Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Atlet belia Windy Cantika dan Vidya Rafika menjadi andalan Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020.
Windy belajar teknik angkat besi dari ibunya yang juga mantan atlet.
Vika menjadi petembak Indonesia pertama yang lolos ke Olimpiade.
“DULU mainnya angkat-angkat pipa paralon,” kata Windy Cantika Aisah disusul derai tawa ketika menceritakan kembali pengalamannya pertama kali berkenalan dengan olahraga angkat besi. Dia bahkan kerap meniru aksi kedua abangnya yang juga lifter, Sandy Zaenal Hikmat dan Randy Firmansyah, saat berlatih. Windy mengatakan ketertarikannya pada olahraga itu lebih banyak dipengaruhi oleh cerita dan kegiatan ibunya, Siti Aisah, mantan atlet angkat besi nasional yang akhirnya menjadi pelatih dan wasit kejuaraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Windy, latihan angkat beban dijalaninya sejak berusia sekitar 7 tahun. Ibunya adalah pelatih sekaligus motivatornya. Satu dekade berlalu, atlet asal Kampung Babakan Cianjur, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu tumbuh menjadi jagoan angkat besi. Dari mulanya hanya bermain dengan pipa plastik, nona 17 tahun itu kini sanggup mengangkat beban lebih dari 100 kilogram atau lebih dari dua kali bobot tubuhnya yang berkisar 47 kg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Windy juga menjadi bagian tim nasional angkat besi. Dia bersama rekan-rekannya tinggal dan menjalani pemusatan latihan di arena angkat besi Markas Komando Pangkalan Marinir, Jakarta Pusat. Dalam satu sesi latihan berdurasi sekitar dua jam, lebih dari 20 kali ia mengangkat batang besi yang diganduli piringan logam berlapis karet berbobot lebih dari 50 kilogram. “Saya masih menjalani porsi latihan untuk atlet junior,” ujarnya seusai latihan pada Selasa, 17 Desember lalu.
Nama Windy kian melejit setelah debutnya di SEA Games yang digelar di Metro Manila, Filipina, 2 Desember lalu. Turun di kelas 49 kilogram, ia merebut medali emas dengan mengalahkan Phyo Pyae Pyae (Myanmar) dan Ngo Thi Quyen (Vietnam). Windy membukukan total angkatan 190 kg: 86 kg angkatan snatch dan 104 kg clean and jerk.
Dengan angkatan tersebut, Windy memperbarui rekor dunia junior atas namanya sendiri yang dibuat di kejuaraan di Pyongyang, Korea Utara, Oktober lalu. Sebelumnya, dalam tempo tujuh bulan, dia dua kali memecahkan rekor dunia di Kejuaraan Asia di Cina dan Kejuaraan Dunia Junior di Fiji. “Target utama saya medali emas Olimpiade,” katanya.
Angkat besi adalah cabang olahraga yang bisa menyumbangkan medali di Olimpiade untuk Indonesia selain bulu tangkis dan panahan. Lisa Rumbewas menjadi lifter Indonesia pertama yang sukses di Olimpiade dengan meraih perak di Sydney, Australia, 19 tahun lalu. Setelah itu, tim angkat besi tak pernah absen merebut medali dalam setiap Olimpiade. Sudah lima perak dan lima perunggu yang direbut dari angkat besi. “Kita kejar terus medali emas itu,” ucap pelatih angkat besi Dirja Wihardja.
Windy menjadi bagian dari program tim pelatih angkat besi yang menggembleng atlet-atlet muda untuk meneruskan jejak lifter seperti Eko Yuli Irawan, Triyatno, dan Deni. Windy bahkan digadang-gadang menjadi penerus Sri Wahyuni Agustiani, yang sebelumnya menjadi andalan di kelas 48 kilogram. Sri dua kali menjadi juara dunia junior di dua kelas berbeda pada 2014. Sri juga meraih perak Olimpiade 2016 serta Asian Games 2014 dan 2018.
Tim muda angkat besi kini berisi sejumlah atlet potensial, seperti Muhammad Faathir, Juliana Clarissa, Putri Aulia Andriani, dan Rahmat Erwin Abdullah, untuk mengejar medali Olimpiade. Faathir, 16 tahun, adalah juara Asia dan pemegang rekor dunia remaja di kelas 61 kilogram. Rahmat, 19 tahun, juga pemegang rekor dunia kelas 73 kg dan peraih medali emas SEA Games. Adapun Juliana dan Putri, yang baru berusia 17 tahun, meraih medali perunggu di kelas 55 dan 59 kg di SEA Games 2019. “Regenerasi sudah berjalan dan kami terus mencari atlet muda untuk melapisi mereka,” tutur Dirja.
Kerja keras Windy selama 10 tahun terakhir mulai membuahkan hasil. Di rumah keluarganya ada satu lemari kaca yang berisi berbagai medali kejuaraan. Fotonya saat menang di SEA Games dipajang di ruang tamu. Windy bahkan lebih sukses daripada kedua kakak laki-lakinya yang lebih dulu menggeluti dunia angkat besi. Siti Aisah masih tak menyangka prestasi anak bungsunya di dunia angkat besi terus bersinar. Sebab, postur Windy berbeda dari atlet angkat besi lain, yang biasanya bertubuh gempal. “Dia badannya kecil,” kata Aisah pada Rabu, 18 Desember lalu.
Aisah mengatakan dia sebenarnya iseng saja mengajarkan olahraga angkat besi kepada Windy. Awalnya ia kerap bercerita kepada Windy kecil sambil menunjukkan foto-foto dirinya saat mengikuti kejuaraan angkat besi. Aisah berlaga di Kejuaraan Dunia angkat besi putri pertama di Florida, Amerika Serikat, pada 1987. Dia pulang membawa medali perunggu. Aisah menyadari potensi Windy ketika putrinya bermain menirukan angkat besi dengan pipa paralon dan gagang sapu. “Dia dengan mudah meniru teknik snatch memakai sapu,” ujarnya.
Windy bergabung dengan klub Pengurus Cabang Persatuan Angkat Berat, Binaraga, dan Angkat Besi Seluruh Indonesia Kabupaten Bandung pada usia 8 tahun. Pelatihnya adalah mantan lifter nasional Maman Suryaman. Windy meraih medali emas pertamanya di Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat pada 2014. “Saat itu usianya paling muda,” kata Aisah.
Suami Aisah, Asep Hidayat, membuatkan Windy barbel kecil dari adonan semen yang dicetak menggunakan kaleng bekas biskuit. Hingga saat ini, barbel semen itu masih disimpannya sebagai kenang-kenangan bahwa Windy memulai karier menggunakan alat sederhana. Asep juga membangun tempat latihan angkat besi di halaman rumah memanfaatkan tempat parkir mobil dan menumpuk barbel berbagai ukuran.
Perjalanan karier Windy sempat terganjal masalah. Dia dua kali divonis mengidap gangguan tulang dan jantung. Masalah ini bermula saat Windy merasakan sakit di pinggul, yang membuatnya batal tampil di Pekan Olahraga Pelajar Nasional 2014. Menurut Asep, dokter yang memeriksa Windy menyarankan putrinya itu berhenti dari angkat besi. Tak menyerah, Asep membawa Windy ke dokter lain. “Ternyata cedera ringan saja,” ujar Asep.
Pada 2017, Windy divonis mengalami masalah di jantung. Hasil diagnosis itu didapatnya dari pemeriksaan di dua rumah sakit di Bandung dan Jakarta. Dokter yang memeriksanya pun menyarankan Windy menghentikan aktivitasnya di dunia angkat besi. Asep dan keluarganya lalu membawa Windy ke dokter lain di Cimahi untuk menjalani pemeriksaan lagi. “Dokternya bilang jantung anak saya normal,” kata Asep.
Windy pun makin sibuk menjalani jadwal latihan di pelatnas. Komunikasi dengan keluarganya berjalan intens, terutama lewat video call setiap hari. Jika tak mengikuti kejuaraan, Windy pulang ke rumah sekali dalam tiga bulan. Ketika pulang kampung, alih-alih bermain dengan teman-temannya, Windy memilih berdiam di rumah. “Saya tidak terlalu suka main atau jalan-jalan. Kalau pulang, ya, banyakin istirahat karena di pelatnas sudah capek,” ujarnya.
Windy mengaku pernah merasa bosan dengan rutinitasnya. Namun dukungan orang tua dan keluarga membantunya bertahan. Teman-teman dan pelatihnya di pelatnas juga selalu membantunya di masa sulit. Dia menyadari tugasnya menjadi atlet masih panjang. “Banyak tahapan yang harus saya lalui untuk menjadi atlet andalan seperti para atlet senior angkat besi,” katanya.
***
Atlet Tembak Indonesia Vidya Rafika di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, 17 Desember 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat
Atlet muda lain yang bersinar di SEA Games adalah petembak Vidya Rafika Rahmatan Toyyiba. Kemampuannya membidik target mengantarnya menjuarai nomor air rifle 10 meter putri, Selasa, 3 Desember lalu. Atlet 18 tahun yang akrab disapa Vika itu membukukan skor 249,9 dan menyingkirkan dua wakil Singapura, Ho Xiu Yi dan Qian Adele Tan. Vika kembali meraih emas bersama Fathur Gustafian di nomor mixed air rifle 10 meter. Kemenangannya makin lengkap dengan guyuran bonus Rp 500 juta.
Sukses di SEA Games menjadi modal penting Vika menuju Olimpiade Tokyo 2020. Dia meraih tiket ke Tokyo karena berhasil melewati nilai minimal kualifikasi Asia, yaitu 625. Dia meraih skor 625,4 di Kejuaraan Menembak Asia di Qatar pada November lalu.
Cabang menembak di Olimpiade Tokyo akan mempertandingkan 15 nomor, termasuk air rifle 10 meter yang menjadi spesialisasi Vika. Nomor ini paling banyak pesertanya sehingga persaingan bakal lebih ketat. Vika menuturkan, Cina, India, Singapura, dan Jerman memiliki stok atlet menembak terbaik.
Prestasi Vika menjadi parameter baru olahraga menembak di Indonesia. Dia petembak Indonesia pertama yang lolos ke Olimpiade. Selama ini, baru tiga cabang olahraga yang bisa menyumbangkan medali untuk Indonesia di Olimpiade, yaitu panahan, bulu tangkis, dan angkat besi. “Ini penghargaan sekaligus tantangan untuk meraih prestasi terbaik di Olimpiade,” ucap Vika saat ditemui di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Selasa, 17 Desember lalu.
Vika mengenal olahraga menembak dengan senjata angin ini berkat ibunya, I Gusti Ayu Indradewi, yang juga petembak. Vika kerap diajak ibunya ke arena latihan di Lapangan Tembak Senayan. Dia kagum melihat penampilan sang ibu. “Padahal dulu saya takut mendengar suara letusan senjatanya,” ujar nona yang baru lulus dari SMA PGRI Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu.
Sang ibu tak langsung mengenalkan senjata kepada Vika, tapi mengajaknya berolahraga rekreasi, seperti berenang dan berlari. Vika merasa senang saja diajak ibunya bermain air. Belakangan, Vika sadar ibunya sedang menyiapkan fisik dan pernapasannya untuk bisa belajar menembak. “Sementara kawan sekolah saya belajar karate atau menari, saya sudah memanggul senapan,” kata Vidya, lalu tertawa.
Awalnya, menurut Vika, urusan membidik target dan menekan pelatuk senapan terasa sangat janggal. Otot tubuh dan lengannya bahkan belum terbiasa menahan senapan di bahu dan bergeming mencari sasaran. Apalagi dia harus mengenakan kostum kaku seberat hingga 4,5 kilogram untuk membantu posisi tubuhnya tetap stabil.
Perubahan besar terjadi ketika Vika untuk pertama kalinya menjuarai turnamen menembak yang digelar Persatuan Menembak Indonesia pada 2012. Saat itu, dia turun di kategori 10 meter. “Sudah tahu sensasi menembak dan menang, dari situ keterusan.”
Vika kini mengoleksi empat senapan angin, masing-masing harganya mencapai Rp 60 juta, yang dibelinya sendiri dari hadiah perlombaan. Dia juga mampu membeli sejumlah kostum aneka warna, sepatu, dan instrumen pelengkap atlet menembak. Tapi Vika mengaku tak memiliki senapan atau kostum favorit. Menurut dia, hasil lomba lebih ditentukan oleh kualitas petembak ketimbang senapan berharga ratusan juta rupiah.
Olahraga menembak membutuhkan penglihatan yang baik. Vika ternyata memiliki myopia alias gangguan pandangan jarak jauh. Untuk kegiatan sehari-hari, dia mengenakan kacamata dengan ukuran lensa minus 2 dan silinder 0,5. Namun hal itu tak mengganggu kemampuannya menembak. Vika menggunakan perangkat khusus yang bisa membantunya membidik. Tak perlu mengenakan kacamata atau lensa kontak saat bertanding. “Ada juga yang bertanding dengan tetap mengenakan kacamatanya,” ucap Vika, yang rutin memeriksakan kondisi matanya sekali dalam enam bulan.
Vika kini juga sudah terbiasa mendengar letusan senjata. Dia bahkan enggan mengenakan penutup telinga. Menurut dia, suara bising dari letusan senjata dan sorakan penonton masih tetap bisa terdengar meski mengenakan penutup telinga.
Vika bisa menghabiskan lebih dari 100 peluru setiap kali berlatih menembak. Satu kaleng berisi 500 peluru biasanya tandas kurang dari sepekan. Namun dia merasa jumlah itu masih jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan latihan para petembak dari negara lain. “Ada yang sampai menghabiskan 5.000 peluru,” katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, AMINUDIN (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo