Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN terbaru koalisi Forests & Finance cukup menggambarkan sejauh mana dukungan industri jasa keuangan, terutama perbankan, terhadap aksi mitigasi krisis iklim dan keanekaragaman hayati. Dipublikasikan pada 16 Oktober 2024, laporan bertajuk "Banking on Biodiversity Colapse" itu seolah hendak menyebut Perjanjian Paris tak bertaji di mata para bankir. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, kredit bank tak berhenti mengucur dan terus menggelembung ke sektor-sektor yang mendorong deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia di hutan hujan tropis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerintah abai, sementara itu bank-bank dunia terus mendanai perusakan hutan dan pelanggaran HAM tanpa batasan atau konsekuensi apa pun," kata Tom Picken, Direktur Kampanye Forests & Finance.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Forests & Finance merupakan koalisi yang dibangun 10 organisasi masyarakat sipil global, yaitu Rainforest Action Network, TuK Indonesia, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, Friends of the Earth AS, Milieudefensie, dan CED Cameroon. Sejak 2016, koalisi membangun platform data publik untuk memantau pendanaan lembaga keuangan ke sektor usaha yang berisiko memperparah perubahan iklim dan melanggar HAM. Mereka juga mendorong kebijakan di banyak negara untuk mengerem pendanaan dari lembaga jasa keuangan ke industri yang mengancam hutan dan komunitas lokal.
Namun laporan terbaru Forests & Finance menunjukkan tabiat bank belum berubah. Sepanjang 2016-2024, bank-bank global telah mengucurkan pembiayaan sedikitnya US$ 395 miliar—atau senilai Rp 6.181 triliun dengan kurs Rp 15.650 per dolar AS–ke proyek-proyek pendorong deforestasi. Kredit senilai US$ 77 miliar di antaranya digelontorkan pada periode Januari 2023-Juni 2024.
Kucuran pinjaman tersebut mengalir ke industri penghasil minyak sawit, pulp dan kertas, daging sapi, karet, kedelai, dan kayu. Selama ini, sektor industri penghasil enam komoditas tersebut dinilai bertanggung jawab atas deforestasi, hilangnya biodiversitas, dan pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara, Amerika Latin, serta Afrika Tengah dan Barat.
Bagi Picken dan koleganya di koalisi Forests & Finance, berlanjutnya pendanaan kotor tersebut sungguh memprihatinkan. Pasalnya, komunitas global telah menyepakati Perjanjian Paris 2015 untuk melakukan aksi nyata mengerem laju kenaikan suhu bumi. Dua tahun lalu, egara-negara anggota Konferensi Para Pihak untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP CBD) juga telah menghasilkan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM-GBF) dalam pertemuan di Montreal, Kanada.
Karena itu, Forests & Finance juga meluncurkan laporan terpisah bertajuk "Regulating Finance for Biodiversity" yang berisi hasil penilaian koalisi terhadap GBF. Jeff Conant, Manajer Senior Program Hutan Internasional Friends of the Earth AS, mendesak para pembuat kebijakan untuk menegakkan regulasi keuangan yang lebih ketat. Mereka, kata dia, harus memastikan aliran keuangan dan investasi tidak turut andil terhadap degradasi lingkungan hidup dan pelanggaran HAM.
"Sebaliknya, kebijakan ini harus mendorong transisi yang adil menuju solusi berkelanjutan yang dipimpin masyarakat, yang melindungi ekosistem dan mendukung pembangunan yang berkeadilan,” kata Conant.
Perkebunan kelapa sawit bersebelahan dengan hutan yang terbakar di dekat Banjarmasin, Kalimantan Selatan. REUTERS/Willy Kurniawan
Didominasi Lembaga Keuangan Asal Brasil dan Indonesia
Laporan setebal 117 halaman bakal diluncurkan oleh tim koalisi Forest & Finance pada Senin, 28 Oktober 2024, dalam acara sampingan di Konferensi Para Pihak Ke-16 (COP16) Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) yang sedang berlangsung di Cali, Kolombia, dari 21 Oktober hingga 1 November 2024. “Kami membawa dokumen ini ke sana karena selama ini negara-negara yang berkomitmen dalam pengurangan emisi gas rumah kaca tidak bersungguh-sungguh melakukannya,” kata Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Linda Rosalina pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Fokus penelitian Forests & Finance adalah melihat implementasi atas komitmen negara-negara terhadap Target 14 dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM-GBF) yang diadopsi pada COP15 di Montreal, Kanada pada 2022. “Kami suguhkan temuan kami kepada mereka, tak terkecuali untuk pemerintah Indonesia agar ingat bahwa implementasi atas target-target mereka bermasalah,” kata Linda.
Di COP16 CBD di Kolombia, nantinya, sejawat Linda di Forest & Finance akan melaporkan bahwa negara-negara yang tergabung dalam CBD masih belum serius mengalihkan kebijakan fiskal maupun aktor-aktor perbankan untuk mendanai upaya pengurangan emisi. Mayoritas perbankan di seluruh negara justru masih berfokus mendanai energi kotor. Misalnya di Indonesia, sebagian besar pembiayaan bank-bank diperuntukkan industri perkebunan sawit serta pulp dan kertas.
Menurut Linda, temuan tersebut melenceng dari amanat Target 14 KM-GBF. Target 14 menyatakan bahwa pemerintah perlu mengendalikan arus keuangan dalam memenuhi target menjamin keanekaragaman hayati. Berdasarkan target itu, peneliti memantau dan mengolah data yang berkaitan dengan pendanaan maupun investasi yang mengalir ke 300 produsen atau pedagang di dunia. Penelitian itu berfokus pada pendanaan kepada enam komoditas yang berisiko deforestasi hutan tropis seperti industri daging sapi, minyak kelapa sawit, pabrik bubur kertas, karet, kedelai, dan kayu.
Forest & Finance dalam laporan mereka menemukan bahwa sekitar US$ 286 miliar kredit, atau 72 persen dari total US$ 395 miliar kucuran kredit kotor global, berasal dari bank-bank di Indonesia dan Brasil. Sumbangsih bank asal Brasil mencapai 48 persen dan Indonesia sebesar 10 persen yang dihitung sejak 8 tahun terakhir. Adapun anak usaha bank asing yang beroperasi di Brasil dan Indonesia masing-masing berkontribusi dalam pembiayaan kotor sebesar 9 persen dan 5 persen. Koalisi menilai besarnya persentase kredit kotor di dua negara ini tak terlepas dari peran regulasi dan kebijakan pemerintah yang melonggarkan bagi perbankan untuk membiayai industri yang berisiko merusak lingkungan.
Di Indonesia, menurut Linda, pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan ((OJK) telah menggulirkan Taksonomi Hijau yang kemudian diperbarui dengan istilah Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Di dalamnya memuat peta jalan keuangan berkelanjutan yang mengklasifikasikan daftar kegiatan ekonomi berdasarkan mekanisme penilaian environmental, social, and corporate governance atau ESG.
Klasifikasi tersebut dibuat merujuk pada penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang mendorong pengembangan industri keuangan hijau. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian diamanatkan untuk membangun peta jalan bagi perbankan agar tidak terjerembap ke pembiayaan proyek yang merusak lingkungan. Hal ini juga merupakan bagian dari komitmen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) sesuai Perjanjian Paris 2015.
Masalahnya, sejak 2016 hingga kini, pola pembiayaan lembaga keuangan tak berubah, masih melulu mendanai energi kotor di sektor sawit, bubur kertas, karet, daging, dan industri kayu. Linda mencatat, nilai investasinya mencapai US$ 89,17 miliar pada periode 2016-2024. Dari jumlah tersebut, mayoritas pendanaan perbankan digunakan untuk industri perkebunan kelapa sawit dengan nilai US$ 43,23 miliar dan disusul industri bubur kertas sebesar US$ 36,7 miliar.
Otoritas Jasa Keuangan menggelar Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan tahun 2022 dan Peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia secara daring, 20 Januari 2022. ojk.go.id
Pegiat keuangan berkelanjutan atas ESG Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, menceritakan bahwa kinerja keuangan perbankan tidak mencerminkan amanat untuk membangun keuangan berkelanjutan. Sebab, kata dia, OJK tak tegas dalam menjalankan mekanisme TKBI yang dibuat dalam bentuk klasifikasi skor penilaian berbasis warna. “Misalnya bila perusahaan masuk kategori merah, maka tidak boleh dibiayai oleh lembaga keuangan,” kata Winarni.
Persoalannya, klasifikasi tersebut tidak dijalankan secara tegas oleh OJK. Sebaliknya, Winarni menilai ada upaya untuk mengendurkan penilaian, seperti memberikan klasifikasi hijau terhadap industri pertambangan dengan dalih membantu upaya dalam transisi energi.
Menurut Winarni, OJK dapat memaksa seluruh lembaga keuangan untuk menyusun rencana transisi keuangan. Dengan begitu, lembaga keuangan didorong untuk meninggalkan pembiayaan energi kotor secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang diatur OJK. “Rencana aksi berkelanjutan mesti dibuat dengan memasukkan elemen rencana transisi dan action plan secara mandatory,” kata dia.
Winarni khawatir lemahnya pengaturan terhadap sektor jasa keuangan akan menggerus kepercayaan internasional. Indonesia akan dipandang sebagai negara yang tidak berkomitmen dalam mencapai target pengurangan emisi. Gejala rendahnya kepercayaan global itu sudah tampak dengan banyaknya rencana investasi hijau yang gagal masuk ke Indonesia. “Karena kita tidak bisa meyakinkan sehingga investasi di sektor ESG lari ke negara lain,” ucap Winarni.
Ketua OJK Mahendra Siregar belum merespons upaya konfirmasi Tempo ihwal temuan Forest & Finance dan sejumlah catatan pembiayaan energi kotor yang sampai di forum COP16 CBD. Analis Eksekutif Senior Grup Komunikasi Publik OJK Sekar Putih Djarot menjelaskan bahwa pihaknya sedang meneruskan pesan Tempo ke tim hubungan masyarakat untuk direspons. “Saya sudah bukan juru bicara lagi saat ini, oleh karena itu, untuk pertanyaan akan saya forward ke tim humas kami,” kata Sekar.
Mahendra sebelumnya menjelaskan bahwa lembaganya telah menerbitkan TKBI sebagai upaya transformasi dari Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0. Menurut dia, OJK telah memberikan insentif surat utang yang berlandaskan keberlanjutan serta mendukung peran sektor keuangan dalam upaya transisi energi. Fokusnya adalah pengembangan sektor energi menuju net zero emission dan critical mineral sebagai pendukung.
Suasana The Convention on Biological Diversity - The 16th meeting of the Conference of the Parties (CBD-COP-16) di Cali, Kolombia. Dok. CBD-COP-16
Menunggu Gebrakan dari Forum COP16 Kolombia
Sementara itu, isu sinergi antara isu keanekaragaman hayati dan perubahan iklim mencuat di ajang COP16 CBD yang telah memasuki hari kedua. Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, melaporkan kepada Tempo, bahwa sinergi antara isu keanekaragaman hayati dan iklim ini menjadi agenda utama pada pembahasan di level contact group.
"Sinergi antara biodiversity dan climate ini bahkan ditekankan oleh Presiden COP16, Maria Susana Muhamad González dalam pidato pembukaannya. Dia menekankan, adanya langkah konkrit intuk implementasi KM-GBF, termasuk mengenai adanya sinergi antara biodiversity dan climate," ucap Syahrul melalui WhatsApp, Rabu 23 Oktober 2024.
Menurut Syahrul, pemerintah perlu menghancurkan sekat-sekat antara isu iklim dan keanekaragaman hayati dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekat-sekat ini, kata dia, sebenarnya lebih berkaitan dengan politik ketimbang sains. "Padahal jelas bahwa kedua krisis ini saling terkait," kata dia.
Syahrul memberikan contoh, ketika ekosistem rusak, karbon yang tersimpan terlepas ke atmosfer. Akibatnya terjadi perubahan iklim. "Ketika iklim memburuk, kita kehilangan lebih banyak keanekaragaman hayati karena muncul bencana suhu panas, kekeringan, dan kebakaran."
Dalam konteks Indonesia, Syahrul melanjutkan, perlunya menyingkronkan antara solusi iklim dan keanekaragaman hayati. Yang dimaksudkan Syahrul adalah mengoreksi program biofuel dan biomassa, yang selama ini dianggap sebagai solusi untuk menekan laju pemanasan bumi. Padahal kedua program ini akan mempercepat hilangnya habitat tumbuhan dan satwa liar di Indonesia. Betapa tidak, angka deforestasi di Indonesia dari tahun ke tahun tetap tinggi akibat munculnya konsesi-konsesi baru perkebunan sawit dan hutan tanaman energi.
Seekor orangutan dewasa dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, Mei 2021. https://ksdae.menlhk.go.id/
Agenda lain yang juga mulai memanas pembahasannya di COP16 CBD Kolombia adalah soal mobilisasi sumber daya (resource mobilization). Menurut pantauan Syahrul, delegasi Indonesia belum memberikan pandangannya ihwal mobilisasi sumber daya ini. Menurut dia, topik yang paling didiskusikan adalah soal pembentukan dana khusus keanekaragaman hayati." Diskusi berfokus pada apakah dana baru harus dibentuk pada COP16 ini atau apakah mekanisme yang ada dapat direformasi untuk memenuhi kebutuhan pendanaan keanekaragaman hayati."
Menurut Syahrul, sampai dimulainya COP16, negara-negara maju belum sepenuhnya merealisasi komitmen untuk mendukung pendanaan keanekaragaman hayati bagi negara kurang berkembang, negara pulau kecil, dan negara megabiodiversitas sebesar US$ 20 miliar per tahun yang akan dimulai pada 2025. "Kita memiliki kekurangan sebesar US$ 9,05 miliar pada awal COP16. Kita ingin melihat seberapa banyak dari kekurangan ini yang dapat ditutupi," ujar Syahrul.
Dia menyayangkan sikap 28 negara maju tersebut. Padahal beberapa negara berkembang sudah ada yang berkomitmen untuk melindungi biodiversitas.
Syahrul khawatir jika beberapa negara maju masih menegosiasikan ihwal pendanaan biodiversitas ini sampai mendekati akhir COP16, hal itu akan membuat tidak terpenuhinya target keuangan tersebut. "Jika hal itu terjadi, berisiko menciptakan skenario Aichi 2.0, tidak ada satu pun dari target kerangka kerja keanekaragaman hayati global 2010 (Aichi Biodiversity Target) yang tercapai," tuturnya. "Kita berharap pada akhir COP16 ada kesepakatan lebih lanjut bagaimana negara maju akan memenuhi komitmen ini."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dodi Hidayat dan Agoeng Wijaya berkontribusi dalam laporan ini.