Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Panen Solusi Semu di COP27

Di COP27 bergaung seruan melakukan tindakan bersama-sama dari sekarang. Ada kesenjangan biaya adaptasi dan mitigasi dengan pendanaan yang tersedia.

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komitmen dunia untuk memenuhi target Perjanjian Paris, mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius, belum berada di jalurnya.

  • Negara-negara belum berkomitmen penuh keluar dari bahan bakar fosil.

  • Isu pembiayaan menjadi salah satu sorotan.

SEBAGAI pemberi sambutan keempat dalam pembukaan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-27 (COP27) di Sharm El-Sheikh International Convention Center, Mesir, Ahad, 6 November lalu, Ketua Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) Lee Hoe-sung mengungkapkan keresahannya. "Kita tidak berada di jalur yang tepat untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius," katanya. Ia menambahkan, "Waktunya melakukan tindakan bersama-sama dari sekarang!"

Lee menunjuk dua laporan IPCC, “AR6: Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability” dan “AR6: Climate Change 2022: Mitigation of Climate Change”, yang diterbitkan pada Februari dan April lalu sebagai acuan mengenai pilihan teknologi dan pengetahuan yang berkembang saat ini yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis iklim. Namun, Lee menambahkan, persoalan pembiayaan masih menghantui yang mengakibatkan terbatasnya pilihan-pilihan aksi yang dapat dilakukan.

Laporan “AR6: Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability” dari Kelompok Kerja (WG) II yang dirilis pada 28 Februari lalu itu menyebutkan kenaikan suhu saat ini saja, yang tercatat sebesar 1,1 derajat Celsius, telah berdampak pada ekosistem, manusia, permukiman, juga produksi air dan pangan. Dampak ini terutama terjadi akibat peningkatan frekuensi dan intensitas panas yang ekstrem di daratan dan lautan, curah hujan yang tinggi, kekeringan, dan kebakaran. Laporan itu mengaitkan beberapa kepunahan spesies sebagai efek perubahan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivis yang tergabung dalam Big Shft Global berdemonstrasi di depan lokasi resgistrasi peserta KTT COP 27, di Sharm el-Sheikh, Mesir, 9 November 2022/Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut laporan itu, setelah 2040, perubahan iklim akan menimbulkan banyak dampak terhadap alam dan manusia. Dalam pelbagai skenario yang dipertimbangkan oleh WG II, pada 2050 dan 2090, risiko kepunahan meningkat terutama pada spesies dengan habitat khusus dalam distribusi terbatas. Risiko kepunahan itu dipengaruhi menurunnya kemampuan ekosistem dalam menyediakan pelbagai jasa lingkungan, terutama dalam menjaga pemenuhan kebutuhan akan air.

Selain itu, kemampuan ekosistem alam menyediakan jasa penyimpanan dan penyerapan karbon diproyeksikan makin terkena dampak kebakaran hutan, deforestasi, serta degradasi hutan dan lahan. Akibatnya, aliran air dari daerah aliran sungai utama di seluruh dunia akan terdegradasi. Kondisi ini dapat memicu bencana kekeringan dan menaikkan persoalan mengenai krisis air.

Semua dampak yang diproyeksikan IPCC ini akan sangat dipengaruhi mitigasi jangka pendek hingga 2040 dan pelbagai aksi adaptasi perubahan iklim yang tepat. Karena itu, Lee mengatakan, prasyarat untuk adaptasi yang berhasil adalah aksi mitigasi yang ambisius guna menghadang laju kenaikan suhu global. "Kesenjangan adaptasi terutama di negara berkembang didorong oleh melebarnya kesenjangan antara biaya adaptasi dan pendanaan yang tersedia," ucapnya.

Lee menekankan bahwa kemajuan arus pendanaan untuk membiayai pelbagai aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tak sebanding dengan visi yang hendak diraih oleh Perjanjian Paris—menghadang laju kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius. "Kerja sama keuangan internasional yang dipercepat realisasinya merupakan faktor penting untuk transisi berkeadilan," tuturnya. Menurut dia, dengan memprioritaskan kerja sama keuangan, masyarakat berpenghasilan rendah dan terpinggirkan dapat lebih terlindungi dari risiko iklim.

Sejak Perjanjian Paris disepakati, banyak negara telah memberlakukan undang-undang iklim, kebijakan iklim, dan regulasi lain yang mendorong aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun, menurut ekonom dan profesor ekonomi perubahan iklim pada Korea University itu, banyak ambisi dan implementasi yang masih perlu ditingkatkan. "Ini adalah kesempatan sekali dalam satu generasi untuk menyelamatkan bumi," kata adik Perdana Menteri Korea Selatan 1993-1994, Lee Hoi-chang, tersebut.

Selain IPCC, PBB merilis laporan dari Kelompok Pakar Tingkat Tinggi PBB tentang Komitmen Net-Zero dari Entitas Non-Negara pada Selasa, 8 November lalu. Laporan ini berisi 10 rekomendasi untuk pihak swasta agar dapat mengklaim upaya yang telah dijalankan selaras dengan Perjanjian Paris. Menurut Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, sejak diadopsinya Perjanjian Paris, ada peningkatan aksi-aksi mewujudkan komitmen net-zero dari aktor nonpemerintah, khususnya lembaga swasta dan keuangan serta pemerintah daerah.

Namun, menurut Guterres, pertumbuhan dalam komitmen melakukan dekarbonisasi tersebut diikuti dengan tumbuhnya beragam kriteria dan tolok ukur dalam penerapan komitmen nol bersih emisi karbon. Kondisi itu menciptakan jebakan-jebakan greenwashing yang akan melemahkan upaya memenuhi Perjanjian Paris. Untuk mengembangkan standar yang lebih kuat dan jelas dalam upaya memenuhi komitmen emisi nol bersih oleh entitas non-negara dan mempercepat penerapannya, Guterres membentuk Kelompok Pakar Tingkat Tinggi ini pada 31 Maret 2022.

Wakil Presiden Ma'aruf Amin, Oktober 2019/TEMPO/Subekti

Guterres menyebut laporan Kelompok Pakar Tingkat Tinggi itu sebagai panduan untuk memastikan komitmen emisi nol bersih yang kredibel dan akuntabel. "Kita harus memiliki nol toleransi terhadap net-zero greenwashing," ujarnya di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada Selasa, 8 November lalu. Ia menjelaskan empat hal utama yang menjadi perhatian, yaitu integritas lingkungan, kredibilitas, akuntabilitas, dan peran pemerintah.

Sekretaris Jenderal PBB itu juga menegaskan bahwa penyelesaian krisis iklim memerlukan kepemimpinan politik yang kuat. Karena itu, peran pemerintah dalam panduan tersebut menjadi satu dari empat hal utama. "Saya mendesak semua pemimpin pemerintahan menyediakan lapangan permainan yang setara bagi entitas non-negara untuk bertransisi ke masa depan yang adil dan bersih," ucapnya.

•••


SEKITAR 40 aktivis dari seluruh dunia yang berkoalisi di dalam Big Shift Global berkumpul di Sharm el-Sheikh pada Rabu, 9 November lalu. Tepat di area setelah tempat registrasi masuk peserta, puluhan aktivis itu membuka jas necis yang semula mereka kenakan hingga hanya terlihat kaus yang memuat tulisan protes terhadap pembiayaan-pembiayaan energi berbasis fosil. Mereka juga membawa spanduk protes yang meminta penghentian pendanaan bagi energi berbasis fosil.

Andri Prasetiyo, Senior Program Manager Trend Asia, adalah salah satu 40 aktivis itu. Ia menyebut protesnya sebagai respons atas pernyataan bersama sepuluh bank pembangunan multilateral (MDB) dalam COP27 yang dianggap kontradiktif dengan upaya menahan laju pemanasan global. Kesepuluh bank itu dianggap gagal memaparkan rencana mereka secara rinci untuk diselaraskan dengan Perjanjian Paris. "Kami mendorong bank pembangunan multilateral tidak mendanai solusi palsu, yaitu transisi energi dari batu bara ke gas," katanya.

Menurut Andri, dalam COP27, penggunaan gas sebagai jembatan transisi energi menjadi perbincangan hangat. Jika PBB mendesak aktor non-negara dan pemerintah daerah tidak menenggang praktik greenwashing, menurut Andri, pilihan kebijakan penggunaan gas akan membuat negara terjebak dalam solusi palsu. "Ini yang membuat kita tidak segera on the track dalam jalur pencegahan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius," tuturnya.

Dua hari sebelum demonstrasi, koalisi ini telah mengirimkan surat terbuka kepada bank-bank pembangunan multilateral agar mengakhiri segala bentuk dukungan terhadap energi fosil pada akhir 2022 dan segera mempublikasikan strategi konkret untuk mengakselerasi akses energi bersih yang berkeadilan bagi semuanya. Menurut Andri, tidak tampak keseriusan dari bank pembangunan multilateral itu untuk menghentikan pembiayaan bahan bakar fosil, meski secara bertahap.

Tahun ini, kelompok bank pembangunan multilateral, termasuk Bank Dunia, mendapat sorotan tajam karena dianggap tidak serius menangani krisis iklim. Padahal pembiayaan menjadi salah satu isu yang menghangat dalam COP27. Beberapa pemimpin delegasi negara dalam pidato menuntut MDB mereformasi sistem keuangan internasional agar bekerja secara berkeadilan, khususnya bagi negara-negara berkembang yang membutuhkan akselerasi pendanaan untuk membiayai aksi-aksi adaptasi dan mitigasi krisis iklim.

Sophie Richmond dari Climate Action Network International mengatakan anggota staf dan karyawan Bank Dunia pun setuju bahwa lembaga itu tak melakukan aksi-aksi penyelarasan dengan Perjanjian Paris secara memadai. Richmond merujuk hasil survei terhadap kalangan karyawan Bank Dunia yang menunjukkan sebanyak 60 persen karyawannya percaya lembaga itu tidak banyak bertindak untuk menyelaraskan aksinya dengan target Perjanjian Paris. Selain itu, 85 persen karyawan percaya lembaga itu harus meningkatkan transparansi mengenai pendanaan iklimnya.

Menurut Richmond, MDB perlu segera bertindak dan memainkan peran utama dalam transisi energi yang adil. "Sektor keuangan tidak bisa terus memicu kekacauan iklim," ucapnya, Rabu, 9 November lalu. Koalisi ini juga menyerukan peninjauan kembali secara lebih cermat definisi MDB mengenai “Penyelarasan Paris”. Dengan demikian, MDB dapat berperan lebih dari sekadar mendukung implementasi kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) setiap negara.

Menurut Andri, koalisi itu juga menuntut MDB tidak lagi memperhitungkan gas alam cair (LNG) sebagai jembatan transisi energi dari negara-negara yang selama ini sangat bergantung pada batu bara. "Tidak ada kejelasan MDB akan mengesampingkan ekspansi gas alam cair yang juga merupakan bahan bakar fosil. Ini akan sangat menghambat proses dekarbonisasi dan pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya," katanya.

MDB memiliki rekam jejak panjang “menjebak” negara-negara berkembang dalam penggunaan bahan bakar fosil dengan berinvestasi di pelbagai proyek infrastruktur energi. "Sudah seharusnya mereka memberikan pendanaan untuk transisi energi tidak sebatas memberi utang, melainkan hibah," ujarnya. Hal itu dapat dianggap sebagai bentuk tanggung jawab negara maju melalui MDB.

Desakan serupa disampaikan Bronwen Tucker, Public Finance Campaign Co-Manager Oil Change International, yang juga tergabung dalam koalisi. Menurut Tucker, MDB mengunci negara-negara Selatan dalam transisi energi dengan kontrak-kontrak bahan bakar fosil dalam jangka panjang melalui pinjaman lunak. Salah satunya dalam pengadaan gas alam cair. "MDB dengan bangga mengatakan hanya 62 persen pendanaan iklim mereka yang mengalir ke negara berpenghasilan rendah dan menengah," tuturnya.

Dalam konteks Indonesia, Andri menambahkan, transisi energi masih berjalan dalam irama business as usual. Jika ingin selaras dengan Perjanjian Paris, kata dia, Indonesia harus mengeliminasi segala bentuk ekspansi bahan bakar fosil. Sayangnya, LNG menjadi salah satu jembatan transisi energi dalam Enhanced NDC Indonesia. "Ada pelbagai risiko ketika menjadikan gas sebagai transisi energi karena harganya yang volatile dan ada risiko impor ketika suplai dalam negeri tidak memadai.”

DINI PRAMITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus