Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Apa Saja Risiko Hak Pengelolaan Tanah Ulayat

Setidaknya ada tiga risiko dalam pemberian hak pengelolaan lahan atas tanah ulayat kepada masyarakat adat. Apa saja?

19 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA Oktober 2023, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyerahkan langsung sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) di atas tanah ulayat kepada masyarakat adat di Sumatera Barat dan Papua. Di Sumatera Barat, sertifikat diberikan kepada tiga kerapatan adat nagari, sedangkan di Papua kepada satu suku. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Kementerian Agraria, pemberian sertifikat HPL di atas tanah ulayat bertujuan mencapai tiga tujuan sekaligus: pemenuhan target 126 juta bidang tanah terdaftar sebelum 2025, pemberian perlindungan dan kepastian hukum atas tanah ulayat, serta membuat tanah ulayat menjadi produktif. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk tujuan ketiga, Kementerian memungut inspirasi pemikiran dari buku The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails in Everywhere Else (2000) yang ditulis ekonom tersohor Peru, Hernando de Soto. Kementerian meyakini legalisasi tanah ulayat yang sebelumnya berstatus ekstralegal akan membuatnya memiliki nilai kolateral sehingga bisa bergabung ke dalam pasar. 

Landasan hukum hak pengelolaan tanah ulayat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 yang menjadi peraturan turunannya. Kedua peraturan ini dibuat sebagai aturan teknis Undang-Undang Cipta Kerja. 

Masalahnya, Undang-Undang Cipta Kerja hanya meneruskan ketentuan yang sudah ada sejak 1965, yakni hak pengelolaan yang diberikan di atas tanah negara. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 menyisipkan norma baru yang tidak ada dalam omnibus law tersebut, yaitu hak pengelolaan bisa diberikan di atas tanah ulayat yang tak lagi digolongkan sebagai tanah negara. Karena itu, norma baru ini membuat masyarakat hukum adat yang menjadi pemegang hak ulayat bisa menjadi pemegang hak pengelolaan.

Sebelum ada aturan ini, hak pengelolaan hanya bisa diberikan kepada instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/daerah, dan badan hukum milik negara/daerah. Selain masyarakat adat, lembaga bank tanah bisa menjadi subyek pemegang hak pengelolaan yang baru. 

Saat ini Kementerian Agraria tengah menyiapkan rancangan peraturan menteri mengenai administrasi dan pendaftaran tanah ulayat. Rancangan peraturan ini menyiapkan landasan hukum yang lebih kuat pada norma baru pemberian hak pengelolaan di atas tanah ulayat. Dalam rancangan peraturan itu, masyarakat adat mendapat dua opsi untuk melegalisasi tanah ulayat persekutuan, yaitu dicatatkan dalam daftar tanah ulayat atau dilanjutkan sampai penerbitan hak pengelolaan. Opsi pertama menghasilkan salinan daftar tanah ulayat, sedangkan opsi kedua berupa sertifikat HPL. Secara hukum, keduanya memiliki kekuatan pembuktian yang sama. 

Hukum pertanahan memahami hak pengelolaan sebagai gempilan hak menguasai oleh negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Pokok Agraria melihat hak pengelolaan sebagai hasil pelimpahan hak menguasai oleh negara itu kepada suatu badan penguasa, dalam hal ini pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Dengan begitu, hak pengelolaan adalah hak menguasai oleh negara yang kewenangannya diserahkan kepada pemegangnya.

Sepanjang 1953-1965, peraturan perundang-undangan masih melihat hak pengelolaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari hak penguasaan oleh negara. Karena itu, penggunaannya berorientasi pada kepentingan publik. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, Undang-Undang Pokok Agraria, dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 masih membayangkan hak pengelolaan digunakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas mereka. 

Namun, dalam pelaksanaannya, instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah memaksimalkan peluang yang diberikan hukum, yakni kerja sama dengan pihak ketiga dalam memanfaatkan dan menggunakan tanah yang memiliki hak pengelolaan. Kerja sama itu berupa pemberian hak-hak atas tanah kepada pihak ketiga, seperti hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai. Akibatnya, tanah-tanah hak pengelolaan dikuasai dan digunakan perusahaan untuk membangun pusat belanja, perumahan, dan apartemen. Secara perlahan, orientasi publik dalam penggunaan hak pengelolaan pun bergeser menjadi perolehan keuntungan. 

Pergeseran orientasi hak pengelolaan menjadi bisnis itu mengalami akselerasi ketika rezim Undang-Undang Keuangan dan Perbendaharaan Negara mengatur tanah sebagai aset atau barang milik negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memerintahkan setiap kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah mengintensifkan pendapatan, termasuk melalui pemanfaatan aset negara. 

Pemanfaatan barang milik negara itu bisa diintensifkan dengan cara menyewakan dan meminjam-pakaikannya atau melakukan kerja sama pemanfaatan. Menurut Henki Andora, dalam disertasi “Penguasaan dan Pengelolaan Tanah oleh Instansi Pemerintah” (2019), pergeseran ini terjadi karena hukum perbendaharaan dan keuangan negara melihat tanah bukan lagi semata-mata berfungsi sebagai sarana pendukung pelaksanaan tugas pemerintahan, tapi juga sebagai aset yang bernilai ekonomi. 

Maka hak pengelolaan tanah ulayat pun lahir dengan orientasi keuntungan. Sulit membayangkan perusahaan yang diajak masyarakat adat bekerja sama menggunakan tanah ulayat tanpa memikirkan keuntungan dari pemanfaatannya. Sebagai hal baru bagi masyarakat adat, hak pengelolaan tanah ulayat setidaknya memiliki tiga risiko.

Pertama, masyarakat adat akan bergulat dengan masalah-masalah hukum. Faktor literasi yang masih rendah dalam hal teknis hukum pertanahan dan hukum lain bisa membuat masyarakat adat melanggar hukum tanpa mereka sadari atau disengaja. Pelanggaran-pelanggaran hukum berikut ini sangat mungkin terjadi dalam pemanfaatan hak pengelolaan di atas tanah ulayat.

Yang pertama adalah pemberlakuan tarif dan/atau uang wajib kepada pemegang hak atas tanah yang bertentangan dengan ketetapan Menteri Agraria. Selanjutnya, penerapan aturan adat kepada pemegang hak atas tanah di atas hak pengelolaan yang merugikan para kreditor pemegang hak tanggungan di atas tanah HGU atau HGB. Kemudian, penggunaan dan pemanfaatan hak pengelolaan tanpa kepemilikan HGU, HGB, atau hak pakai oleh masyarakat adat. Yang terakhir, penggunaan dan pemanfaatan hak pengelolaan tanah ulayat melanggar ketentuan tata ruang. Pelanggaran-pelanggaran tersebut bisa mengakibatkan hilangnya hak pengelolaan. Yang lebih buruk, sengketa pertanahan bisa terjadi.

Kedua, keuntungan penggunaan dan pemanfaatan hak pengelolaan lewat skema kerja sama akan lebih banyak dirasakan pihak ketiga. Campur tangan pihak ketiga jamak terjadi pada hak pengelolaan lahan milik instansi pemerintah. Pihak ketiga menyewakan, menjual, dan mengagunkan tanah hak pengelolaan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemegang hak pengelolaannya. Karena itu, hak pengelolaan tanah ulayat akan membuat masyarakat adat sulit memantau perbuatan-perbuatan hukum pihak ketiga yang keuntungannya tidak hanya dirasakan oleh pihak ketiga. 

Ketiga, keharusan masyarakat adat pemegang hak pengelolaan melakukan penyesuaian-penyesuaian sosial dan budaya agar cocok dengan tuntutan hak pengelolaan. Selama ini masyarakat adat menghadapi dilema dalam meminta pengakuan legal atas tanah-tanah mereka. Di satu sisi, hak pengelolaan akan membuat mereka memperoleh manfaat karena negara mengakui tanah-tanah ulayat. Di sisi lain, ini bisa membuat identitas budaya memudar dan kemampuan menyelenggarakan urusan sendiri (self-governing capacity) berdasarkan hukum adat menjadi lemah. 

Untuk mencegah tiga risiko pemberian hak pengelolaan di atas tanah ulayat tersebut, pemerintah harus menyiapkan dan melakukan langkah-langkah serius. Perlu ada proteksi melalui kebijakan yang lebih rigid untuk melindungi masyarakat adat agar tak inferior dalam relasi kuasa kepentingan bisnis yang semata-mata mementingkan keuntungan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Risiko Hak Pengelolaan Tanah Ulayat"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus