Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua pejabat ASEAN bertemu Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Langkah ASEAN dalam merespon krisis di Myanmar dinilai lamban.
Pemerintah tandinggan Myanmar meragukan kemampuan ASEAN dalam menghadapi junta.
KEKECEWAAN para demonstran di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, terhadap Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) meluap. Lebih dari 30 anggota Asosiasi Pelajar Kota Mandalay, termasuk sejumlah mahasiswa University of Medicine, menggelar unjuk rasa sehari setelah pertemuan perwakilan ASEAN dan pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, di Nyapyidaw pada Jumat, 4 Juni lalu. Para demonstran bahkan menginjak-injak dan membakar bendera ASEAN sebagai tanda protes terhadap organisasi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para demonstran mengkritik ASEAN yang tak juga punya sikap tegas terhadap junta militer. Dengan bertemu Aung Hlaing, ASEAN dianggap malah melegitimasi junta. Seorang pelajar, seperti dilaporkan Nikkei Asia, menyebut para penentang junta akan terus berjuang untuk merebut kemerdekaan mereka “tanpa menunggu bantuan dari ASEAN atau Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salai Maung Taing San, juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah tandingan junta, mengatakan pertemuan para pejabat ASEAN dengan Aung Hlaing hanya akan dijadikan bahan propaganda oleh junta militer. Menurut dokter Sasa, sapaan akrab Salai Maung, NUG menghargai langkah ASEAN membantu menyelesaikan krisis di Myanmar. Namun Menteri Kerja Sama Internasional NUG itu menyayangkan sikap ASEAN yang tak juga melakukan komunikasi resmi dan terbuka dengan NUG. “Setiap diskusi tentang masa depan Myanmar harus melibatkan suara warga Myanmar,” ujar Sasa kepada Tempo pada Senin, 7 Juni lalu. “Kami adalah perwakilan rakyat Myanmar.”
Kisruh politik setelah kudeta militer pada 1 Februari lalu berkembang menjadi krisis kemanusiaan setelah aparat keamanan Myanmar menggunakan kekerasan dalam menghadapi para penentang junta. Laporan organisasi sipil Myanmar, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, menyebut lebih dari 800 orang tewas akibat kekerasan yang dilakukan tentara dan polisi. Tentara juga terus menggelar operasi militer dan serangan udara di beberapa wilayah. Ratusan ribu penduduk tercerai-berai dan terpaksa mengungsi.
Perwakilan ASEAN yang bertemu Ming Aung Hlaing itu adalah Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi dan Ketua Perkumpulan Menteri Luar Negeri ASEAN Erywan Pehin Yusof. Kedua pejabat dari Brunei Darussalam itu datang untuk menyampaikan nama para kandidat utusan khusus ASEAN ke Myanmar.
Pertemuan itu digelar enam pekan setelah Konferensi Pemimpin ASEAN di Jakarta pada 24 April lalu. Konferensi itu menghasilkan lima poin konsensus untuk menanggulangi krisis di Myanmar, termasuk permintaan menghentikan kekerasan dan penunjukan utusan ASEAN. Erywan Pehin, yang juga Menteri Kedua Luar Negeri Brunei, bahkan meminta agar semua tahanan politik, perempuan, anak-anak, dan orang asing di Myanmar dilepaskan.
Pernyataan Erywan Pehin ini menjadi pernyataan pertama pejabat tinggi ASEAN mengenai tahanan politik. Sebagai organisasi, ASEAN belum pernah meminta hal seperti itu. Adapun pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Singapura sudah mendesak militer Myanmar melepaskan semua tahanan politik, menghentikan kekerasan, dan melakukan dialog untuk menyelesaikan krisis.
Dalam pertemuan di Nyapyidaw, kedua pejabat ASEAN juga meminta junta mematuhi konsensus ASEAN sehingga Myanmar mencapai “solusi damai untuk kepentingan rakyatnya”. Namun kedatangan Erywan dan Lim Jock Hoi ke Nyapyidaw memantik kontroversi. Laporan tentang kunjungan dua pejabat tersebut, yang sempat dipublikasikan di situs Sekretariat ASEAN itu belakangan tak dapat diakses lagi.
ASEAN terus menjadi sorotan karena dinilai lambat merespons krisis Myanmar. Jenderal Aung Hlaing memang hadir dalam pertemuan ASEAN di Jakarta, tapi dia tak juga mematuhi konsensus yang sudah disepakati. Seperti dilaporkan media milik militer, Global New Light of Myanmar, junta tak bisa menerima kunjungan utusan ASEAN sebelum negara itu “stabil”. Junta juga menyebut tak bisa menerapkan lima poin konsensus sebelum ada “stabilitas”.
Pendiri lembaga sipil prodemokrasi Progressive Voice di Myanmar, Khin Ohmar, menyebut ASEAN gagal memenuhi keinginan rakyat Myanmar. ASEAN, menurut Ohmar, malah seperti berpihak kepada junta militer yang telah berkuasa secara ilegal. “Keputusan delegasi ASEAN, yang hanya bertemu dengan junta militer, justru menunjukkan legitimasi terhadapnya dan juga berperan dalam aksi pelanggaran hak asasi manusia selanjutnya di negara ini,” ucapnya.
Krisis Myanmar kembali dibahas para menteri luar negeri ASEAN yang bertemu di Chongqing, Cina, baru-baru ini. Mereka hadir memenuhi undangan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi untuk memperingati 30 tahun hubungan ASEAN dan Cina serta Kerja Sama Lancang-Mekong Ke-6. Dalam konferensi pers setelah pertemuan pada 8 Juni lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan keberhasilan implementasi konsensus membutuhkan komitmen Myanmar, “terutama dari militer”. Menurut Retno, utusan khusus ASEAN harus ditunjuk dan diberi panduan serta akses untuk berkomunikasi dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar.
Menteri Luar Negeri Malaysia Hishamuddin Hussein menyatakan ASEAN harus mengakui bahwa perkembangan penerapan konsensus dalam krisis Myanmar berjalan sangat lambat. “Komunitas internasional menunggu langkah ASEAN selanjutnya,” ucapnya lewat akun Twitter.
Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan menyatakan kecewa atas lambannya progres penyelesaian krisis Myanmar. Menurut dia, banyak warga sipil yang terluka atau terbunuh dan tahanan politik tak juga dilepaskan. “Tak ada sinyal serius untuk melakukan dialog politik dan kerja sama,” ujar Balakrishnan, seperti dilaporkan Channel News Asia.
Dokter Sasa menyebut junta militer telah melakukan kekerasan secara sistematis. Junta dan Jenderal Aung Hlaing, menurut dia, tidak peduli terhadap isi konsensus yang dibuat ASEAN dan sudah disepakatinya. Aparat keamanan terus memburu, menangkap, dan menyerang warga sipil setelah konsensus itu dibuat. Menurut Sasa, setelah pertemuan ASEAN di Jakarta, junta militer malah membunuh ratusan orang dan menangkap sekitar 3.000 warga sipil. “Dia bukan orang yang bisa dipercaya dan para pemimpin ASEAN seharusnya tidak bekerja sama dengannya,” tuturnya.
Menurut Sasa, NUG kerap meminta ASEAN agar melibatkan mereka saat membahas Myanmar. Permintaan itu selalu kandas. Bahkan, saat ASEAN mengundang Aung Hlaing sebagai panglima militer Myanmar ke Jakarta, NUG malah diabaikan. Menurut Sasa, hingga saat ini NUG belum pernah terlibat dalam pembicaraan yang layak dengan ASEAN. “Padahal kami sudah berbicara dengan banyak perwakilan pemerintah di Eropa, Amerika, dan Afrika,” kata Sasa. “Saya tak paham mengapa ASEAN tak juga berbicara dengan kami.”
NUG juga ragu atas kemampuan ASEAN dalam menghadapi junta militer dan menyelesaikan krisis di Myanmar. Wakil Menteri Luar Negeri NUG Moe Zaw Oo mengaku telah sering bertanya kepada ASEAN tentang apa yang akan mereka lakukan jika pemimpin kudeta militer ternyata tak mematuhi konsensus yang sudah disepakati. Pertanyaan itu, menurut Zaw Oo, belum direspons hingga saat ini. “Terus terang, kami tak lagi percaya dan tak berharap banyak dengan kinerja ASEAN,” ujarnya kepada The Irrawaddy. “Tampaknya ASEAN tak punya rencana solid untuk mempertahankan kredibilitasnya.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, RADIO FREE ASIA, MYANMAR NOW, THE GUARDIAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo