Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kurun tiga bulan mengubah peraturan menteri tentang tumbuhan dan satwa dilindungi.
Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2018 yang memasukkan tiga spesies burung ke daftar dilindungi diganti dengan Peraturan Menteri Nomor 92 Tahun 2018.
Peraturan menteri yang mengeluarkan lima spesies burung dari daftar dilindungi tidak mempertimbangkan rekomendasi LIPI, tapi karena penolakan para penangkar burung untuk kontes.
DIDIN Wahyudin bangga menunjukkan video kegiatannya melepasliarkan burung-burung di Hutan Kota Ranggawulung, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Sabtu, 22 Februari lalu. Didin, yang menjabat koordinator wilayah Jawa Barat V Asosiasi Penangkar Burung Nusantara, ikut menggagas acara itu. Ia mengatakan ada sekitar 250 ekor, termasuk jenis-jenis yang dilindungi, yang dilepasliarkan pada hari itu. “Ada ciung batu, murai Irian, jalak kebo, pleci, kolibri, delimukan manyar, trucukan, dan ciblek,” ujar Didin, Rabu, 26 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelepasliaran burung-burung berkicau piaraan itu, kata Didin, menunjukkan para penangkar burung seperti dirinya peduli lingkungan hidup. Di rumahnya, Didin menangkarkan enam pasang murai batu atau kucica hutan (Kittacincla malabarica) sejak 2016. Juga ada ciblek atau perenjak Jawa (Prinia familiaris) yang baru masuk tangkaran, hwamei atau wambi (Garrulax canorus), dan poksay Hong Kong (Garrulax chinensis). “Biar nanti anak-cucu bisa mendengar kicau burung,” ujarnya soal pelepasan burung-burung piaraan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dody Naga, Koordinator Nasional Asosiasi Penangkar Burung Nusantara (APBN), sudah tiga kali organisasinya melepasliarkan burung. Yang pertama pelepasliaran jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Taman Nasional Bali Barat, Bali, pada 16 Juli 2018. “Pada saat kegiatan itulah tercetus ide dari tokoh Kicau Mania, Teten Masduki, agar dibentuk asosiasi yang mewadahi para penangkar burung,” kata Dody. “Gagasan itu disambut oleh Mahfud Sulaiman, yang menjadi inisiator, dan kemudian menunjuk saya menjadi koordinator nasional Asosiasi Penangkar Burung Nasional.”
Kelahiran APBN itu, Dody menjelaskan, merupakan reaksi atas terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, yang memasukkan tiga spesies burung, yaitu kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), dan jalak suren (Gracupica jalla), sebagai satwa dilindungi. Menurut Dody, mereka menolak terbitnya peraturan itu karena akan menimbulkan birokrasi dan kriminalisasi terhadap para penangkar. “Akibatnya, hobi para penggemar burung akan terhambat,” ucap Dody, yang mengaku memiliki tiga pasang murai batu di rumahnya.
Menurut Dody, maraknya kontes burung berkicau membuat dunia perburungan menggeliat. Dia mencontohkan anak burung murai batu berumur enam bulan yang dulu dihargai Rp 1 juta kini menjadi Rp 2,5 juta per ekor. Kalau yang sudah menjadi burung siap ikut lomba, kata Dody, bisa Rp 20 juta. Adapun pemenang kontes tingkat nasional harga jualnya ada yang sampai Rp 1 miliar. “Kontes burung juga menggerakkan ekonomi rakyat kecil, dari panitia lomba, juri, pedagang, penyewa lahan parkir, sampai perajin sangkar dan aksesori,” tuturnya.
Dody tidak membantah bila survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyatakan populasi ketiga spesies burung berkicau itu sudah sedikit dan sulit ditemui di hutan alias in-situ. Namun, di ex-situ, kata Dody, mereka sudah berhasil menangkarkan burung-burung itu secara massal. “Saya melakukan pendataan, hanya dalam tiga hari, ada 3.500 penangkar burung murai batu. Satu penangkar sebut saja punya sepasang burung,” tuturnya.
Ahli burung Dewi Malia Prawiradilaga dari Pusat Penelitian Biologi LIPI mengatakan perlindungan terhadap ketiga spesies burung itu hanya untuk yang ada di alam dan bukan yang sudah ada di penangkaran. “Kalau di penangkaran, silakan saja. Justru bagus kalau mereka bisa menangkarkan dan nantinya bisa dilepaskan ke alam lagi,” ujarnya. Menurut Dewi, ada pemahaman dari para penangkar burung itu bahwa burung tangkaran mereka akan disamakan dengan burung yang ada di alam liar. “Sebetulnya perlindungan itu untuk membantu mereka juga agar burung-burung tersebut tidak punah di alam,” kata Dewi.
Sebagai otoritas keilmuan, menurut Dewi, LIPI memberikan rekomendasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku otoritas pengelolaan dalam memasukkan atau mengeluarkan spesies dalam daftar dilindungi. “Biasanya kami memprioritaskan spesies endemis dan spesies yang diketahui secara global sudah langka atau yang sudah jarang ditemui walaupun sebarannya luas,” ujarnya. Dewi, yang mewakili LIPI dalam rapat pembahasan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, menyatakan ketiga spesies itu sudah sulit ditemukan di alam sehingga LIPI merekomendasikan adanya perlindungan.
Hasil penelitian LIPI itu diperkuat oleh pengamatan yang dilakukan para pengamat burung di seluruh Indonesia yang menggunakan aplikasi Burungnesia. Menurut Swiss Winasis, pengembang aplikasi berbasis Android, Burungnesia, yang beranggota lebih dari 2.300 pengamat burung, sangat sedikit catatan mengenai tiga jenis burung itu di alam. “Data pengamatan sejak 2016 untuk kucica hutan hanya 14 individu, terakhir teramati pada 2019. Untuk jalak suren ada 3 catatan, terakhir teramati 2019. Cucak rawa tidak pernah ditemukan,” kata Swiss melalui pesan pendek kepada Tempo, Jumat, 28 Februari lalu.
Suer Suryadi, penasihat konservasi dan hukum dari Conservation and Legal Assistance Network, meyakini rekomendasi LIPI itu tidak diperhatikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Terbukti pada 30 Agustus 2018 atau berselang dua bulan setelah menerbitkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2018, Menteri Siti Nurbaya menandatangani Peraturan Menteri Nomor 92 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2018. “Di peraturan itu bukan hanya tiga spesies burung berkicau tersebut yang dikeluarkan dari daftar dilindungi, tapi ditambah dua spesies lagi, yakni anis bentet kecil dan anis bentet Sangihe yang endemis,” ujar Suer.
Menurut Suer, Menteri Lingkungan Hidup lebih mempertimbangkan protes dari para penangkar burung ketimbang rekomendasi LIPI. Ia melihat hal itu dari pasal-pasal yang diselipkan dalam Peraturan Menteri Nomor 92 Tahun 2018 yang merupakan norma baru yang tidak ada di peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. “Pasal 1A ayat 2 menyebutkan khusus untuk burung memperhatikan banyaknya penangkaran, banyaknya pemelihara untuk hobi, dan lomba atau kontes,” kata Suer.
Penambahan norma yang tidak ada di Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 itu, menurut Suer, membuat Peraturan Menteri Nomor 92 Tahun 2018 memiliki persoalan hukum. “Peraturan menteri itu kan hanya bisa mengubah lampiran dari peraturan pemerintah. Kalau mau mengubah norma hukum, seharusnya yang direvisi itu PP Nomor 7 Tahun 1999,” ucap Suer. Ia menambahkan, modus penyisipan norma baru ini membuka peluang bagi pihak-pihak yang lebih kuat untuk mendesak pemerintah mengeluarkan spesies-spesies dari daftar dilindungi.
Kekhawatiran Suer ternyata terbukti. Hanya terpaut empat bulan, Menteri Siti kembali menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 106 Tahun 2018 untuk mengganti Peraturan Menteri Nomor 92 Tahun 2018. “Kali ini yang dikeluarkan dari daftar dilindungi itu sepuluh spesies pohon langka Indonesia. Termasuk yang dikeluarkan itu kayu ulin,” ujar Suer.
Padahal, kata Suer, empat spesies dari sepuluh spesies yang dikeluarkan dari daftar dilindungi itu masuk buku Spesies-spesies Pohon Prioritas Konservasi dan Usulan Strategi Konservasi Nasional 2019-2018 yang disusun LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Forum Pohon Langka Indonesia.
DODY HIDAYAT
Tak Lagi Dilindungi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo