Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Konflik Lahan Berbuah Kriminalisasi

Masyarakat adat meminta PT Multi Harapan Utama memberikan ganti rugi tanam tumbuh sesuai peraturan Bupati Kutai Kartanegara. Sengketa lahan yang tipikal.

4 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lahan masyarakat di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, diduga diserobot oleh PT Multi Harapan Utama sejak 2019.

  • Perusahaan menolak ganti rugi tanam tumbuh yang telah diatur dalam peraturan Bupati Kutai Kartanegara tahun 2015.

  • Sejumlah warga menyandang status tersangka karena dianggap menghalangi aktivitas perusahaan tambang batu bara itu.

HATI Syamsu Arjaman, 64 tahun, lega tatkala ia menerima tembusan surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur pada Kamis, 21 April lalu, soal sengketa lahan dengan PT Multi Harapan Utama. Surat itu berisi sejumlah permintaan, di antaranya, memastikan pencegahan kriminalisasi, kekerasan, ataupun intimidasi terhadap masyarakat yang terkena dampak aktivitas PT Multi Harapan, perusahaan tambang batu bara di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Enam bulan lalu, tepatnya pada 28 Oktober 2021, Syamsu, yang kerap dipanggil Tikong, melaporkan kriminalisasi yang ia alami kepada Komnas HAM. Menurut penduduk asli Desa Jembayan, Loa Kulu, itu, kriminalisasi tersebut adalah buntut perselisihannya dengan PT Multi Harapan Utama (MHU) mengenai kepemilikan lahan.

PT MHU, kata Syamsu, menyerobot lahan miliknya seluas 3,43 hektare. Padahal lahan itu telah ditanami pohon sengon sebanyak 400 batang dan pohon buah-buahan, seperti jeruk bali, mangga, durian, dan kuweni. "Sejak nenek moyang kami tinggal di sini, belum pernah perusahaan memberitahukan aktivitas mereka yang akan berada di atas lahan masyarakat," ucap Syamsu pada Ahad, 17 April lalu.

Persoalan kian runyam ketika lahan yang telah ditinggali oleh setidaknya lima generasi itu diklaim sebagai lahan yang sudah dibebani izin untuk perusahaan. "Kami tak pernah diberi tahu kapan lahan-lahan yang kami kelola ditetapkan sebagai lahan hak guna usaha atau hutan dengan status hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, atau area penggunaan lain," ujar tokoh masyarakat adat suku Lampong Kutai ini.

Menurut Syamsu, penyerobotan juga menimpa lahan warga lain. Selain keluarganya, ada empat keluarga lain di beberapa desa di Kecamatan Loa Kulu yang memiliki lahan seluas 1,5-5,6 hektare yang diserobot PT MHU pada medio 2019 hingga 2020. Lahan-lahan itu telah ditanami tanaman keras seperti karet, sengon, jati, kemiri, durian, nangka, petai, gaharu, mahoni, kelapa, serta padi dan keladi gunung.

Lahan Arifin contohnya. Lahan seluas 1,5 hektare itu, ucap Arifin, adalah sumber penghasilan utama bagi keluarganya. Ia mengklaim pendapatannya bisa mencapai Rp 2 juta per sepuluh hari. Di atas lahan itu ia menanam karet, pisang, kelapa, durian, gaharu, dan mahoni. "Kami punya surat tanah dan telah rutin membayar pajak-pajak yang harus kami bayar," ucap Arifin, yang lahannya dicaplok pada 2020.

Penggusuran ini dilakukan tanpa memperhatikan Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 48 Tahun 2015 yang mengatur penghitungan dan penetapan harga ganti rugi tanaman dan benda-benda lain. Aturan yang dikenal sebagai peraturan ganti rugi tanam tumbuh itu diterbitkan Bupati Rita Widyasari pada 20 Mei 2015.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syamsu menuturkan, penggusuran pertama kali terjadi di lahan Karno alias Kuncir seluas 1,5 hektare pada 16 Mei 2019. Setelah itu, penggusuran menimpa lahan warga Jembayan Dalam dan Jembayan Tengah. Syamsu dan warga lain lalu menjalani mediasi dengan PT MHU di ruang pertemuan Kepolisian Sektor Loa Kulu. "Kami meminta perusahaan tidak menggarap sebelum ada penyelesaian ganti rugi tanam tumbuh,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT MHU, Syamsu melanjutkan, berkeras melakukan aktivitasnya. Menurut dia, perwakilan PT MHU dalam pertemuan mediasi pada 30 Agustus 2019 mengatakan tidak akan menghilangkan hak-hak warga di atas lahan hak guna usaha (HGU). Perwakilan itu, menurut Syamsu, juga menegaskan bahwa lahan HGU yang disengketakan merupakan lahan kerja sama dengan PT Budi Duta Agromakmur (PT BDA), perusahaan sawit.

Menurut dokumen salinan amendemen atas perjanjian kerja sama lahan tertanggal 26 Agustus 2016 yang diperlihatkan Syamsu, perjanjian diteken pertama kali pada 20 November 2012. Luas lahan dalam perjanjian pemakaian lahan bersama (PPLB) itu 9.630,34 hektare. Pejabat Dinas Perkebunan Kutai Kartanegara, dalam pertemuan mediasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Kartanegara pada 14 April 2021, menyatakan tak mengetahui ihwal PPLB itu dan tidak memiliki berkasnya.

HGU itu menjadi perkara dalam kasus yang melibatkan mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Timur, Akhmad Kosasih. Kosasih didakwa atas pemalsuan surat karena memanipulasi proses perpanjangan masa berlaku HGU PT BDA yang habis pada 2010. Dalam amar putusan di tingkat kasasi disebutkan bahwa Sekretaris Daerah Kutai Kartanegara tidak menyetujui perpanjangan itu.

Syamsu Arjaman (kiri), di lahan miliknya yang bersengketa dengan PT Multi Harapan Utama, Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Foto: Istimewa

Syarifudin, salah satu advokat warga Loa Kulu, mengatakan, dalam pelbagai mediasi sejak 2019 hingga 2022, PT MHU selalu mengelak dari kewajiban memberikan ganti rugi tanam tumbuh. Menurut hitungan Dinas Pertanian dan Peternakan Kutai Kartanegara, total nilai ganti rugi yang harus dibayar PT MHU kepada masyarakat adalah Rp 3,2 miliar. "Perusahaan berkeras hanya memberikan tali asih sebesar Rp 40 juta per lahan," ujar Syarifudin.

Selama mediasi, penggusuran terus berjalan hingga akhirnya mengenai lahan milik Syamsu Arjaman pada Maret 2021. Somasi yang ia layangkan ke perusahaan pada 29 Maret 2021 tak digubris. Merasa terancam, pada 25 April 2021 Syamsu sekeluarga bermalam di lahan mereka. Ia memasang tali rafia dan palang untuk menahan aktivitas alat berat perusahaan.

Malam itu, Syamsu terlibat adu mulut dengan Kepala Unit Intelijen Polsek Loa Kulu yang melarangnya mendirikan kemah. Esoknya, berdatangan orang-orang dari organisasi masyarakat yang memintanya pergi dari lahan itu. Pada pukul 13.00, ia didatangi sekitar 20 polisi, aparat Tentara Nasional Indonesia, dan anggota satuan pengamanan perusahaan. "Saya dibujuk ke Polres Kukar untuk bikin laporan. Sampai di sana saya yang di-BAP dan langsung jadi tersangka," ucap Syamsu.

Menurut Syarifudin, Syamsu tak sendirian. Ada tiga orang lain yang bernasib sama: menjadi tersangka karena dianggap menghalangi kegiatan perusahaan. Keempatnya dikenai Pasal 162 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. "Itu sebabnya kami melaporkan persoalan ini ke Komnas HAM," tuturnya.

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam meminta Kapolda Kalimantan Timur memeriksa anggota Kepolisian Resor Kutai Kartanegara untuk memastikan ada-tidaknya pelanggaran, khususnya berkaitan dengan dugaan pengamanan aksi perampasan lahan. Choirul menegaskan, kriminalisasi adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum.

Menanggapi surat dari Komnas HAM, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kutai Kartanegara Ajun Komisaris Gandha Syah Hidayat menolak disebut melakukan kriminalisasi. "Kami melakukan proses berdasarkan aduan. Tentunya Polres tak bisa melarang masyarakat atau pihak tertentu melaporkan tindak pidana," katanya.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan perbedaan perlakukan polisi terhadap warga dan perusahaan sangat kentara ketika laporan warga mengenai sengketa lahan tidak ditindaklanjuti. "Malah laporan perusahaan didahulukan, langsung menetapkan masyarakat sebagai tersangka," ujarnya.

Pradarma mengatakan polisi seharusnya menghentikan aktivitas perusahaan ketika masyarakat Loa Kulu melaporkan konflik kepemilikan lahan. “Supaya barang bukti tanam tumbuh dan pondok masyarakat tidak hilang dihancurkan alat berat,” tuturnya. Ia juga mengingatkan adanya kewajiban perusahaan menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak seturut ketentuan Pasal 136 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 

Direktur PT MHU Achmad Zuhraidi sampai Sabtu, 4 Juni lalu, tak merespons pertanyaan Tempo dan tak mengirim jawaban. Anggota staf hubungan masyarakat PT MHU yang memberikan informasi latar belakang atas pertanyaan Tempo tidak mau keterangannya dikutip. Head of Corporate Strategy and Communication PT MMS Group Indonesia—induk usaha PT MHU—Adri P. Martowardojo menghubungi Tempo untuk memberi penjelasan panjang-lebar soal sengketa lahan, tapi ia juga menolak penjelasannya dikutip.

SAPRI MAULANA (KUTAI KARTANEGARA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus