Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 28 ekor penyu sisik dan penyu lekang yang dilindungi mati terdampar di Pantai Teluk Sepang, Bengkulu, dalam kurun kurang dari tiga bulan.
Bangkai penyu mulai ditemukan setelah uji coba operasi PLTU Bengkulu, yang membuang limbah air bahang ke Pantai Teluk Sepang.
Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan PLTU Bengkulu tidak mencantumkan kawasan itu sebagai habitat bertelur penyu.
TIGA puluh tahun tinggal di dekat kawasan taman wisata alam Pantai Teluk Sepang, Kota Bengkulu, baru kali ini Hamidin menyaksikan kematian penyu yang masif di pantai itu. Tokoh masyarakat Kelurahan Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, itu hanya ingat kejadian terdamparnya lumba-lumba pada 2013. “Tak pernah ada kasus kematian binatang laut secara massal seperti penyu ini sebelumnya,” kata Hamidin, 50 tahun, Senin, 20 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hamidin, yang bekerja sebagai nelayan, sering menjumpai penyu-penyu singgah di Pantai Teluk Sepang untuk bertelur. “Sekali bertelur bisa mencapai ratusan butir,” ujarnya. Namun, dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak November 2019, sudah 28 ekor penyu yang mendarat di pantai tersebut dalam keadaan tak bernyawa. Terdapat luka membusuk di bangkai spesies penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangkai satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 itu mulai ditemukan setelah uji coba operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara milik PT Tenaga Listrik Bengkulu yang berkapasitas 2 x 100 megawatt pada September dan Oktober 2019. PLTU batu bara yang dinamai PLTU Bengkulu itu membuang air bahang—air laut yang digunakan untuk mendinginkan ketel uap PLTU—ke Pantai Teluk Sepang.
Direktur Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar mengatakan uji coba operasi PLTU tak mengantongi izin membuang limbah ke laut. “Membuang limbah harus ada izin sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Limbah ke Laut,” ucap Ali. Pelaksanaannya, kata dia, juga tak sesuai dengan pemberitahuan dari PLTU. “Diumumkan uji coba pada 19 September, tapi pada 16 September sudah tampak buangan air bahang yang berbusa dan bau menyengat.”
Pengujian sampel air dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu serta Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu secara terpisah. Kedua pengujian menyimpulkan sampel air masih sesuai dengan baku mutu air laut. “Pengujian itu hanya mengukur suhu, pH, dan salinitas, tapi tidak mengukur kadar klorin. Padahal pengelola PLTU mengaku memakai klorin (HCl) sebagai disinfektan,” tutur Ali.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu Sorjum Ahyan mengatakan uji laboratorium yang dilakukan pihaknya menemukan air bahang PLTU Bengkulu tidak dalam kondisi tercemar. “Uji laboratorium air sekitar PLTU semuanya masih normal, tidak ada kandungan racun,” katanya. Data yang dirilis Dinas Lingkungan Hidup pada 21 November 2019 menyebutkan pH air 8,32, padatan tersuspensi total 7,4 gram per liter, dan suhu 35 derajat Celsius.
Namun, menurut Ali, suhu air laut hasil pengujian itu saja menunjukkan telah terjadi perubahan kondisi air laut di sekitar PLTU Bengkulu. “Suhu rata-rata air laut Bengkulu 29-30 derajat Celsius. Jadi telah terjadi peningkatan suhu yang signifikan,” ucap Ali. Padahal, dia melanjutkan, baku mutu air laut hanya memperbolehkan peningkatan suhu air laut tidak lebih dari 2 derajat Celsius.
Penemuan penyu mati di Teluk Sepang, Bengkulu./ Dok. Kanopi Bengkulu
Manajer PT Tenaga Listrik Bengkulu Abu Bakar mengatakan PLTU Bengkulu di Pantai Teluk Sepang, seperti PLTU umumnya, menggunakan air laut untuk mendinginkan mesin pembangkit. “Air yang telah digunakan (air bahang) kami olah dulu melalui instalasi pengolahan air limbah sesuai dengan standar baku mutu lingkungan sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku,” kata Abu melalui surat elektronik yang menjawab pertanyaan Tempo, Kamis, 23 Januari lalu.
Menurut Abu, ada upaya pembentukan opini publik bahwa kematian penyu disebabkan oleh limbah PLTU. Padahal sampai saat ini PLTU Bengkulu belum memasuki tahap operasi. “Penyu yang mati tidak semua ditemukan di sekitar pembuangan limbah PLTU (outer pool), ditemukan juga di beberapa tempat seperti Pantai Panjang, Teluk Baai, Pantai Paderi, bahkan sampai Pulau Enggano,” ujar Abu.
Ali menegaskan, kematian 28 penyu justru terjadi setelah uji coba operasi PLTU Bengkulu. Dua bangkai penyu pertama ditemukan di lokasi yang berjarak 20 dan 100 meter dari saluran limbah pada 10 November 2019. Menurut catatan Kanopi, 23 bangkai penyu ditemukan di Pantai Teluk Sepang dengan radius terjauh 150 meter dari kolam pembuangan air bahang. Yang terakhir ditemukan pada 18 Januari lalu. Lima bangkai penyu lain ditemukan di lokasi yang berjarak sekitar 1 kilometer dari saluran limbah PLTU Bengkulu.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung Donal Hutasoit mengatakan pihaknya melakukan nekropsi empat penyu yang ditemukan pada 4 Desember 2019. Menurut Donal, ada penyu yang mati terikat jaring, ada pula yang di saluran pencernaannya ditemukan sampah plastik, tali, filter rokok, dan kayu. “Ada yang normal matinya, maka kami kirim organnya ke Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor dan Balai Besar Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian untuk pemeriksaan histopatologi dan toksikologi,” Donal menjelaskan.
Setelah hampir dua bulan, hasil pemeriksaan itu diterima BKSDA Bengkulu-Lampung pada akhir Januari lalu. Pemeriksa histopatologi pada organ penyu menunjukkan adanya kematian sel hati parah, hepatitis, radang usus parah, perdarahan, kerusakan sel darah merah, pelemahan otot, dan peradangan otot kronis. Penyu-penyu tersebut diduga terinfeksi bakteri Salmonella dan Clostridium. Adapun hasil pengujian toksikologi tidak menunjukkan nilai yang mempengaruhi mortalitas penyu.
Donal mengatakan dibutuhkan kajian lebih mendalam karena indikator penyebab kematian sangat banyak. Medik veteriner BKSDA Bengkulu-Lampung, Erni Suyanti Musabine, juga sependapat tentang perlunya penelitian lebih lanjut yang melibatkan berbagai pihak. “Tidak hanya meneliti di daerah pantai. Harus memperhatikan apa yang terjadi di laut lepas, melihat sejarah penyu dan pola hidupnya selama ini,” kata Erni.
Donal membenarkan informasi bahwa kawasan berdirinya PLTU Bengkulu merupakan salah satu habitat bertelur penyu yang berada di pesisir pantai Bengkulu. Donal, yang merupakan salah seorang penilai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), mengaku telah mengkritik dan meminta perubahan (adendum) karena tidak dimasukkannya habitat penyu dilindungi di kawasan PLTU Bengkulu itu. “Kami meminta konsultan amdal memperbaiki,” ucap Donal.
Ketika dimintai konfirmasi soal tidak dicantumkannya kawasan PLTU Bengkulu sebagai habitat bertelur penyu, Abu Bakar mengelak dengan mengatakan hal itu kewenangan Dinas Lingkungan Hidup, yang mengeluarkan dokumen amdal. Adapun Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sorjum Ahyan mengatakan pihaknya meyakini konsultan amdal, PT Survindo Link, sudah bekerja secara benar dan profesional. “Semua kajian pasti dilakukan secara komprehensif, termasuk sejumlah keberadaan penyu,” katanya.
PHESI ESTER JULIKAWATI (BENGKULU)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo