Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Biang Banjir Bandang Luwu Utara

Pembalakan liar diduga kuat menyebabkan banjir bandang Luwu Utara pada Juli 2020. Pemulihan dan mitigasinya melupakan perbaikan hulu sungai.

5 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembalakan hutan di hulu tiga sungai di Luwu Utara diduga biang kerok banjir bandang pada Juli 2020.

  • Pemerintah diduga mengabaikan perusakan hutan tersebut.

  • Mitigasi bencana di masa mendatang tidak menyentuh perbaikan di kawasan hulu.

BAGI Jefri Samad, tragedi tanah longsor dan banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, pada 13 Juli 2020 yang membunuh 39 orang hanya peringatan untuk mengambil jeda. Satu setengah tahun seusai kejadian tersebut, kini tukang blandong—istilah untuk penebang kayu—itu tak sungkan lagi menawarkan jasanya. “Kalau ada yang pesan untuk Januari atau Februari 2022 nanti, kami bisa masuk ke hutan lagi,” kata Jefri Samad, warga Desa Meli, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, ketika ditemui di rumahnya, Ahad, 9 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jefri satu dari sekian banyak penduduk Desa Meli yang menyambi jadi penebang kayu di hutan-hutan Luwu Utara. Dia hanya akan masuk ke hutan menebang kayu jika ada pesanan. Pemesan kayu biasanya memberi panjar. Uang muka itu tergantung jenis kayu yang diincar. Misalnya kayu dengeng atau eboni alias kayu hitam Sulawesi, yang masuk kategori kelas III dan dihargai Rp 1,2 juta per kubik, uang mukanya Rp 500-700 ribu per kubik. “Ini masalah perut,” ujar SB, warga Meli lain yang juga kerap menebang pohon di hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempat favorit para pembalak berburu kayu adalah Gunung Lero, yang memanjang ke utara dari sebelah hulu Kota Masamba, ibu kota Kabupaten Luwu Utara. Pegunungan ini menjadi hulu Sungai Rongkong, Radda, dan Masamba. Pada akhir Desember 2021, ratusan titik bekas tanah longsor di gunung itu terlihat seperti cakar ayam raksasa dari Kota Masamba. “Karena di situlah pengambilan kayunya,” ucap Ketua Yayasan Bumi Sawerigading Abdul Malik Saleh saat ditemui di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, pada Jumat, 7 Januari lalu.

Malik menuding pembalakan liar itulah yang menjadi biang banjir bandang Luwu Utara pada Juli 2020. Ratusan titik tanah longsor di Gunung Lero itu sebagai bukti yang tak terbantahkan. Ketika banjir bandang dan tanah longsor menghunjam Luwu Utara pada Juli 2020, bukan hanya lumpur, kayu-kayu yang diduga hasil pembalakan di Gunung Lero itu juga hanyut dan menumpuk di tiga sungai tersebut sampai ke hilir.

Dugaan itu diperkuat oleh analisis sementara dari Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Analisis sementara yang keluar pada Juli 2020 itu menyebutkan adanya pembukaan lahan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Balease.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mempertegas analisis sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan meneliti tutupan lahan DAS Balease, Rongkong, dan Amang Sang An menggunakan analisis citra satelit Landsat pada 2010-2020. Hasilnya menunjukkan ada penurunan luas hutan primer sekitar 29 ribu hektare. Lapan menemukan banyak titik tanah longsor di hulu Sungai Rongkong, Radda, dan Masamba.

Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani menunjukkan peta bahaya banjir bandang Masamba, di ruang kerjanya, Desember 2021. TEMPO/Iqbal Lubis

Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani membantah ada pembalakan liar di hutan hulu DAS Balease. “Hasil penyelidikan polisi tak menemukan apa-apa,” kata Indah saat ditemui di ruang kerjanya di Masamba pada Jumat, 3 Desember 2021. “Tidak ada aktivitas di hutan lindung.” Menggunakan hasil penyelidikan itu, Indah menutup peluang bahwa pembalakan liar adalah biang kerok banjir bandang Luwu Utara Juli 2020.

Ketika dugaan pembalakan liar itu mental, tukang blandong dari Meli kini tak sungkan lagi menjajakan jasanya. Proses mitigasi bencana banjir dan tanah longsor di Luwu Utara saat ini juga melupakan perbaikan di kawasan hulu, yang semestinya menjadi fokus. Entah berkaitan langsung entah tidak, banjir masih kerap menyinggahi Luwu Utara hingga kini.

•••

DI papan baliho yang terpacak di pinggir jalan menuju Desa Rinding Allo, Kecamatan Rongkong, tampak Bupati Indah Putri Indriani berdiri di pojok kanan, mengumbar senyum. Di pojok kiri berdiri Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan Andi Parenrengi. Mereka melarang warga merambah hutan dan membalak serta mengedarkan kayunya. “Perbuatan tersebut dapat menyebabkan bencana,” begitu bunyi pesan mereka. Tak jauh dari papan baliho itu, pohon-pohon berdiameter sepelukan manusia telah rebah. Pangkal pohon-pohon itu terpotong halus.

Ketua Yayasan Bumi Sawerigading Abdul Malik Saleh mengatakan masyarakat menebangi pohon di hutan Luwu Utara sejak 1990-an. Longsoran kecil tanah dan kayu bekas tebangan lama-lama bertumpuk membentuk bendungan kecil di anak-anak Sungai Rongkong, Radda, dan Masamba. Walhasil, setiap musim hujan tiba, air meluap. Sedimentasi menahun itu menutupi aliran sungai. Banjir bandang dan tanah longsor Juli 2020, menurut pria asal Luwu Utara itu, adalah puncak dari hilangnya penyangga air.

Penelitian Muhammad Djazim Syaifullah, peneliti pada Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, memperkuat dugaan Malik. Curah hujan, menurut Djazim, bukanlah faktor utama penyebab banjir bandang dan tanah longsor di Luwu Utara. Saat itu hujan turun merata di Kabupaten Luwu, Luwu Timur, dan Kota Palopo. “Logikanya, kalau meteorologi penyebab banjir, seharusnya bukan hanya Masamba, yang lain juga kena tanah longsor dan banjir bandang,” tutur Djazim pada Kamis, 10 Februari lalu.

Pelajar melintas di antara rumah-rumah yang pernah tertimbun lumpur banjir bandang pada 2020 di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. TEMPO/Iqbal Lubis

Djazim menganalisis curah hujan di Luwu Utara sepanjang 6-14 Juli 2020 dan menerbitkan laporannya yang berjudul “Banjir Bandang Masamba Juli 2020, Tinjauan Meteorologis” itu di Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca pada Desember 2020. “Perlu dilihat struktur tanah permukaan dan tutupan vegetasi yang menyebabkan terjadinya tanah longsor,” ujarnya.

Djazim menyimpulkan, kondisi tanah yang sudah sangat jenuh sejak awal 2020 yang menambah potensi banjir dan tanah longsor Luwu Utara. “Itu kemungkinan dari kami. Tapi saya tidak melakukan kajian topografis,” ucapnya.

Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana berujar, tanah di bagian hulu Luwu Utara cepat jenuh karena telah terdegradasi. “Kalau curah hujan saja kan tak mungkin menyebabkan banjir bandang seperti itu,” ujar Adi. Selain itu, kata dia, banjir bandang Luwu Utara dipengaruhi getaran gempa Palu, Sulawesi Tengah, pada 2018. Hulu tiga sungai Luwu Utara merupakan jalur patahan Palu Koro yang konstruksi tanahnya sangat lapuk dan ringkih.

Sikap Bupati Indah Putri Indriani tetap “batu”. Ia ngotot bahwa penyebab banjir bandang adalah faktor alam. Dari pohon yang lapuk sehingga hanyut di sungai, kontur tanah dan jenis batuan yang gampang hancur, sampai dampak dari sesar Palu Koro. “Tapi banjirnya sudah pasti karena hujan. Tidak mungkin ada air kalau tak ada hujan,” tuturnya.

•••

BUKAN hanya pembalakan dan getaran gempa Palu, perkebunan sawit yang berada di kanan-kiri ketiga sungai juga memperparah banjir bandang Juli 2020. Warga, kata Abdul Malik Saleh, menanam sawit dengan jarak hanya lima meter dari bibir sungai. Selain perkebunan sawit milik rakyat, ada izin perusahaan perkebunan sawit. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan mencatat, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara melepaskan 10 hektare lebih kawasan hutan lindung di Dusun Mabusa, Desa Rinding Allo, pada 2019.

Per Desember 2021, memang belum ada perkebunan sawit di lokasi itu. Namun di area ini, dengan koordinat 2°30'06.0" lintang selatan dan 119°51'59.5" bujur timur, telah berdiri sebuah vila kayu berukuran 4 x 8 meter yang dicat cokelat. Vila itu tertulis milik PT Jas Mulia. PT Jas Mulia salah satu perusahaan perkebunan sawit di Luwu Utara.

Perekebunan kelapa sawit milik warga yang ditanam di sekitar Daerah Aliran Sungai Radda, Masamba, Sulawesi Selatan, Desember 2021. TEMPO/Iqbal Lubis

Pemilik PT Jas Mulia, Dewi Sartika Pasande, adalah pengusaha tenar di Luwu Utara. Dimintai klarifikasi perihal perusahaannya yang berdiri di hutan lindung, Dewi enggan menjawab. Dia mengaku sedang di luar negeri. “Nanti kalau sudah di Indonesia, ya,” ucapnya melalui WhatsApp, Kamis, 10 Februari lalu.

Bupati Indah Putri Indriani mengatakan tidak ada kawasan hutan lindung yang dibebaskan, termasuk buat PT Jas Mulia. Kawasan hutan yang dibebaskan hanya untuk membangun infrastruktur sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 362 Tahun 2019, yaitu jalan, sarana umum, dan infrastruktur.

•••

BERTAHUN-TAHUN rusak, tak ada intervensi memadai dari pemerintah daerah untuk hulu tiga sungai Luwu Utara. “Pemerintah mengabaikan kerusakan di hulu,” tutur Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin. Ia mendesak pemerintah memulihkan kembali lingkungan di hulu. Sekuat apa pun pemerintah mengeruk sungai, jika hulu menurunkan tanah, tetap akan terjadi pendangkalan. Selain hutannya terabaikan, warga tak pernah dipersiapkan untuk siaga bencana.

Sonda, 71 tahun, warga Desa Radda, Kecamatan Baebunta, mengaku tahu ada banjir bandang setelah dikabari sanaknya yang tinggal di Desa Meli. Ketika banjir tiba pada 13 Juli 2020, “Saya ditelepon keluarga, bilang selamatkan diri karena di sini (Meli) banjir,” ujar Sonda ketika ditemui di tempat pengungsian di Luwu Utara pada Desember 2021. Sonda mengungsi sejak banjir Juli 2020. “Rumah saya tenggelam, hancur dihantam kayu.”

Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana merekomendasikan pemerintah memindahkan permukiman yang ada di pinggir sungai dan membangun ruang terbuka hijau, karena daerah itu masuk zona merah. Bupati Indah Putri Indriani meminta masyarakat pindah dari bantaran sungai. Ia juga mengumbar janji membentuk kampung siaga bencana dan desa tangguh bencana. Dari 173 desa di Luwu Utara, 157 rawan bencana.

Tahun lalu pemerintah daerah membentuk 14 desa tangguh bencana. Namun Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Luwu Utara Muslim Muchtar mengaku belum ada sistem peringatan dini banjir bandang. Walhasil, pemerintah kabupaten masih menggunakan sistem manual. “Tahun ini baru mau kami pasang di Sungai Masamba,” kata Muslim. 

DIDIT HARIYADI

Laporan ini hasil kolaborasi Tempo dan Tempo Institute dengan dukungan International Media Support.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus