa boga, sampai percetakan. Nira Hariyatie berstatus sekutu aktif, sementara Nisyriina Nur Aribbah menjadi sekutu pasif. Perusahaan ini tak mencantumkan aset apa pun dalam akta perusahaan.
Intellectual ditengarai menjadi agen penerbitan artikel ilmiah para dosen ULM. Nira juga terdaftar sebagai anggota direksi H&N Publishers Limited yang menerbitkan International Journal of Cyber Criminology dan International Journal of Criminal Justice Sciences.
Tempo berupaya menghubungi Nira melalui nomor seluler dengan kode negara Inggris, mengirim surat elektronik, mendatangi kantor Intellectual di Banjarmasin, dan bertanya kepada Muhammad Haseeb—kolega Nira di H&N Publishers. Namun tak ada respons dari Nira hingga Jumat, 5 Juli 2024.
Tak cukup manipulasi korespondensi jurnal. Seorang narasumber di dalam kampus ULM bercerita, ada dokumen rekomendasi dari senat universitas yang direkayasa. Tanda tangan digital Ketua Senat ULM Muhammad Hadin Muhjad yang terdapat dalam dokumen itu dipakai tanpa izin pemiliknya. Dalam pengajuan calon guru besar, persetujuan senat universitas diperlukan agar permohonan kenaikan jabatan akademik bisa diproses.
Hadin membenarkan kabar bahwa tanda tangannya dipakai tanpa izin. Dia mengaku baru mengetahui ada surat rekomendasi senat universitas ketika ikut diperiksa tim Kementerian Pendidikan pada investigasi tahap kedua. “Padahal saya dan anggota senat yang lain tidak tahu ada pengajuan guru besar dari Fakultas Hukum," ujarnya di Banjarmasin, Selasa, 4 Juni 2024.
Pemeriksaan para guru besar ULM belum tuntas. Pada pekan kedua Juni 2024, Kementerian Pendidikan bersurat kepada Rektor ULM Ahmad agar membentuk tim pemeriksa internal atas kasus pengajuan calon guru besar Fakultas Hukum.
Wakil Rektor ULM Iwan Aflanie membenarkan adanya warkat dari pusat. Dia mengklaim tim internal kampus punya target mengkonfirmasi temuan Kementerian Pendidikan. “Kami berhati-hati menyikapi kasus ini sehingga tim yang dibentuk nanti akan bekerja sesuai dengan keadilan dan aturan,” kata Iwan.
Namun Kementerian Pendidikan menyiapkan jalan keluar lain. Tempo membaca surat bernomor registrasi 0461/E/DT.04.01/2024. Layang itu bertajuk “Tindak Lanjut Integritas Perguruan Tinggi Universitas Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan”. Warkat itu berisi delapan poin rekomendasi penanganan skandal gelar guru besar di ULM.
Layang itu memuat sanksi pencopotan jabatan akademik guru besar terhadap sebelas dosen Fakultas Hukum ULM. Para profesor itu juga diminta mengembalikan tunjangan sertifikasi dan tunjangan jabatan fungsional.
Rektor ULM pun diperintahkan menjatuhkan sanksi disiplin terhadap ketua dan anggota senat universitas. Staf dekanat Fakultas Hukum, Muhammad Rizki Anugerah, tak luput dari hukuman. Kementerian Pendidikan meminta Rektor ULM memecat Rizki.
Direktur Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Lukman memastikan surat rekomendasi itu ada. “Jabatan mereka diturunkan dari guru besar ke lektor kepala,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Bawah Ancaman Pencabutan"