Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN pemerintah memberikan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) di atas tanah ulayat kepada masyarakat adat menyimpan bom waktu. Selain sarat kepentingan investor, kebijakan tersebut rawan memicu konflik horizontal di masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto memberikan sertifikat HPL atas lahan seluas 107.714 meter persegi kepada empat suku di Sumatera Barat pada 10 Oktober lalu. Sertifikat serupa diberikan pada 17 Oktober kepada masyarakat hukum adat Sawoi di Jayapura, Papua, untuk lahan seluas 699,7 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berdalih sertifikasi tanah ulayat itu bertujuan menjamin kepastian hukum serta memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat adat. Dengan memiliki sertifikat, masyarakat adat bisa memperoleh manfaat ekonomi, misalnya melalui kerja sama dengan investor untuk mengelola lahannya.
Dalih manfaat ekonomi ini mudah dibaca sebagai kepentingan investasi. Dasar hukum pemberian sertifikat HPL atas tanah adat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Regulasi ini diklaim sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja, meskipun omnibus law itu hanya mengatur HPL di tanah negara, yang tak mencakup tanah adat.
Masalah pada kebijakan sertifikasi ini berkaitan dengan hak pengaturan atas lahan. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 menyebutkan kewenangan mengeluarkan sertifikat berada di tangan menteri. Dengan menerbitkan sertifikat HPL untuk tanah ulayat, pemerintah secara tidak langsung mengambil alih kewenangan pengelolaan hak atas tanah dari masyarakat adat.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, penguasaan dan pengelolaan tanah adat—termasuk ulayat—seharusnya berada di luar kewenangan negara. Ketentuan ini dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menyatakan hutan adat berada di wilayah adat, bukan di kawasan hutan negara.
Perjuangan masyarakat adat selama ini bukan untuk mendapatkan sertifikat HPL, melainkan pengakuan negara atas tanah adat. Faktanya, penetapan hutan atau tanah adat oleh negara masih jauh dari harapan. Sampai Oktober 2023, luas lahan yang ditetapkan sebagai hutan adat baru 244 ribu hektare dari 21,3 juta hektare wilayah adat yang didata oleh lembaga independen Badan Registrasi Wilayah Adat.
Pembukaan kerja sama dengan investor juga rawan memicu konflik sesama anggota masyarakat adat. Konflik bisa dipicu perselisihan tentang siapa yang mewakili masyarakat adat untuk menjalin kerja sama dengan investor. Konflik juga bisa dipicu pembagian keuntungan yang tidak adil di antara sesama masyarakat adat. Sekali terjadi “main mata” antara tokoh adat tertentu dan investor, bara konflik agraria jenis baru akan segera menyala.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria, setidaknya 2.710 konflik agraria terjadi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemicunya kebanyakan keputusan pemerintah yang sewenang-wenang memberikan konsesi kepada pengusaha di area tanah adat. Selama ini, pihak yang berkonflik umumnya masyarakat adat dengan pengusaha yang didukung penguasa. Kelak, benturan keras sangat mungkin terjadi sesama masyarakat adat sendiri.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bom Waktu Sertifikasi Tanah Ulayat"