Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NADA bicara Jonriflus meledak-ledak sewaktu dia diminta menjelaskan asal-usul sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) di atas tanah ulayat Kerapatan Adat Nagari Sungai Kamuyang, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sertifikat untuk tanah adat seluas 37 hektare itu pada 9 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai tokoh adat bergelar Datuak Tambagindo, Jonriflus merasa tak pernah mendapatkan pemberitahuan atau sosialisasi dari pemerintah mengenai pemberian sertifikat tersebut. “Coba lihat, tidak ada rekomendasi dari kami agar tanah itu diukur untuk disertifikasi. Kenapa tiba-tiba keluar HPL?” kata laki-laki 65 tahun itu sembari menunjukkan dokumen pendampingan pengukuran tapal batas tanah adat, Kamis, 9 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jonriflus adalah ketua tim tapal batas tanah ulayat yang mewakili Nagari atau Desa Sungai Kamuyang. Dia mengungkapkan, Kementerian Agraria datang memberitahukan akan ada pendataan tanah ulayat Nagari Sungai Kamuyang karena akan menjadi proyek rintisan Kementerian Agraria. “Tak ada omongan soal sertifikat,” ujarnya.
Jonriflus dan para tokoh adat menyepakati progr am pendataan tanah ulayat. Dia mengungkapkan, terdaftarnya tanah ulayat di BPN bisa mencegah perusahaan atau individu berupaya mengambilnya. Dia pun bersedia memimpin tim adat untuk mengukur tata batas dan luas tanah ulayat nagarinya.
Ia mengukur patok batas tanah ulayat Nagari Sungai Kamuyang bersama dosen Universitas Andalas, Padang, dan BPN pada 22-24 Juli lalu. Ia menyerahkan hasilnya kepada pemerintah nagari atau desa. Sejak saat itu, Jonriflus tak pernah menerima kabar ihwal kelanjutan proyek pendataan tersebut.
Kebun Masyarakat di Tanah Ulayat Nagari Sungai Kamuyang yang mendapat sertifikat HPL dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara, 7 November 2023/Tempo./ Fachri Hamzah
Dua bulan kemudian, atau 9 Oktober lalu, ia menerima kabar bahwa BPN membagikan sertifikat HPL tanah ulayat kepada tiga nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota. Selain Nagari Sungai Kamuyang, masyarakat adat yang menerima sertifikat HPL adalah Kerapatan Adat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu di Lima Puluh Kota serta Kerapatan Adat Nagari Sungayang di Tanah Datar.
Jasril Datuak Sutan Maliputi, tokoh adat Nagari Sungai Kamuyang yang lain, juga merasa tertipu oleh proyek itu. Sama seperti Jonriflus, dia semula mendukung pendataan tanah ulayat dari BPN. “Tapi, begitu keluar sertifikat HPL, saya orang pertama yang menolak,” tutur Jasril.
Para tokoh adat tengah menyiapkan petisi penolakan atas penerbitan sertifikat HPL itu kepada Kementerian Agraria. Saat ini telah terkumpul 200 tanda tangan dari anggota masyarakat Nagari Sungai Kamuyang yang menolak sertifikat itu. “Kami masih meminta tanda tangan penduduk lain,” ucap Jasril.
Jasril mengatakan pemberian sertifikat HPL ditolak karena membuka pintu bagi investor menggarap tanah ulayat. Di kalangan masyarakat nagari, beredar kabar sudah ada beberapa perusahaan yang hendak berinvestasi di tanah ulayat mereka. Menurut dia, hal ini membuka luka lama ketika sebuah perusahaan berusaha mengambil tanah ulayat mereka pada 1965. “Kami hanya butuh kedamaian mengelola tanah ulayat kami,” katanya.
Lebih dari 200 keluarga di Nagari Sungai Kamuyang menggantungkan hidup pada tanah ulayat. Mereka bertani palawija, berkebun, serta beternak di lahan itu. Pengaturannya tunduk pada peraturan Nagari Sungai Kamuyang sejak 2003. Setiap keluarga boleh menggarap seperempat hektare lahan dengan membayar kontribusi Rp 35 ribu per tahun kepada pemerintah nagari.
Adrianto salah satu penggarapnya. Berkat menggarap tanah ulayat, ia bisa menyekolahkan dua anaknya hingga mereka meraih gelar sarjana. Ketika ditanya soal HPL tanah ulayat, Adrianto malah bingung. Ia mengaku belum pernah mendengar secara langsung dari pemerintah tentang nasib tanah ulayatnya setelah mendapat sertifikat, termasuk risiko-risikonya. “Kami tidak ingin lagi menjadi pekerja di tanah sendiri,” ujarnya.
Isral, Kepala Desa Sungai Kamuyang, mengatakan dia tak menyangka pendataan pada Juli lalu itu menghasilkan sertifikat. “Saya tanya ke BPN apakah tanah yang mendapatkan HPL itu berubah menjadi tanah negara? Apakah jika habis masa sertifikatnya tanah itu akan diambil negara? Mereka bilang tidak,” tuturnya.
Jawaban dari BPN ini membuat Isral agak tenang. Bagi dia, yang terpenting tanah ulayat tercatat dan terdata sehingga tidak bisa diambil alih oleh pihak ketiga yang menjalin kerja sama. Namun Isral tetap cemas karena belum melihat aturannya. Apalagi sudah lama ia dan masyarakat Sungai Kamuyang tak meminta sertifikat. Mereka hanya meminta pengakuan negara sebagai pemilik tanah ulayat tersebut.
Lain lagi cerita dari nagari sebelah Sungai Kamuyang. Nofrizal, Wali Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu, menyetujui sertifikasi tanah ulayat di nagarinya dengan harapan menghentikan konflik tanah di wilayahnya.
Berbeda dengan Sungai Kamuyang, tanah ulayat di Sikabu-kabu didominasi pohon pinus. Nofrizal mengatakan penebangan liar kerap terjadi di tanah ulayat ini. Pemerintah nagari sudah berusaha menyelesaikan pembalakan liar itu, tapi tak mempan. “Kalau ada sertifikat, kami bisa tegas menindak illegal logging karena ancamannya pidana,” ujarnya.
Di Tanah Datar, Sumatera Barat, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto bercerita, ide pemberian sertifikat HPL tanah ulayat bermula dari perintah Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan sengketa tanah adat. Tiga bulan kemudian, Bupati Tanah Datar Eka Putra juga datang ke kantornya mengeluhkan hal yang sama. “Sekarang saya di sini menyerahkan sertifikat HPL tanah ulayat masyarakat hukum adat,” tutur Hadi pada 10 Oktober lalu.
Direktur Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat Universitas Andalas Kurnia Warman membela pemerintah. Ia mengatakan sertifikasi tanah ulayat tidak akan merampas hak masyarakat adat sebagai pemilik. Program itu, dia menerangkan, bertujuan melindungi tanah ulayat nagari dengan pendataan di BPN.
Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat Universitas Andalas merupakan motor utama program sertifikasi HPL di atas tanah ulayat. Kurnia mengatakan dia terlibat dalam proyek ini karena lebih dari 300 nagari di Sumatera Barat tak memiliki tanah ulayat lagi setelah statusnya berubah menjadi tanah hak guna usaha (HGU). “Begitu HGU habis, tanah ulayat akan kembali kepada negara,” kata Kurnia.
Dengan adanya HPL, Kurnia menambahkan, perusahaan yang memanfaatkan tanah ulayat tidak hanya berurusan dengan negara ketika mengurus HGU, tapi juga berhubungan dengan masyarakat adat yang memiliki sertifikat HPL. “Seandainya perusahaan bermasalah, masyarakat bisa menuntut berdasarkan perjanjian awal,” ucapnya.
Kurnia mengatakan dasar pemberian HPL di atas tanah ulayat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Dengan HPL, dia menjelaskan, tanah ulayat tidak bisa diperjualbelikan. “Saya menjamin pemberian HPL sangat minim konflik karena semuanya sudah ada aturannya,” tutur Kurnia.
Senada dengan Kurnia, Kepala Kantor BPN Wilayah Sumatera Barat Sri Puspita Dewi mengatakan pemberian sertifikat HPL adalah bentuk pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dan bertujuan mengurangi potensi sengketa pertanahan. Selain itu, tujuannya adalah meningkatkan indeks kemudahan berinvestasi.
Ia mengatakan penerbitan HPL sesuai dengan prosedur, seperti disertai dengan sosialisasi kepada pemerintah daerah, nagari, dan masyarakat adat. Kemudian obyek tanah tidak dalam sengketa atau berada dalam kawasan hutan serta sesuai dengan rencana tata ruang wilayah pemerintah. “Penerbitan HPL tidak akan mengkonversi tanah ulayat menjadi tanah negara,” Sri Puspita menegaskan.
Namun Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang Indira Suryani punya pandangan lain. Menurut dia, sertifikat HPL di tanah ulayat bukan pengakuan negara terhadap masyarakat adat atas tanah adat tersebut. Dengan begitu, HPL seperti mendudukkan masyarakat sebagai peminjam tanah kepada negara. “Tanah ulayat tidak perlu sertifikat,” katanya.
Kementerian Agraria juga memberikan sertifikat HPL di atas tanah ulayat kepada masyarakat Sawoi seluas 699,7 hektare di Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua. Sama seperti di Sumatera Barat, Menteri Agraria Hadi Tjahjanto yang langsung memberikan sertifikat itu kepada perwakilan masyarakat adat Sawoi.
Agus Dwi, staf Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang mendampingi masyarakat adat Sawoi, mengatakan tak ada rencana pemberian sertifikat tanah ulayat sewaktu BPN menggelar sosialisasi pada awal proyek ini. Dia baru mengetahui ada sertifikat setelah Kementerian Agraria menerbitkannya. “Dulu sosialisasinya skema pendaftaran tanah ulayat,” ucap Agus, Selasa,14 November lalu.
Agus sempat terlibat dalam proses tersebut. Ia mewakili BRWA dalam Gugus Tugas Masyarakat Adat Pemerintah Kabupaten Jayapura. Agus menemani tim BPN mengukur tapal batas tanah ulayat Sawoi. BRWA tak dilibatkan lagi seusai pengukuran itu. “Mungkin karena kami tidak sepakat dengan sertifikasi,” katanya.
Masyarakat adat Sawoi, Agus menjelaskan, juga waswas terhadap motif di balik pemberian sertifikat HPL di atas tanah ulayat mereka. Masyarakat adat khawatir, begitu tanah ulayat mereka memiliki sertifikat, penduduk adat wajib membayar pajak. “Orang BPN bilang tidak akan dikenai pajak,” tutur Agus.
Kepala Kantor BPN Wilayah Papua Roy Eduard Fabian Wayoi memastikan tanah ulayat yang bersertifikat HPL tidak akan dikenai pajak selama dikelola masyarakat. Pajak akan mulai berlaku jika pemanfaatan lahan itu dikerjasamakan secara bisnis dengan pihak ketiga. “Investor yang membayar pajaknya,” ucapnya.
Selain melindungi tanah masyarakat adat, Roy mengatakan, tujuan pemberian HPL adalah membuka keran ekonomi. Masyarakat adat bisa bekerja sama dengan investor melalui penerbitan HGU di atas HPL. “Kalau masa berlaku HGU habis, status kepemilikannya kembali kepada masyarakat adat,” ujarnya. Roy mendapat informasi bahwa sudah ada perusahaan kelapa sawit yang hendak berinvestasi di tanah ulayat Sawoi.
Penyerahan sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat oleh Menteri ATR/ Kepala BPN Hadi Tjahjanto kepada masyarakat hukum adat Sawoi, Papua, 17 Oktober 2023/Antara/HO-Humas Kementerian ATR/BPN
Dosen Departemen Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, mengatakan jika bertujuan membuat tanah ulayat produktif, skema sertifikat tak diperlukan. Menurut dia, tanpa sertifikat pun masyarakat adat sudah bisa mengolah tanah ulayat mereka. Lagi pula, dia menambahkan, dasar pemberian HPL di atas tanah ulayat keliru.
Yance mengungkapkan, HPL di atas tanah ulayat diatur Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Aturan tersebut merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, dia melanjutkan, masalahnya tak ada aturan tentang HPL di atas tanah ulayat dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Sebab, omnibus law ini hanya mengatur HPL di tanah negara. Sejak Mahkamah Konstitusi memisahkan tanah adat dengan tanah negara pada 2012, tanah-tanah ulayat tak lagi masuk kawasan tanah negara.
Yance bahkan menilai HPL tanah ulayat salah arah. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1961, Yance menerangkan, HPL tak didefinisikan sebagai hak atas tanah, melainkan bentuk penguasaan pemerintah atas bidang tanah. Pemerintah Orde Baru memberikan bentuk penguasaan itu melalui sertifikat HPL. “Logika keliru ini jadi alas pemberian sertifikat tanah ulayat sekarang,” ujar Yance.
Tenaga ahli perundang-undangan Kementerian Agraria, Nurul Fajri, juga setuju dengan Yance. Bahkan, menurut Nurul, pemberian HPL di atas tanah ulayat pelan-pelan menghilangkan hak masyarakat adat. “HGU dalam Undang-Undang Cipta Kerja bisa berlaku sampai 95 tahun,” katanya.
Menteri Agraria Hadi Tjahjanto tak merespons pesan yang dikirim Tempo via telepon. Begitu juga Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Raja Juli Antoni. Namun, pada 11 Oktober lalu, Menteri Hadi mengatakan pemberian HPL adalah salah satu cara menyelesaikan konflik agraria, termasuk di tanah ulayat. “Ini pertama kali negara menyerahkan sertifikat di tanah ulayat,” ucapnya.
Meski dikritik sana-sini, Kementerian Agraria tak menggubrisnya. Kepala Kantor BPN Wilayah Sumatera Barat Sri Puspita Dewi menantang mereka yang mengkritik kebijakan pemberian HPL tanah ulayat. “Bila mereka keberatan, silakan gugat ke pengadilan,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fachri Hamzah dari Padang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Waswas Sertifikat Tanah Ulayat"