Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Lambat Bertambah Ruang Hijau Kota

Pemerintah kota kesulitan memenuhi aturan luas ruang terbuka hijau 30 persen dari luas kota. Di Jakarta, target pertambahan ruang 23 hektare dari idealnya 650 hektare per tahun.

 

22 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Undang-Undang Penataan Ruang mewajibkan pemerintah kota membanguan ruang terbuka hijau sebanyak 30 persen dari luas kota.

  • Tidak ada satu pun kota di Indonesia yang sudah memenuhi perintah undang-undang tersebut, termasuk Surabaya.

  • Di Jakarta, pertambahan ruang terbuka hijau sangat lambat, yakni 23 hektare per tahun. Padahal idealnya 650 hektare per tahun.

DI balik pagar yang tertutup seng, beberapa pekerja proyek revitalisasi Monumen Nasional tampak sedang memeriksa kekerasan beton yang melapisi permukaan tanah Taman Medan Merdeka sisi selatan, Kamis, 20 Februari lalu. Pelataran beton yang lebih luas dari dua lapangan sepak bola itu kelak menjadi plaza upacara dan kolam air. Tiga bulan lalu, di tanah yang menjadi pelataran beton itu tumbuh subur rumput, semak, perdu, dan ratusan pohon dari jenis mahoni, jati, trembesi, glodogan, bungur, palem raja, serta pulai, yang menjadikan kawasan tersebut taman kota terluas yang dimiliki Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demi pelataran beton dan kolam air beranggaran Rp 114,47 miliar itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menebang sedikitnya 191 pohon besar dan kecil. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menyesalkan hilangnya ratusan pohon yang telah berumur puluhan tahun tersebut. “Dampak kurangnya ruang terbuka hijau sudah dirasakan masyarakat, seperti terjadi banjir dan polusi udara,” kata Tubagus, Jumat, 21 Februari lalu. “Pemerintah malah menebanginya di tengah Jakarta membutuhkan pohon dan ruang terbuka hijau,” ujar Tubagus, yang merupakan warga Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nirwono Joga, peneliti Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti, Jakarta, juga ragu akan janji pemerintah DKI mengganti tiga kali lipat jumlah pohon yang hilang itu. Menurut dia, pemerintah daerah tidak akan mampu mengganti pohon yang ditebang dengan pohon baru yang sama. “Ini bukan soal mengganti dengan tiga kali lipat jumlah pohon yang ditebang, tapi spesifikasi jenis, ukuran, umur, serta kemampuan ekologis pohon itu tidak bisa diganti dalam waktu singkat,” ucap penulis buku RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau ini.

Tubagus menyebut pemerintah DKI Jakarta tidak memiliki etika lingkungan hidup. Dia merujuk pada jumlah dan sebaran ruang terbuka hijau (RTH) Kota Jakarta yang masih sangat jauh dari perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang sebesar 30 persen. “Saat ini belum ada penambahan ruang terbuka hijau yang signifikan. Pemerintah masih berfokus pada proyek ‘mempercantik’ ruang terbuka hijau yang sudah ada,” tuturnya.

Nirwono sependapat dengan Tubagus tentang pandangan bahwa pemerintah DKI lebih suka mempercantik ruang terbuka hijau yang sudah ada ketimbang menambah RTH baru. Menurut dia, revitalisasi Monas contohnya. “Padahal anggaran sebesar itu bisa untuk pembebasan lahan dan pembangunan sepuluh ruang terbuka hijau baru masing-masing seluas 1 hektare,” ujarnya. “Anggaran sebenarnya pasti bisa dialokasikan. Tapi ini karena RTH belum dianggap penting bagi keberlanjutan kehidupan penduduk dan kota.”

Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta Suzi Marsitawati mengatakan luas ruang terbuka hijau Jakarta saat ini mencapai 9,97 persen. Untuk mengejar luas 30 persen seperti amanat undang-undang, kata dia, pemerintah DKI menargetkan pertambahan ruang terbuka hijau seluas 23 hektare setiap tahun. “Target penambahan sebesar itu sesuai dengan yang telah disepakati dalam Rancangan Program Jangka Menengah Daerah DKI 2017-2022,” ucap Suzi saat dihubungi, Selasa, 18 Februari lalu.

Pertambahan 23 hektare per tahun itu bagi Nirwono terbilang sangat kecil. “Minimal 325 hektare per tahun atau idealnya 650 hektare per tahun,” dia menjelaskan. Angka 650 hektare itu muncul berdasarkan perhitungan Nirwono kalau luas ruang terbuka hijau publik yang sebesar 6.500 hektare tersebut harus terwujud pada 2030 atau sepuluh tahun lagi. Jika pertambahan ruang terbuka hijau sebesar 23 hektare per tahun, dia melanjutkan, target pemenuhan aturan RTH 30 persen atau 6.500 hektare itu baru bisa dicapai pemerintah DKI dalam waktu 282,6 tahun.

Pembebasan lahan memang pekerjaan sulit. Tapi, di wilayah DKI, kata Nirwono, masih banyak potensi lahan ruang terbuka hijau. Ia mencontohkan jalur hijau di kiri dan kanan 13 sungai yang mengalir di Ibu Kota, juga garis sepadan situ, danau, embung, dan waduk yang jumlahnya 109 titik. Potensi lain, dia menambahkan, adalah jalur hijau median jalan, sisi rel kereta, dan kolong jalan layang serta bawah saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET). Yang harus dilakukan adalah bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perusahaan Listrik Negara.

Nirwono mengungkapkan, sampai sekarang belum ada kota di Indonesia yang memenuhi aturan ruang terbuka hijau 30 persen dari luas kota. Menurut dia, di Jakarta, ruang terbuka hijau tidak bertambah karena setiap gubernur sibuk gonta-ganti nama program, tak berfokus pada penambahan RTH yang signifikan pada masa kepemimpinan. Kota Surabaya, dia meneruskan, salah satu yang belum mencapai target. “Saya belum yakin Kota Surabaya sudah melampaui 30 persen. Apalagi kemarin sempat mengalami banjir, yang artinya RTH sebagai daerah resapan air belum terpenuhi atau tidak berfungsi baik,” tutur Nirwono.

Pakar tata kota yang juga guru besar emeritus arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Johan Silas, menyebutkan Kota Surabaya telah memiliki RTH di atas 30 persen sejak awal. Menurut Johan, yang menjadi penasihat tata kota Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan enam wali kota sebelumnya, sejak awal pembuatan rencana kota, Surabaya sudah diniatkan menjadi kota lingkungan. “Undang-undang tata ruang itu kan diundangkan pada 1992, sedangkan master plan Kota Surabaya selesai dibuat 1973. Ketika itu mungkin 40 persen RTH, sekarang sekitar 32 persen,” kata Johan, Rabu, 19 Februari lalu.

Menurut Johan, dua per tiga wilayah Surabaya berupa tanah endapan, bukan tanah keras. Ia mencontohkan daerah Kaliasin dan yang tinggi seperti Gunungsari, Lakarsantri, serta Warugunung sebagai terusan karts Gresik. “Apa yang harus saya lakukan? Menjaga ekosistem air, maka harus banyak hutan dan banyak waduk. Kalau lihat rencana kota yang pertama disahkan pada 1978 itu memang kota lingkungan,” ujarnya. 

Kepala Bidang Ruang Terbuka Hijau Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Pemerintah Kota Surabaya Hendri Setyanto mengatakan luas ruang terbuka hijau Kota Surabaya 21,7 persen dari luas kota, terdiri atas 400-an taman pasif dan sekitar 100 taman aktif. “Tapi kami ingin terus mencapai 30 persen dengan cara membeli lahan-lahan untuk dijadikan RTH,” kata Hendri di kantornya, Rabu, 19 Februari lalu. Untuk anggaran ruang terbuka hijau tahun ini, Hendri menjelaskan, pemerintah Surabaya mengalokasikan Rp 60 miliar, turun dari tahun lalu yang sebesar Rp 65 miliar.

Pemerintah Surabaya, Hendri menambahkan, telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2014 tentang Perlindungan Pohon. Masyarakat yang hendak memotong atau memindahkan pohon yang dikelola pemerintah kota wajib mengantongi surat izin dari wali kota. “Kalau melanggar, nanti dikenai denda. Yang menebang harus menanam pohon. Syukur-syukur nanamnya lebih dari satu pohon,” ucapnya. Namun Hendri mengakui pihaknya belum pernah menyensus atau mendata pohon.

Pemerintah Kota Yogyakarta juga kesulitan memenuhi aturan ruang terbuka hijau 30 persen dari luas kota. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Suyana mengatakan saat ini ruang terbuka hijau Yogyakarta baru mencapai 18,8 persen dari 32,5 kilometer persegi luas kota. “Kalau Kota Yogyakarta harus memenuhi target RTH 30 persen, artinya empat kecamatan harus jadi RTH semua,” ujar Suyana, Jumat, 14 Februari lalu.

Menurut Suyana, karakter Yogyakarta sebagai kota tua dengan luas wilayah yang sangat kecil dipenuhi jalan sempit dan banyak ruas serta tikungan. Suyana menyebutkan sulit mencari tanah dengan luas di atas 2.000 meter persegi. “Tanah paling luas yang dijual di perkotaan hanya 500-2.000 meter persegi,” katanya.

Kepala Bidang Ruang Terbuka Hijau Publik Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Indiah Widiningsih menambahkan, dari 14 kecamatan, hanya tiga yang masih cukup leluasa menambah ruang terbuka hijau, yakni Umbulharjo, Kotagede, dan Tegalrejo. Setiap tahun, menurut Indiah, pemerintah kota rata-rata mendapat 1.000-2.000 meter persegi lahan baru untuk ruang terbuka hijau yang terpecah di lima-enam lokasi.

Taman Jayengrono di Surabaya, September 2019. Humas Kota Surabaya

Untuk pengadaan tanah ruang terbuka hijau, Suyana melanjutkan, kadang pemerintah tak segan membeli lahan bekas bangunan tak terpakai di kampung padat penduduk, seperti eks rumah dinas guru di kampung Kotagede. Anggaran pembangunan ruang terbuka hijau baru setiap tahun disediakan Rp 2 miliar. “Itu di luar anggaran untuk pengadaan lahan baru,” tuturnya.

Kota Bandung juga berjibaku menambah ruang terbuka hijau. Namun penambahan masih jauh dan lambat untuk memenuhi ketentuan 30 persen dari luas wilayah Kota Bandung, yang mencapai 16.729,65 hektare. “RTH Kota Bandung saat ini kondisinya 12,23 persen,” kata Rieke Siti Fatimah, Kepala Bidang Pertamanan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan Kota Bandung, yang ditemui pada Kamis, 20 Februari lalu.

Luas ruang terbuka hijau Kota Bandung saat ini, Rieke menerangkan, tidak beranjak jauh dari 2015, yang mencapai 2.032,21 hektare (12,15 persen). Ruang itu terdiri atas taman kota dan kebun bibit seluas 218,07 hektare, permakaman 148,39 hektare, jalur hijau SUTET 10,17 hektare, sempadan sungai 18,31 hektare, jalur hijau jalan 176,91 hektare, sempadan kereta api 6,42 hektare, hutan konservasi 4,12 hektare, penanganan lahan kritis 416,92 hektare, dan ruang terbuka hijau bagian aset 74,43 hektare.

Angka-angka tersebut memang hanya data di atas kertas. Namun, dengan teknologi pengindraan jauh seperti yang dimiliki Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), luas dan jumlah ruang terbuka hijau itu dapat diidentifikasi serta dianalisis. Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan M. Rokhis Khomarudin mengatakan institusinya pernah meneliti perubahan penutup lahan daerah aliran sungai (DAS) Cisadane, Ciliwung, dan Citarum berdasarkan data satelit Landsat-7 pada 2002 dan Landsat-8 pada 2019.

Dalam penelitian itu, ucap Rokhis, diketahui terjadi pengurangan luas lahan pertanian basah di DAS Citarum dari 317.901,06 hektare (46 persen) pada 2002 menjadi 268.850,12 hektare (39 persen) pada 2019. Begitu juga luas hutan, yang menyusut dari 174.971,29 hektare (26 persen) pada 2002 menjadi 89.234,69 hektare (14 persen) pada 2019. Sebaliknya, Rokhis meneruskan, terjadi peningkatan luas lahan terbangun dari 12.163,22 hektare pada 2002 menjadi 21.245,71 hektare pada 2019.

Kecenderungan yang sama terjadi di DAS Cisadane dan Ciliwung serta zona Kali Krukut, Kali Pesanggrahan, dan Kali Angke yang diteliti Lapan. “Ketiga DAS itu merupakan prioritas nasional untuk dipantau. Pengindraan jauh dapat memantau perubahan penutup lahan secara historis dan cakupannya juga luas,” ujar Rokhis. Menurut dia, metode ini juga bisa mengidentifikasi ruang terbuka hijau. “Tapi, jika luasnya hanya 100 meter persegi, memerlukan satelit dengan resolusi spasial yang lebih tinggi,” tuturnya.

Rokhis menjelaskan, data satelit Landsat memiliki resolusi spasial 30 x 30 meter sehingga bisa mendeteksi area seluas 900 meter persegi. “Hanya mendeteksi vegetasi dan nonvegetasi,” ujarnya. Satelit SPOT 6/7, kata Rokhis, memiliki resolusi spasial 2,5 x 2,5 meter sehingga mampu membedakan pohon, perdu, semak, dan rumput. “Satelit Pleiades memiliki resolusi spasial 0,6 x 0,6 meter sehingga dapat menghitung jumlah pohon.”

Metode lain yang lebih detail, Rokhis menambahkan, adalah survei terestrial memakai wahana nirawak (drone) atau Google Street View, seperti dalam Proyek Treepedia yang dikerjakan Senseable City Lab Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, untuk mengukur ruang terbuka hijau di 27 kota di dunia. “Untuk cakupan sempit seperti hanya sekitar Monas, survei terestrial menggunakan drone atau Google Street View bisa lebih efektif,” ujarnya.

DODY HIDAYAT, TAUFIQ SIDDIQ, NURHADI (SURABAYA), ANWAR SISWADI (BANDUNG)PRIBADI WICAKSONO (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus