Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

newsletter

Musik Indie di Tengah Disrupsi

Di Yogyakarta, Dwi Rahmanto, vokalis band musik indie Shoppinglist, menyiasati sepinya pentas dengan mengakrabi beragam platform musik digital.

5 Januari 2022 | 19.18 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

5 Januari 2022

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Yogyakarta, Dwi Rahmanto, vokalis band musik indie Shoppinglist, menyiasati sepinya pentas selama pandemi Covid-19 dengan mengakrabi beragam platform musik digital. Shoppinglist, yang selama ini mengandalkan label rekaman Armykid Record, merilis album baru bertajuk Musim Belanja di berbagai kanal pemutar musik dan video.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah Dwi merupakan bagian cerita di laporan panjang rubrik ekonomi dan bisnis edisi 1-8 Januari 2022. Kami mengulas bagaimana industri rekaman musik, juga musikus, beradaptasi di tengah kemajuan teknologi informasi.

Data Global Music Record 2021 yang dirilis The International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) menunjukkan adanya pergeseran pendapatan di industri ini beberapa tahun terakhir. Penjualan digital, baik melalui kanal streaming dan pengunduhan, kini mendominasi pendapatan industri rekaman musik dunia.

Di Indonesia, sejumlah perusahaan rekaman dan manajemen artis mulai bergerak mengubah pola bisnisnya. Label dengan modal besar seperti Trinity Optima Production, misalnya, tak puas dengan mengandalkan pendapatan dari pendistribusian musik di platform digital. Mereka belakangan mengembangkan model bisnisnya dengan terjun ke lini film dan konten multimedia berbasis Internet.

Tentu saja, ada konsekuensi yang kudu mereka tanggung. Biaya produksi album bisa jadi berhasil ditekan. Tapi era digital menuntut promosi yang lebih masif dan kreatif untuk menggaet komunikasi yang berkelanjutan dengan konsumen, sehingga ada biaya baru yang juga menggerus keuntungan.

Di tengah derasnya peralihan bisnis musik ini, masih ada keraguan terhadap pola pembagian pendapatan. Dari proses penggalian informasi yang dilakukan wartawan Tempo di beberapa daerah yang menjadi episentrum musik Tanah Air, sejumlah label dan musikus independen rupanya masih bertahan dengan pola produksi dan distribusi lama.

Mereka tetap memproduksi album dalam bentuk fisik, seperti cakram padat dan piringan hitam, walau jumlahnya terbatas. Bagi mereka, penjualan fisik tak hanya menghasilkan pundi-pundi lebih riil, tapi lebih dari itu sebagai bagian dari mempertahankan nostalgia dalam bermusik.

Selamat membaca.

Agoeng Wijaya
Redaktur Pelaksana

Adaptasi di Masa Pandemi
Disrupsi digital mendorong industri musik beradaptasi mengembangkan bisnisnya. Peluang bagi musik indie.

Musik Indie Menghadapi Disrupsi
Respons pemusik indie di daerah menghadapi streaming. Ada yang memanfaatkan, ada yang menampiknya. Mengapa?

ARTIKEL LAIN

Relawan Jokowi di Balik Royalti Lagu
Sengkarut pengelolaan royalti lagu. Banyak pesohor di balik kekuasaan yang mengail untung.

Seniman Bertahan di Tengah Pemotongan Royalti
Para seniman khawatir dengan sistem baru penarikan royalti. Menekan pemegang hak cipta.

Royalti Lagu untuk Siapa
Tata kelola royalti lagu amburadul. Regulasi dan pelaksanaannya tak akuntabel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus