Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Frederika ikut Puteri Indonesia karena bisa berkampanye tentang anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran.
Sebelum ikut kontes kecantikan, Frederika punya rencana usaha food truck.
Menurut Frederika, untuk menjadi Puteri Indonesia tak hanya cantik, tapi juga harus pintar.
MATAHARI sudah separuh jalan menuju kaki langit ketika Frederika Alexis Cull tiba di kantor stasiun televisi swasta di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, Senin, 16 Desember lalu. Begitu sampai di ruang tamu, ia seolah-olah tak mau diganggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tatapan mata Puteri Indonesia 2019 itu terpaku pada layar telepon seluler. Jemari tangannya khusyuk menggeser-geser tampilan aplikasi layanan pesan antar makanan. Ia kemudian memijit tulisan kwetiau--makanan yang semula dijauhinya selama persiapan ajang Miss Universe--di layar ponsel tersebut. “Kak, mau makan apa?” katanya kemudian, sambil menyorongkan ponsel tersebut kepada manajernya, Karina Putri. Frederika berpantang karbohidrat serta makanan berlemak dan gula tinggi sejak tiga bulan sebelum Miss Universe digelar demi menjaga bentuk tubuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Putri, ponsel Frederika kemudian bergeser ke Edelyn, anggota staf Yayasan Puteri Indonesia. Mereka menemani Frederika dalam wawancara dengan dua stasiun televisi hari itu. Sambil menunggu mereka memesan, Frederika lahap mengunyah keripik balado--yang juga dihindarinya selama persiapan Miss Universe--yang tersuguh di meja. “Laper ya, Fred?” ujar kru stasiun televisi yang melihat Frederika terus mengunyah.
Frederika sedang kelaparan. Ia melewatkan jam makan siang. Hari itu, ia mengawali aktivitasnya dengan menjadi bintang tamu dalam sebuah program berita stasiun televisi swasta lain yang berkantor di Jakarta Barat. Ia datang sekitar setengah jam sebelum siaran langsung dimulai, lalu berganti pakaian, dilanjutkan mengobrol dengan pembawa acara, dan mengabulkan permintaan foto bersama kru televisi. Selesai dari sana, ia segera meluncur ke kantor stasiun televisi di Jakarta Timur tersebut.
Putri Indonesia 2019 sekaligus Miss Universe Top 10, Frederika Alexis Cull di Jakarta, Senin, 16 Desember 2019. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Frederika seolah-olah hanya punya jeda bernapas sekejap sejak pulang dari kontes Miss Universe di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, Kamis, 12 Desember lalu. Dua hari setelah mendarat di Tanah Air, ia kembali bertugas menjadi Puteri Indonesia. Keberhasilannya menembus 10 besar Miss Universe memecahkan rekor peserta Indonesia sebelumnya sehingga membuat dia kembali diundang ke banyak acara.
Keikutsertaan Frederika ke Atlanta untuk mewakili Indonesia dalam kontes Miss Universe--yang dimulai sejak mendaftar kompetisi Puteri Indonesia--menggeser rencana keluarganya. Sejak dulu Frederika dan ayahnya, Psymon Peers, sudah merencanakan langkah hidupnya. Setelah menamatkan sekolah di British School Jakarta, ia akan kuliah di jurusan bisnis sambil memulai belajar bisnis kecil-kecilan.
Rencana mereka awalnya berjalan mulus. Frederika diterima di Jurusan International Business Lancaster University, Inggris. Ia pun sudah menggodok rencana bisnisnya di Bali. “Saya mau bikin usaha food truck,” katanya.
Namun Putri, yang sudah memanajeri Frederika sejak ia pulang dari Australia, datang menawarkan hal baru: ikut berkompetisi dalam ajang Puteri Indonesia. Ia mengira Frederika yang sebelumnya pernah bermain sinetron saat remaja akan tertarik tampil lagi di layar kaca. “Kebanyakan orang berpikir menjadi Puteri Indonesia adalah batu loncatan untuk masuk ke dunia hiburan,” ujar Putri.
“Saya jelaskan keuntungan menjadi Puteri Indonesia, saya bisa berkampanye dan mendapat banyak sekali pengalaman dari sana.”
Dugaan Putri benar. Frederika menerima ajakan itu, tapi alasannya jauh dari yang Putri sangka. “Dia bilang, kalau ikut kompetisi ini, ia bisa berkampanye tentang anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran. Saya speechless,” kata Putri.
Frederika mendapat pengetahuan tentang banyaknya anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran setelah ia menjadi relawan di Sekolah Bisa!, kegiatan yang bernaung di bawah British School Jakarta. Sekolah Bisa! menyekolahkan puluhan anak usia sekolah dasar yang kurang beruntung--kebanyakan orang tua mereka adalah pemulung. Saat ikut mengajari mereka, Frederika baru tahu sebagian anak tersebut terhambat mengikuti ujian nasional lantaran tak memegang akta kelahiran. “Mereka juga tak bisa mengakses fasilitas kesehatan atau fasilitas lain yang disediakan gratis oleh pemerintah,” ujarnya.
Namun tak gampang meyakinkan ayahnya agar ia bisa ikut berpartisipasi dalam Puteri Indonesia. Ayahnya gamang lantaran, kalaupun tak menang menjadi Puteri Indonesia, paling tidak Frederika mesti cuti kuliah selama satu tahun karena dikontrak Yayasan Puteri Indonesia. Jika menang, cutinya harus bertambah menjadi dua tahun. “Saya jelaskan keuntungan menjadi Puteri Indonesia, saya bisa berkampanye dan mendapat banyak sekali pengalaman dari sana,” kata Frederika.
Psymon Peers akhirnya memberi restu anak tunggalnya itu mengikuti kontes tersebut, dengan catatan: Frederika tak boleh menjalaninya setengah-setengah. Ia mesti mengerahkan semua kemampuannya dalam kontes ini. Syarat ini manjur membawa Frederika memecahkan rekor capaian Indonesia. “Karena itu, saya bisa sampai di posisi sekarang. Saya ingin yang terbaik,” ujarnya.
• • •
LAHIR di Jakarta, 5 Oktober 1999, Frederika adalah anak tunggal pasangan Psymon Peers yang berdarah Inggris dan Yulia yang berasal dari Lampung. Mereka pindah ke Australia saat usia Frederika 4 tahun. Tujuh tahun kemudian, mereka kembali ke Tanah Air.
Frederika yang suka bermain teater sempat menjajal sinetron, setahun setelah menetap di Indonesia. Ia membintangi sinetron Siti Bling Bling Mencari Cinta Pertama dan Yang Masih Dibawah Umur. Waktu itu ia belum bisa berbahasa Indonesia. “Untuk menghafal dialog saja saya perlu waktu lama sekali,” katanya. Ia menghentikan semua kegiatan syuting tersebut ketika masuk sekolah menengah atas karena ingin berfokus menuntut ilmu.
Putri Indonesia 2019 sekaligus Miss Universe Top 10, Frederika Alexis Cull di Jakarta, Senin, 16 Desember 2019. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Selepas SMA, dimulailah petualangan demi mengikuti kompetisi Puteri Indonesia. Frederika mengikuti beauty camp milik salah seorang juara kontes kecantikan tersebut. Mereka juga mencari daerah yang memungkinkan untuk Frederika wakili dalam kompetisi tersebut. “Kami sempat ke Lampung, daerah asal mamanya, tapi ternyata di Lampung sedang tidak ada pemilihan putri daerah,” ucap Karina Putri. Frederika akhirnya mengikuti audisi di Jakarta dan lolos sebagai perwakilan DKI Jakarta 1 serta memenangi kontes Puteri Indonesia.
Selama bertugas menjadi Puteri Indonesia, Frederika merasa sering dianggap sebelah mata. Ia kerap dikira hanya sebagai pemanis saat diundang ke berbagai acara. Namun ia membuktikan bahwa pandangan tersebut salah. “Mereka mengira saya hanya lulusan kontes kecantikan. Mereka tak tahu bahwa untuk menjadi Puteri Indonesia tak hanya cantik, tapi juga harus pintar,” ujarnya.
Sebagian masyarakat dunia juga menganggap Miss Universe sebagai ajang kecantikan semata. Padahal, kata dia, kriteria penilaian lebih banyak dihitung dari kecakapan berbicara. Penyaringan 20 besar dilakukan dengan melalui wawancara mendalam dan kompetisi gaun. Sedangkan 10 besar dinilai dari pidato mereka di depan juri. Frederika sendiri berpidato tentang banyaknya anak di dunia yang tak memiliki akta kelahiran dan pentingnya menyelesaikan masalah ini. “It’s not about exploiting women at all.”
Baru setelah itu, tutur dia, perlombaan baju renang dan gaun malam menentukan posisi lima besar. Menurut Frederika, ini penting untuk menunjukkan keanekaragaman kecantikan perempuan. Sebab, tak semua negara memiliki kriteria kecantikan yang sama. Bagi peserta, tampil dengan baju renang di depan jutaan mata adalah pembuktian kepercayaan dirinya. “Apakah kamu percaya dengan dirimu sendiri? Apakah kamu bisa menjadi contoh bagi perempuan-perempuan yang tidak percaya diri?” ujarnya.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo