Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti di Pusat Riset Teknologi Penerbangan Badan Riset dan Inovasi Nasional di Rumpin, Bogor, mengembangkan radar apertur sintetis atau SAR.
Sistem SAR untuk pesawat udara nirawak dan pesawat terbang ini memiliki jangkauan hingga 2 kilometer.
Radar apertur sintetis merupakan sensor pengindraan jauh yang dapat beroperasi di segala kondisi.
RUANGAN 3 x 3 meter di lantai dua Hanggar 2 Pusat Riset Teknologi Penerbangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Rumpin, Bogor, Jawa Barat, itu menjadi laboratorium sekaligus bengkel. Di ruangan itu, Farohaji Kurniawan dan koleganya mengembangkan radar apertur sintetis (SAR). Purwarupa perangkat pengindraan jauh atau indraja mutakhir itu telah rampung 85 persen. “Kami me-reverse engineering SAR hasil kerja sama dengan pihak luar negeri,” kata Farohaji, kepala tim pengembangan SAR, pada Rabu, 5 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Farohaji menjelaskan, sistem radar SAR hasil kerja sama dengan pihak asing itu berukuran cukup besar. “Tahun 2020 kami bekerja sama. Pihak luar negeri membuat sebagian sistem, kami membuat sebagian lain, kemudian disatukan dan menjadi SAR skala laboratorium dengan jangkauan 300 meter,” tutur Farohaji, yang meraih gelar doktor bidang pemrosesan informasi dan ilmu komputer dari Chiba University, Jepang, pada 2019. “Pada 2021, kami meningkatkan high power amplifier menjadi 150 watt agar jangkauannya bertambah hingga 2 kilometer,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhir 2022, Farohaji bercerita, tim memutuskan membuat rancang bangun SAR secara mandiri. “Kami mencoba mendesain ulang. Kami bongkar SAR skala laboratorium itu dan mengulik programnya,” tutur Farohaji. “Juga membuat komponen yang bisa menggantikan yang sudah terpasang. Terakhir, dua minggu lalu, kami mengganti komponen intinya, baseband and control unit, dengan yang lebih bagus. Perubahan lain adalah konfigurasi polarisasi yang semula polarimetri tunggal menjadi ganda atau satu keluaran-dua masukan.”
Menurut Farohaji, sistem SAR buatan Rumpin itu akan selesai satu-dua bulan lagi. Namun pengembangannya akan berlanjut untuk membuat SAR itu berukuran kompak dan memiliki konfigurasi polarisasi quad-polarimetry. “Mungkin dimensinya 20 x 20 x 20 sentimeter atau lebih kecil dari mesin pencetak agar muat dimasukkan ke pesawat udara nirawak (PUNA) LSU-05 buatan Lapan atau Wulung buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Bobotnya tak lebih dari 5 kilogram,” ucap Farohaji, yang menerima pendanaan Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju 2022-2023 sebesar Rp 1,2 miliar untuk penelitian SAR ini.
Purwarupa sistem radar apertur sintetis atau SAR yang dikembangkan oleh tim peneliti Pusat Riset Teknologi Penerbangan di Rumpin, Bogor, Jawa Barat. Dok. Pusat Riset Teknologi Penerbangan
Farohaji juga bercita-cita memasangkan SAR tersebut pada pesawat terbang seperti N219 atau Piper Cheyenne yang biasa digunakan dalam teknologi modifikasi cuaca. Karena itu, dia secara khusus mengembangkan antena linier untuk sistem SAR ini yang memiliki pengarah sorot sehingga arah radiasi gelombangnya miring 30-60 derajat. “SAR ini disebut juga side-look radar karena dia harus melihat ke samping, bukan ke bawah seperti kamera,” ujarnya. “Jadi antena bisa menempel di bawah sayap, tapi sorotannya harus miring agar mendapatkan delay untuk membedakan obyek yang disasar.”
Pengembangan SAR mandiri ini, Farohaji menambahkan, sebenarnya berawal dari proyek PUNA Elang Hitam buatan PT Dirgantara Indonesia dan konsorsium yang terdiri atas BPPT, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Institut Teknologi Bandung, PT Len Industri (Persero), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Farohaji, yang bekerja di Lapan sejak 2009, baru pulang dari Jepang ketika pada 2019 lembaga itu bergabung dengan konsorsium Elang Hitam. Lapan dan Len Industri kebagian tugas mengembangkan SAR untuk Elang Hitam.
Proyek pengembangan Elang Hitam, yang dijadwalkan terbang perdana pada 2020, tertunda akibat pandemi Covid-19. Namun pada 2021, sebelum sempat terbang pertama kali, PUNA tempur itu dialihkan, dari yang semula untuk pertahanan menjadi kebutuhan sipil. “Di era BRIN ini, sepertinya Elang Hitam mandek. Saya tidak tahu juga apakah diteruskan. Tapi untuk SAR kami berkesimpulan melanjutkan karena berpotensi sekali untuk perkembangan militer ataupun sipil,” tutur Farohaji dalam webinar Pusat Riset Telekomunikasi yang disiarkan di YouTube, Rabu, 14 Juni lalu.
Farohaji berharap penelitian pengembangan SAR berkelanjutan. Dalam paparannya, Farohaji menampilkan peta jalan pengembangan dan inovasi sistem SAR dari 2020 hingga 2029. Pada 2024, Farohaji berharap sistem SAR penuh sudah dapat menjalani uji terbang ke ketinggian 2.000 meter. Mulai 2025, tim pengembang SAR akan bekerja sama dengan kampus luar negeri, seperti Mersin University di Turki serta Muroran Institute of Technology dan Chiba University di Jepang. Pada 2029, menurut peta jalan itu, akan diumumkan kemungkinan mengembangkan satelit SAR.
Dalam webinar BRIN Bincang Pengindraan Jauh seri ke-17 yang bertajuk “Persiapan Konstelasi Satelit Nasional” yang disiarkan di YouTube pada Jumat, 14 Juli lalu, Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Robertus Heru Triharjanto mengungkapkan rencana pengembangan 19 konstelasi satelit yang diusulkan BRIN. Dua 19 satelit dalam Konstelasi Satelit Pemantau Bumi Nusantara adalah satelit SAR. “Pendanaannya dengan pinjaman luar negeri. Tapi kami ingin satelit SAR yang kedua dibangun di dalam negeri,” kata Heru.
Ihwal waktu pengembangan satelit SAR tersebut tidak diungkapkan oleh Heru. Namun konstelasi satelit pertama, yang dinamai NEO-1, direncanakan meluncur ke antariksa pada kuartal pertama tahun depan. NEO-1, kependekan dari Nusantara Earth Observation-1, sebelumnya bernama satelit A4 yang dikembangkan seluruhnya di Pusat Riset Teknologi Satelit di Rancabungur, Bogor. Satelit berbobot 150 kilogram ini memiliki kamera multispectral resolusi tinggi dengan resolusi 5 meter yang bisa ditingkatkan menjadi 2,5 meter di masa depan.
Menurut Farohaji, riset sistem SAR ini di Indonesia baru dilakukan lembaganya. Peneliti yang bergelut dalam pengembangan sistem SAR pun sangat sedikit, tak lebih dari jumlah jari di satu tangan. Dia menambahkan, SAR juga punya banyak sempalan. Misalnya SAR berbasis di daratan yang digunakan untuk memantau benda tinggi seperti gunung dan bukit. Lalu ada inverse SAR yang digunakan militer Amerika Serikat untuk memeriksa muatan pesawat terbang. Ada juga through-wall SAR yang dikembangkan badan antariksa Amerika Serikat untuk mencari korban yang tertimbun reruntuhan gedung.
Dalam pengindraan jauh, SAR diklasifikasikan sebagai perangkat canggih karena SAR digolongkan sebagai sensor aktif yang membangkitkan gelombang elektromagnetik sendiri. Tak seperti optik yang membutuhkan cahaya matahari, SAR bisa digunakan dalam kondisi terang ataupun gelap. Ia juga relatif bisa digunakan dalam cuaca hujan ataupun berawan karena menggunakan gelombang yang panjang. SAR dibedakan berdasarkan panjang gelombang yang digunakan. Misalnya SAR pita-X beroperasi pada panjang gelombang 3 sentimeter yang sulit menembus hutan berdaun. “SAR pita-P bahkan bisa penetrasi 1-3 meter di bawah permukaan tanah,” ucap Farohaji.
Joko Widodo, peneliti ahli madya pada Pusat Riset Penginderaan Jauh BRIN, mengakui peran SAR dalam penelitiannya mengenai penurunan muka tanah atau land subsidence di Jakarta. Menurut doktor bidang pemrosesan citra data SAR dari Chiba University ini, SAR mempunyai jenis informasi yang lebih lengkap dibanding data satelit optik, yaitu berupa amplitudo, fase, dan polarisasi. “Kalau SAR, kita bisa menelusuri kapan dia mengirim sinyal dan menerima sinyal sehingga diketahui beda fase,” tutur Joko saat yang ditemui di kantornya pada Senin, 10 Juli lalu.
Penelitian Joko, yang makalahnya disampaikan dalam International Conference on Radar, Antenna, Microwave, Electronics, and Telecommunications pada 6-7 Desember 2022, menggunakan citra satelit TerraSAR-X milik Pusat Penerbangan dan Antariksa Jerman (DLR) dan Astrium. Joko memakai 29 citra satelit TerraSAR-X yang diambil pada 20 Oktober 2017 hingga 12 Juni 2021. Citra-citra tersebut dianalisis hingga didapati penurunan muka tanah di beberapa titik di Jakarta. Di area Sunter, misalnya, tanah ambles kumulatif selama lima tahun setinggi 4,34 sentimeter, sementara di Pantai Indah Kapuk 9,85 sentimeter.
Joko sekarang sedang melakukan penelitian serupa dengan memakai jumlah data yang lebih besar, 81 citra satelit SAR. Kali ini ia memakai satelit ALOS-2 milik Badan Penjelajahan Antariksa Jepang (JAXA). “Satu gambar itu kalau beli harganya Rp 60 juta. Tapi kita diberi gratis karena ada kerja sama dua negara,” tutur Joko. Namun Joko tidak bersedia memberikan detail hasil penelitiannya karena masih dalam proses pengajuan publikasi ke jurnal internasional. Joko memberikan sedikit bocoran bahwa dari analisis data SAR itu ia bisa menghasilkan 350 ribu titik pengamatan. “Itu setara dengan memiliki 350 ribu sensor GPS.”
Menurut Joko, aplikasi SAR untuk memantau tanah ambles dan deformasi lahan sudah menjadi tren di seluruh dunia. Ia memberi contoh Jepang, sebagai salah satu negara dengan perkembangan SAR cukup maju, sudah menerapkan analisis terhadap lahan menggunakan hasil pengkajian SAR selama beberapa tahun. “Sebelum membangun konstruksi apa pun, dilakukan kajian daya dukung lahan. Apakah di daerah tersebut ada pergerakan tanah? Lalu ditentukan di lahan itu konstruksi yang cocok seperti apa,” Joko menuturkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Indraja untuk Segala Kondisi"