Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN deras semalam suntuk pada awal Juli lalu di Desa Masewo, Sulawesi Tengah, membuat air Sungai Wintunga yang mengalir di sebelah desa meluap. Air itu membawa pelbagai sampah daun, ranting, hingga batang pohon dari hulu yang membuat turbin pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di desa tersebut berhenti berputar. Desa pun gelap gulita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esoknya, di pagi buta, tiga pemuda 20-an tahun datang untuk membersihkan turbin dari pelbagai sampah itu. Butuh setengah jam bagi Rinto, Yohannes, dan Wilfried untuk membersihkan turbin. “Mereka memang bertugas menjaga turbin,” kata Semuel Bodja, Kepala Desa Masewo. Dari pusat desa di Kecamatan Pipikoro, Sigi, itu, PLTMH berjarak 1,5 kilometer di bibir Sungai Wintunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Semuel, 53 tahun, penduduk desa patungan untuk membayar uang bulanan tiga pemuda yang mengurus pembangkit. Pengurus desa mengenakan tarif berbeda untuk alat-alat rumah tangga yang memerlukan tenaga listrik. Iuran untuk satu lampu Rp 2.000 per bulan, sementara penanak nasi, setrika, dan televisi Rp 5.000 sebulan. Pengurus desa mengelola iuran itu untuk pemeliharaan turbin PLTMH.
Kehadiran pembangkit mikrohidro telah mengubah gaya hidup 60 keluarga di desa itu. Penduduk desa membangun pembangkit itu pada 2021 bersama CV Protel Multi Energy, perusahaan asal Cimahi, Jawa Barat. Kapasitasnya 30 ribu watt. Semuel menyisihkan dana desa Rp 800 juta untuk membangun PLTMH hingga selesai.
Semuel mengatakan pembangunan PLTMH memakan waktu hampir setahun karena terhambat pelbagai hal, termasuk masalah distribusi alat dan bahan pembangkit ke Masewo yang sukar dijangkau dengan kendaraan. Desa ini berada di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Letaknya berada di jantung Pulau Sulawesi.
Desa Masewo menjadi pusat kebudayaan masyarakat adat To Kulawi Uma Masewo. Di pengujung 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui hutan adat Masewo seluas 829 hektare.
Desa ini hanya bisa dicapai dengan kendaraan roda dua. Penduduk memodifikasi sepeda motor dengan ban bergerigi karena jalannya tanah berbatu, berlumpur, serta licin jika hujan. Mobil hanya bisa sampai ke Desa Gimpu dengan tiga jam perjalanan dari Palu. Dari desa ini, jarak Desa Masewo masih 60 kilometer, dengan sepeda motor membutuhkan waktu empat jam.
Perjalanan menuju Masewo menembus hutan primer melewati jalan berkelak-kelok, naik-turun, dengan jurang di kiri-kanan yang bersisian dengan Sungai Lariang. Dengan medan seperti itu, alat dan bahan PLTMH yang didatangkan dari Palu baru tiba di Desa Masewo dalam sepuluh hari.
Menurut Semuel, baru separuh listrik PLTMH yang terpakai oleh penduduk desanya. Bersama Karsa Institute, lembaga pendamping masyarakat adat dari Palu, penduduk sedang mencari cara untuk memanfaatkan sisa listrik itu. “Kami berencana menjualnya ke desa lain,” tutur Semuel.
Florensius Bawu, dari Karsa, mengatakan kehidupan masyarakat Masewo berubah sejak ada listrik. Menurut dia, masyarakat Masewo membeli barang-barang elektronik untuk pelbagai keperluan. Dengan listrik, Florensius menjelaskan, banyak pekerjaan sehari-hari yang bisa dikerjakan lebih cepat, seperti menanak nasi untuk bekal ke kebun. Selain belajar membaca dan menulis di sekolah yang dikelola gereja, anak-anak masyarakat adat bisa belajar membaca dan menulis ketika malam.
Sebelum ada listrik, sumber energi di desa itu adalah kayu bakar. Arang bekas pembakaran dipakai sebagai obor penerang jalan jika warga bertamu ke tetangga. Sejak ada listrik, penduduk desa juga melek informasi melalui televisi. Sedikit-banyak mereka mengetahui perkembangan dan kejadian-kejadian di luar desa. “Kami baru merdeka listrik tahun 2022,” ucap Semuel, tersenyum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Masyarakat Adat Merdeka Listrik"