Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penanganan sampah tak masuk pelayanan dasar yang harus disediakan pemerintah.
Sampah merugikan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Investasi penanganan sampah butuh Rp 30 triliun per tahun hingga 2025.
MENURUT Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018, ada enam jenis pelayanan minimal yang harus disediakan pemerintah bagi warga negara, yakni pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketenteraman (ketertiban umum dan pelindungan masyarakat), dan sosial. Peraturan ini absen memasukkan produk buangan kegiatan masyarakat sebagai kewajiban pemerintah dalam menyediakan pelayanan dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan wujudnya, produk buangan berupa limbah suara, cair, gas, dan limbah padat. Saat ini limbah padat menjadi isu yang terkait dengan sampah plastik. Dalam hampir satu dekade terakhir, Indonesia selalu masuk daftar negara penghasil sampah plastik terbesar yang masuk ke lautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Kementerian Perindustrian pada 2022 menunjukkan produksi plastik di Indonesia lebih dari 8 juta ton. Divisi Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Comtrade) mencatat selama 2022 sebanyak 56 ribu ton sampah impor masuk ke Indonesia. Sementara itu, sampah plastik yang diekspor hanya 8.600 ton. Timpangnya neraca ini membuat jumlah sampah plastik Indonesia menggunung. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan jumlah sampah plastik 2022 sebanyak 11,6 juta ton, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 7,5 juta ton.
Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut mengestimasi jumlah sampah yang bocor ke lingkungan perairan pada 2021 sebesar 407 ribu ton, turun 15,3 persen dari data dasar 2018 sebanyak 615 ribu ton. Meski turun, kebocoran sampah plastik ke laut Indonesia tersebut sangat besar, mengingat lautan Indonesia amat penting secara ekologi. Bahkan, secara ekonomi, sampah plastik mengurangi potensi ekonomi lautan Indonesia—secara langsung ataupun tidak langsung—senilai Rp 250 triliun per tahun.
Jika sampah merugikan secara ekonomi, mengapa kita tak kunjung bisa menanganinya? Secara alamiah, makin banyak jumlah penduduk, makin tinggi konsumsi masyarakat, makin banyak pula timbulan sampah. Di tengah serbuan sampah dari hari ke hari itu, paradigma kita masih "kumpulkan, angkut, dan buang sampah". Padahal banyak kajian menyatakan hampir semua tempat pembuangan akhir sampah di Indonesia tak akan bisa menampung jumlahnya. Layanan pengumpulan sampah di Indonesia pada 2020 baru 56 persen. Problem ini bertambah ruwet karena kapasitas kelembagaan dan pendanaan pengelolaan sampah masih rendah.
Menurut regulasi, ujung tombak pengelolaan sampah adalah pemerintah kabupaten dan kota. Akibatnya, pengelolaan sampah bergantung pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Rata-rata APBD pengelolaan sampah masih kurang dari 1 persen, jauh dari angka ideal 3-4 persen. Hanya ada beberapa daerah yang memiliki porsi pengelolaan sampah lebih dari 5 persen, itu pun terbatas di kota besar yang melayani pengumpulan sampah lebih dari 80 persen.
Angka itu berbanding terbalik dengan produk domestik bruto Indonesia yang meningkat 10 kali lipat dari US$ 10 juta pada 1990 menjadi US$ 104 juta pada 2018. Kenaikan itu juga tak sebanding dengan perubahan kesadaran masyarakat dalam mengurangi sampah. Belum ada perubahan pola pikir dalam melihat sampah di tiap individu.
Agar sampah menjadi tanggung jawab bersama, pemerintah perlu memasukkannya ke pelayanan dasar dalam standar pelayanan minimal. Sebab, sampah terkait langsung dengan kesehatan masyarakat, pekerjaan umum, dan ketenteraman. Memasukkan sampah ke pelayanan minimal setidaknya bisa meningkatkan kemitraan masyarakat dan swasta yang berujung pada iklim investasi yang kondusif.
Mengelola sampah jelas butuh investasi. Jika iklim investasi pengelolaan sampah dipayungi oleh regulasi dan diimplementasikan pemerintah daerah serta didukung pola pikir masyarakat yang menilai sampah adalah harta karun, bukan tidak mungkin sampah plastik akan berkurang dan menjadi sumber penghasilan baru.
Penghitungannya sederhana. Jika regulasi mendukung peningkatan layanan pengumpulan sampah dari 56 persen menjadi 80 persen, sampah plastik yang mencemari lingkungan diperkirakan berkurang hingga lebih dari 55 persen. Jika ditambahkan dengan implementasi 25 unit materials recovery facility (MRF) dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dari Program Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas (Extended Producer Responsibility atau EPR), kebocoran sampah plastik bisa tertangani setidaknya 12,63 persen.
Untuk mewujudkan target-target itu, perlu investasi Rp 16-30 triliun hingga 2025. Investasi sebesar itu ditujukan untuk meningkatkan 19 persen layanan pengumpulan sampah dan membuat 25 unit MRF dan TPST. Jika dibandingkan dengan kerugian yang mungkin timbul akibat sampah plastik yang masuk ke lautan, angka investasi itu jauh lebih kecil.
Selain itu, regulasi dan kebijakan pengelolaan sampah perlu menetapkan secara lebih jelas mana jenis plastik yang harus dikurangi lebih dulu. Plastik sekali pakai merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Studi Badan Riset dan Inovasi Nasional tahun 2022 menemukan jumlah sampah plastik sekali pakai (seperti plastik fleksibel untuk saset, kantong plastik, pembungkus makanan, botol dan plastik gelas) paling banyak mencemari perairan dan pantai.
Studi itu juga menemukan data menarik bahwa makin jauh dari Jawa, sampah plastik yang bisa didaur ulang jauh lebih banyak. Ini menunjukkan industri sampah daur ulang masih terpusat di Jawa sehingga sampah di luar pulau ini belum termanfaatkan. Fakta ini bisa mendorong kebijakan pemerintah mendistribusikan industri sampah ke semua wilayah Indonesia.
Kebijakan mendorong industri daur ulang sampah tetap perlu diiringi dengan pemahaman area yang tepat untuk membangun industri tersebut. Pemahaman termasuk menghubungkan perilaku masyarakat setempat untuk mendorong kehidupan sosial ekonomi mereka. Intervensi ini perlu diadopsi secara luas oleh publik dan diselaraskan dengan ekonomi sirkuler untuk mengurangi polusi plastik yang selaras dengan perjanjian mengurangi sampah plastik PBB (UN Plastic Treaty) yang didukung 175 negara pada 2024.
Solusi lain ada di hulu, yakni mendorong industri memproduksi jenis plastik yang mudah didaur ulang. Saat ini baru plastik jenis polietilena tereftalat (PET), yang umumnya menjadi bahan dasar botol air minum kemasan, yang bisa diolah kembali. Banyak jenis plastik yang kini dibuat industri belum bisa didaur ulang secara sempurna sehingga menyurutkan minat tumbuh industri daur ulang.
Perlu ada rencana jangka panjang dan penelitian mendalam untuk mengganti bahan dasar plastik sekali pakai menjadi jenis khusus. Salah satunya plastik berbahan polipropilena (PP) yang sifatnya mirip dengan PET sehingga mudah didaur ulang secara sempurna ke bentuk semula. Rencana ini secara implisit telah ada pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019. Namun regulasi ini baru efektif per 1 Januari 2030.
Jika dalam jangka panjang plastik sekali pakai dapat ditransformasi menjadi jenis daur ulang sempurna, sampah plastik yang bocor ke lingkungan bisa dikurangi secara drastis sesuai dengan tujuan mencapai ekonomi sirkuler 2040. Dengan begitu, sampah yang merugikan lingkungan dan ekonomi bisa diubah menjadi menguntungkan secara lingkungan dan ekonomi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo