Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beban pengelolaan abu terbang dan abu dasar (FABA) kalangan industri pengguna energi batu bara yang melatari penghapusan FABA dari daftar limbah B3
FABA bukan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3): Pemerintah dianggap berpihak pada kepentingan industri dan abai terhadap persoalan lingkungan dan kesehatan.
Meski tak lagi berstatus limbah B3, FABA harus ditimbun dan tidak boleh dibuang begitu saja.
SEBUAH truk menggendong material di area Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah, Selasa, 25 Mei lalu. Bodi truk yang bongsor berjalan limbung ke arah timbunan material berwarna hitam tak jauh dari pembangkit unit 5 dan 6. Di atas lapangan seluas 22 hektare itu truk berhenti, lalu menumpahkan seluruh muatannya. Lahan itu merupakan tempat penampungan abu hasil pembakaran batu bara. “Tahun 2026 mungkin sudah penuh,” ujar Grahita Muhammad, Asisten Manajer Komunikasi PLTU Tanjung Jati B, kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang-orang mengenal material itu dengan sebutan FABA, akronim dari fly ash-bottom ash. Fly ash atau abu terbang adalah debu halus yang ditangkap menggunakan teknologi electrostatic precipitator sebelum dikeluarkan dari cerobong asap PLTU. Alat pengendap elektrostatis itu bekerja menggunakan motor bertegangan yang menghasilkan medan magnet untuk menangkap partikel debu. Material ini dibedakan dengan abu sisa pembakaran batu bara yang mengendap atau dikenal dengan sebutan bottom ash. Kedua material ini dulu tergolong limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status FABA sebagai limbah B3 berubah sejak Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 pada 2 Februari 2021. Aturan itu antara lain mengeluarkan FABA dari daftar limbah B3. Salah satu dasar pertimbangannya adalah kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap sejumlah PLTU pada 2020. Menurut studi itu, FABA yang dihasilkan dari pembakaran dengan suhu di atas 600 derajat Celsius tidak bisa dikategorikan limbah B3 lantaran memenuhi parameter baku mutu. Hasil uji toksikologi juga menyatakan FABA berada di ambang batas aman.
Peraturan menteri yang menjadi aturan pelaksana peraturan pemerintah tersebut selesai digodok Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada awal Juni lalu. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2021 itu memberikan panduan teknis tentang tata cara dan persyaratan pengelolaan limbah B3 dan non-B3. “Peraturan menteri soal itu sudah diproses bagian hukum,” ucap Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup Rosa Vivien Ratnawati. Vivien membenarkan informasi bahwa FABA dari PLTU tak lagi masuk kategori limbah B3.
Aktivis lingkungan hidup Walhi bersama aktor pantomim melakukan aksi menolak penggunaan energi kotor batubara industr,i yang oleh pemerintah dihapus dari daftar kategori berbahaya di Dago, Bandung, Jawa Barat, 22 April 2021./TEMPO/Prima Mulia
FABA PLTU, kata Vivien, dianggap tak berbahaya lantaran dihasilkan dengan temperatur pembakaran setinggi mungkin, minimal 800 derajat Celcius, sehingga partikulat dalam limbah tersebut terbilang minimal. Material ini masuk kategori fly ash (kode N106) dan bottom ash (kode N107). FABA jenis ini berbeda dengan FABA yang dihasilkan dari boiler yang menggunakan teknologi chain grate stocker atau tungku pembakaran yang masih mengandung logam berat lantaran limbah belum terbakar sempurna. Dalam Lampiran IX Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, FABA ini memiliki kode B409 dan B410.
Meski FABA tak lagi berstatus limbah B3, tutur Grahita, pengelolaannya di PLTU Tanjung Jati B masih mengacu pada aturan sebelumnya (Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014). Seluruh material itu ditumpuk di sebuah area setara dengan luas 15 lapangan sepak bola. Setiap material yang datang akan dipadatkan dengan kendaraan berat. Gundukan yang sudah mencapai ketinggian 7 meter lalu ditutup plastik tebal agar tak beterbangan saat tertiup angin. Lahan seluas 22 hektare yang dikelola saat ini, Grahita menambahkan, adalah lokasi buangan (landfill) kedua. Lokasi itu dibuka setelah tempat penimbunan pertama seluas 12 hektare terisi penuh.
Menurut Grahita, PT Central Java Power selaku operator PLTU Tanjung Jati B terpaksa membuka lahan penimbunan baru lantaran angka pemanfaatan FABA untuk industri terus menurun. Pada 2016, dia menjelaskan, sekitar 60 persen FABA diserap sejumlah industri. Jumlah permintaan menurun menjadi 45 persen pada 2017, lantas menyusut lagi ke angka 30 persen pada 2018-2019. Industri pemanfaat utama FABA adalah pabrik semen. Fly ash dianggap sebagai material campuran yang baik karena kaya akan silika. Masalahnya, kebutuhan industri tak sebesar jumlah yang dihasilkan produsen FABA.
Minimnya permintaan FABA berdampak pada beban operasional pelaku industri pengguna batu bara. Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menjelaskan, beban itu terlihat dari keharusan mereka menyediakan lahan penimbunan yang sesuai dengan spesifikasi teknis serta menyiapkan sumber daya dan sarana pendukung. Sebagian operator PLTU lain terpaksa menggandeng pihak ketiga untuk mengirim dan mengelola limbah mereka di luar area pembangkit. “Ini membutuhkan investasi tersendiri,” ujarnya.
APLSI adalah satu dari sejumlah pelaku industri yang memberikan masukan kepada pemerintah seputar penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021. Menurut Arthur, peraturan tersebut adalah bagian dari Undang-Undang Cipta Kerja yang semangatnya menyederhanakan proses bisnis, mendukung kepastian hukum, dan meningkatkan investasi. Ia mendukung sikap pemerintah yang mengeluarkan FABA dari daftar B3. Konsekuensi aturan itu, FABA tak lagi bisa dianggap sebagai masalah lingkungan. “Justru bisa memberikan manfaat jika digunakan untuk campuran material lain,” tuturnya.
Arthur menerangkan, sekitar 10 persen dari 155 juta ton batu bara yang dikonsumsi industri dalam negeri pada 2020 menghasilkan FABA. Selama ini, dia menambahkan, pemanfaatan FABA untuk campuran material hanya mampu menyerap 2 persen dari total produksi FABA. Sebanyak 98 persen sisanya wajib mereka kelola sendiri. Arthur enggan membeberkan berapa banyak biaya pengelolaan FABA. Kalaupun ada potensi bisnis lewat pemanfaatan ulang material tersebut, jumlahnya terbilang minor. “Skala ekonominya kecil. Fokus bisnis kita bukan di situ,” ucapnya.
Sejumlah PLTU, kata Arthur, cenderung memanfaatkan produk olahan FABA sebagai pemenuhan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan. Masyarakat di sekitar area PLTU diberi bantuan material bangunan yang berasal dari campuran FABA secara cuma-cuma. Tapi tak semua operator PLTU tertarik merambah teknik pengelolaan itu, seperti yang dilakukan manajemen PLTU Cirebon, Jawa Barat. “Kami tidak menampung, semuanya kami kirim ke pabrik semen,” ujar Head of Communications PT Cirebon Energi Prasarana—operator PLTU Cirebon—Yuda Panjaitan.
PT Sumber Segara Primadaya, operator PLTU Cilacap, menggandeng PT Solusi Bangun Indonesia, anak perusahaan Semen Indonesia, untuk keperluan sarana pengangkutan dan pengelolaan limbah FABA. “Dikelola pihak ketiga,” tutur Sarjoko, anggota staf bagian tanggung jawab sosial perusahaan PT Sumber Segara Primadaya. PLTU Cilacap dulu mengelola FABA dengan cara menimbunnya di area PLTU yang berbatasan dengan muara Sungai Serayu. Namun cara itu mereka tinggalkan setelah warga sekitar melancarkan protes besar-besaran akibat pencemaran dari FABA pada 2018.
Pekerja membuat paving berbahan fly ash dan bottom ash atau FABA di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati B Jepara, Jawa Tengah. 25 Mei 2021/Tempo/JAMAL A. NASHR
Sengkarut seputar pengelolaan FABA tak hanya dialami industri pengguna energi batu bara. PT Prasadha Pamunah Limbah Industri selaku perusahaan pengelola limbah juga mulai dihantui masalah keterbatasan lahan. Lahan seluas 60 hektare yang mereka gunakan sejak 1994 sebagai pusat instalasi pengelolaan limbah di Cileungsi, Jawa Barat, kini mulai menyusut. “Okupasi lahan sudah mencapai 70 persen. Kami sedang mencari lahan baru karena lokasi ini diperkirakan tak bisa digunakan 10 tahun lagi,” ucap Public Relations Manager PT Prasadha, Arum Tri Pusposari.
Menurut Arum, perusahaannya mengelola sekitar 1.000 ton FABA dari berbagai industri setiap tahun. Selama ini, timbunan FABA mereka padatkan di atas lahan yang dilapisi lapisan kedap air. Timbunan limbah yang mencapai ketinggian 10 meter lalu mereka tutup dengan tanah. Di atasnya mereka tanami pohon untuk penghijauan. Manajemen perusahaan mendesain saluran khusus untuk menangkap aliran air hujan yang tercampur dengan timbunan limbah. Air yang berasal dari timbunan itu harus melewati proses penjernihan sebelum dibuang ke saluran sungai terdekat.
•••
RESTU menghapus abu terbang dan abu dasar dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun tak lepas dari campur tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menjelang penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, sebuah kajian kilat mereka buat. Yang menjadi fokus kajian adalah pencegahan potensi korupsi dan efektivitas tata kelola limbah FABA. Kajian itu berujung pada kesimpulan bahwa biaya pengelolaan FABA yang mencapai Rp 3-4 triliun membuka potensi korupsi di kalangan pelaku industri ataupun regulator. “Aturan itu punya banyak kelemahan,” ujar Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Menurut Pahala, banyak pelaku industri yang kucing-kucingan dengan petugas agar terhindar dari tingginya beban pengelolaan FABA. Padahal, kata Pahala, komponen biaya itu bisa dihapus dan berdampak pada penghematan biaya operasional. Ia mencontohkan kebijakan di Amerika Serikat, Australia, Cina, dan sejumlah negara di Eropa yang tidak mencantumkan FABA dalam daftar limbah B3. Di negara-negara tersebut, FABA bahkan sudah lama dimanfaatkan sebagai campuran bahan baku material untuk pembuatan beton pembatas jalan, paving block, atau batako.
Inisiatif pemanfaatan itu sebenarnya sudah dirintis sejumlah operator pembangkit listrik tenaga uap. Di PLTU Tanjung Jati B, misalnya, timbunan FABA diolah untuk pembuatan beton pracetak, batako, dan paving block. Batako dan paving block dibuat menggunakan campuran fly ash, bottom ash, semen, dan air. Takarannya 4 kilogram bottom ash dicampur 3 kilogram fly ash dan 3 kilogram semen. Seluruh material itu lalu diadon menggunakan air secukupnya. “Kami sudah memproduksi itu tak lama setelah mendapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup pada 2019,” kata Grahita Muhammad.
Kajian dan rekomendasi KPK yang turut melatari pertimbangan pemerintah menerbitkan peraturan itu menuai kritik Koalisi Bersihkan Indonesia. Koalisi ini didukung sejumlah lembaga masyarakat sipil pemerhati lingkungan, seperti Indonesian Center for Environmental Law, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Juru bicara Koalisi Bersihkan Indonesia, Margaretha Quina, menilai kajian KPK itu mengidap sesat pikir. “Jika di situ ada potensi korupsi, semestinya diberantas, bukan aturannya yang dihapus,” tuturnya.
Menurut dia, negara seperti Amerika Serikat memang tak mencantumkan FABA dalam daftar limbah B3. Namun tata kelola material itu tak ubahnya seperti tata kelola limbah beracun. FABA tak bisa begitu saja dijadikan bahan campuran material. Material berbahaya bisa digunakan hanya setelah dinyatakan lolos uji toksikologi. Quina menilai perubahan aturan itu semata bertujuan mengakomodasi kepentingan kalangan pengusaha. “Keberpihakan negara terhadap penyelamatan lingkungan dan kesehatan sama sekali tak disinggung di isu itu,” ucapnya.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Dwi Sawung punya anggapan serupa. Menurut dia, pencabutan FABA dari daftar B3 mencerminkan rendahnya dukungan pemerintah Indonesia terhadap penyelamatan lingkungan. Dampak buruk pemanfaatan batu bara dan limbahnya sudah banyak diulas pakar. Kandungan logam berat dalam batu bara, seperti merkuri, timbal, kromium, arsenik, dan mangan, dapat membahayakan kesehatan. “Setidaknya ada 16 unsur logam berat dalam batu bara,” kata Sawung.
Basel Convention Regional Center for Southeast Asia pernah melakukan riset terhadap struktur batu bara dan kandungan FABA sejumlah PLTU di Indonesia. Penelitian pada Desember 2017 itu mendapatkan temuan yang cukup mengejutkan mengenai kandungan merkuri sebelum dan sesudah pembakaran batu bara. Di PLTU Cirebon, misalnya, kandungan merkuri dalam gas buang terpantau 8,06 persen, sekitar 3,75 persen tercampur dalam fly ash dan 0,66 persen dalam bottom ash. “Sekitar 87 persen lainnya tidak jelas ada di mana,” ujarnya.
Rosa Vivien Ratnawati menepis anggapan itu. Menurut dia, keputusan mengeluarkan FABA dari daftar B3 berangkat dari kajian yang matang serta sudah mempertimbangkan standar baku mutu lingkungan dan kesehatan. Indonesia juga berencana mengadopsi teknik pengelolaan limbah negara lain. Di Amerika Serikat, kata dia, pemanfaatan FABA diatur lewat ketentuan khusus yang mewajibkan pemanfaatan secara optimal. Sisa FABA yang tak lagi digunakan harus ditimbun dengan persyaratan teknis yang tidak boleh mencemari lingkungan.
Vivien menjelaskan, FABA yang tidak termanfaatkan dapat ditimbun di atas area landfill kelas III. Pengelolanya harus memastikan koefisien permeabilitas tanah dan melakukan rekayasa geologi sehingga kecepatan rembesan air mencapai 10-5 sentimeter per detik. Air lindi harus dikontrol agar tetap memenuhi baku mutu lingkungan. Pemerintah pun mewajibkan mereka membuat catatan dan laporan secara berkala. “Kegiatan penyimpanan juga harus memenuhi syarat teknis. Jadi, walaupun bukan B3, bukan berarti boleh dibuang begitu saja,” tuturnya.
RIKY FERDIANTO, JAMAL A. NASHR (JEPARA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo